Judul Buku : Malapetaka di Indonesia Penulis : Max Lane Penerbit : Djaman Baroe, 2012 Tebal : xiv + 144 halaman |
Gerakan 30 September 1965 memang
sangat sensitive untuk dibahas dalam perjalanan bangsa Indonesia. Namun saat
ini, karena sensitifitasnya itulah banyak buku yang membahas tentang gerakan
tersebut. Tak terkecuali Max Lane, dalam buku yang berisi esai ini, ia tidak
begitu banyak membahas nilai-nilai kemanusiaan seperti banyak buku yang telah
ada. Max lane justru memfokuskan pada kondisi perpolitikan Indonesia maupun
Internasional kala itu.
Sebagai orang yang pro terhadap
indonesia yang menaruh perhatian pada gerakan kiri, di buku ini Max sejak awal
menegaskan keberpihakannya kepada gerakan kiri yang diakili oleh Partai Komunis
Indonesia (PKI). Ada dua alasan yang mendasari keberpihakannya. Pertama,
Max melihat penghancuran gerakan kiri di
Indonesia dengan genosida kecil seperti pembantaian, penyiksaan, penangkapan,pembuangan,
pelarangan berpolitik terhadap ratusan ribu warga negara Indonesia, hingga
pemutusan perkembangan keilmuannya, merupakan ‘kriminalitas yang tidak
berperikemanusiaan atau perbuatan barbar’ (halaman. viii). Kedua, Max
adalah orang yang berideologi kiri. Dalam artikel ‘Soekarno: Pemersatu atau Pembelah’
di Bagian II buku ini, Max menegaskan, ‘Baik
sebagai seorang akademisi yang ‘indonesianis’ maupun sebagai warga dunia yang
berkewajiban berideologi, saya menyatakan sebelumnya bahwa saya termasuk orang
yang sangat menghargai kepemimpinan Soekarno serta pikirannya, meskipun saya
juga berpendapat dia bukan manusia sempurna: pernah juga melakukan kekeliruan
dan kadang-kadang analisa yang salah’ (halaman. 83–84).
Max tidak menghindarkan
kritiknya atas beragam kontradiksi yang dialami oleh gerakan kiri itu sendiri.
Dapat dikatakan, sebagian besar ulasan buku ini berisi kritik tajam terhadap
strategi-strategi politik Soekarno dan PKI yang kontrapoduktif. Terdapat dua
poin utama yang dicacat Max Lane di sini: taktik demokrasