Minggu, 13 Oktober 2013

Gagal dan Digagalkannya Gerakan kiri



Judul Buku : Malapetaka di Indonesia
Penulis : Max Lane
Penerbit : Djaman Baroe, 2012
Tebal : xiv + 144 halaman


Gerakan 30 September 1965 memang sangat sensitive untuk dibahas dalam perjalanan bangsa Indonesia. Namun saat ini, karena sensitifitasnya itulah banyak buku yang membahas tentang gerakan tersebut. Tak terkecuali Max Lane, dalam buku yang berisi esai ini, ia tidak begitu banyak membahas nilai-nilai kemanusiaan seperti banyak buku yang telah ada. Max lane justru memfokuskan pada kondisi perpolitikan Indonesia maupun Internasional kala itu.
Sebagai orang yang pro terhadap indonesia yang menaruh perhatian pada gerakan kiri, di buku ini Max sejak awal menegaskan keberpihakannya kepada gerakan kiri yang diakili oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Ada dua alasan yang mendasari keberpihakannya. Pertama, Max  melihat penghancuran gerakan kiri di Indonesia dengan genosida kecil seperti pembantaian, penyiksaan, penangkapan,pembuangan, pelarangan berpolitik terhadap ratusan ribu warga negara Indonesia, hingga pemutusan perkembangan keilmuannya, merupakan ‘kriminalitas yang tidak berperikemanusiaan atau perbuatan barbar’ (halaman. viii). Kedua, Max adalah orang yang berideologi kiri. Dalam artikel ‘Soekarno: Pemersatu atau Pembelah’ di Bagian II buku ini, Max menegaskan, ‘Baik sebagai seorang akademisi yang ‘indonesianis’ maupun sebagai warga dunia yang berkewajiban berideologi, saya menyatakan sebelumnya bahwa saya termasuk orang yang sangat menghargai kepemimpinan Soekarno serta pikirannya, meskipun saya juga berpendapat dia bukan manusia sempurna: pernah juga melakukan kekeliruan dan kadang-kadang analisa yang salah’ (halaman. 83–84).
Max tidak menghindarkan kritiknya atas beragam kontradiksi yang dialami oleh gerakan kiri itu sendiri. Dapat dikatakan, sebagian besar ulasan buku ini berisi kritik tajam terhadap strategi-strategi politik Soekarno dan PKI yang kontrapoduktif. Terdapat dua poin utama yang dicacat Max Lane di sini: taktik demokrasi terpimpin beserta jebakan retuling. Keduanya berkaitan. Kegagalan Badan Konstituante untuk memperoleh dukungan penuh parlemen dalam membahas undang-undang baru dimanfaatkan Soekarno untuk memberlakukan demokrasi terpimpin melalui dekritnya 5 Juli 1959. Dengan strategi ‘sentralistis’ ini, Soekarno memang berhasil mengkompromikan pelbagai partai politik di parlemen sekaligus memobilisasi kekuatan-kekuatan massa dengan tujuan organisasi politik, nasional dan tunggal dalam rencana kerja sosialisme bisa cepat terbangun. Dan yang paling mendasar adalah melalui pendidikan pancawardhana.
Namun, ada masalah dalam strategi tersebut. Pertama, kebijakan ini harus membayar bahwa diakuinya militer untuk terlibat langsung dalam politik. Padahal sebagaimana diketahui, militer kerap menjadi alat kapitalisme dan negara, untuk menghancurkan sosialis-komunisme. Soekarno seolah melupakan usaha militer untuk membunuhnya beberapa kali pada tahun-tahun sebelumnya. Begitu juga Aidit sebagai pimpinan PKI yang masih mempercayai bahwa anasir dari kekuasaan negara masih didominasi oleh kekuatan-kekuatan anti-rakyat, bukan militer sebagaimana diyakini Karl Marx.
Kedua, demokrasi terpimpin menggiring Soekarno dan PKI mengingkari prinsip demokrasi yang melekat dalam sosialis-komunisme yang relevan dengan pandangan politik Indonesia, yakni dilupakannya tuntutan penggelaran pemilu setahun setelah demokrasi terpimpin; pelarangan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Masyumi juga Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Padahal, jika melihat mobilisasi massa dan radikalisasi kaum intelektual dalam paket Nasionalis-Agama-Komunis (Nasakom) di bawah koalisi Soekarno-PNI-PKI, Max Lane berpendapat antara proses pemilu dan demokrasi terpimpin tak perlu dikontradiksikan. Karena kalau pemilu digelar, bisa dipastikan koalisi akan menang sehingga cita-cita marxisme bisa lebih mudah dicapai.
Dengan demokrasi termpimpin sekaligus melupakan pemilu, Soekarno lantas memilih retuling sebagai strategi memenangi kekuasaan. Retuling adalah kebijakan penggantian para aparatur negara yang dinilai reaksioner dan merugikan (mungkin juga anti-komunis) dengan pengganti yang lebih progressif. Max Lane menyangka usul retuling datang dari Angakatan Darat (bersamaan dengan ini, semakin banyak perwira Angkatan Darat yang masuk ke PKI dan koalisi setelah direkrut oleh Biro Khusus). Terlepas dari itu, yang jelas retuling bersifat top down; segala penunjukan aparatur negara dilakukan oleh Soekarno, bukan atas partisipasi rakyat.
Sebagai intelektual yang memihak gerakan kiri, secara tegas kritik Max atas strategi-strategi yang kontraproduktif itu bisa dibilang konstruktif. Secara dialektis, ia tetap mengemukakan keberhasilan-keberhasilan gerakan kiri di tengah strategi-strategi yang kontraproduktif. Meski tidak demokratis, Max tetap mencatat, selama demokrasi terpimpin terjadi mobilisasi massa dan radikalisasi kaum intelektual dalam Front Nasional yang efektif. ‘Sejumlah kampanye nasional paling penting adalah kampanye melawan keberlanjutan kolonialisme Belanda di Papua Barat, kampanye penyatuan Papua Barat ke Indonesia dan kampanye melawan pembentukan negara bagian Malaysia serta kampanye melawan pengaruh-pengaruh budaya Amerika. Bahkan, ada sejumlah kampanye yang menyerukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Amerika, Inggris, dan Belgia’ (halaman. 35–36). Selain itu, perjuangan reforma agraria dan kenaikan upah buruh juga massif.
Meski dinilai sebagai jebakan, retuling pun tidak sepenuhnya dituduhkan sebagai kesalahan Soekarno dan PKI, yang menyebabkan gerakannya gagal total. Di luar itu, Max tetap menekankan latennya usaha militer dan kelompok kanan dalam memanfaatkan jebakan itu untuk melawan politik kiri. Dalam bab ‘Jebakan Retuling,’ Max mengatakan, ‘Satu rintangan penting yang dihadapi PKI adala keberadaan angkatan bersenjata yang sudah siap secara fisik untuk menyingkirkan PKI dan Soekarno dari alur politik’ (halman. 45). Dan, ‘Strategi retuling dari atas ke bawah ini, khususnya di kabinet, tidak bisa membantu menghindari isu konfrontasi dengan tentara’ (halaman. 46). Menghindari pemilu sekaligus membuka lebar partisipasi militer dalam politik adalah jebakan bagi Soekarno dan PKI, sehingga penculikan beberapa perwira pada 30 September 1965 bak senjata makan tuan.
Membicarakan pergolakan gerakan kiri tentu saja tak bisa lepas dari kondisi perpolitikan internasional. Max pun menyodorkan fakta intervensi poros kapitalis, terutama Amerika, dalam usaha kup 1965. Dengan mengutip Audrey R. Kahin dan George Mc T. Kahin (Subversion as Foreign Policy: The Secret Eisenhower and Dulles Debacle in Indonesia, 1995), Max mengungkapkan, ‘pada 1950-an, pemerintahan Eisenhower –Presiden Amerika Serikat- bahkan memutuskan bahwa, jika diperlukan, mereka akan mendukung terbelahnya Indonesia dan terpisahnya Jawa (yang merupakan basis golongan kiri) dari wilayah lain di negara ini’ (halaman. 60). Max juga mengutip John Roosa yang banyak menyodorkan bukti pembicaraan di lingkaran-lingkaran diplomatik Amerika Serikat, Inggris, dan Sekutu sebagai poros yang membenci perkembangan politik di Indonesia beserta solusinya.
Sebagai esai, tentu saja buku ini tidak memaparkan analisis mendalam berdasarkan data tentang latar belakang, momen, dan akibat dari hancurnya gerakan kiri di Indonesia (semua itu tentu saja tidak cukup dibahas dalam 114 halaman). Hanya saja, titik-titik penting perlawanan militer dan kelompok kanan terhadap Soekarno dan PKI yang konspiratif tidak disertai dengan data-data kecil seperti di atas.
Max tetap memaparkan bahwa ada pihak yang memang berusaha menggagalkan gerakan kiri itu. Keberpihakan Max bisa kian tegas ketika mengganti kata ‘gagal’ dengan ‘digagalkan’ sembari memberikan pembabakan lebih menyeluruh tentang usaha penggagalan total itu. Dengan begitu, kegagalan total gerakan kiri yang bukan lantaran kesalahan strategi di dalamnya semata tetapi memang ada usaha penggagalan dari pihak lain, tidak terkesan spekulatif dan desas-desus. Bahwa kegagalan total gerakan kiri bukan sebuah ketaksengajaan, melainkan ada pihak yang sengaja menggagalkannya. Karena, sebagaimana bangsa ini yang dinilai Max Lane adalah bangsa yang belum selesai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar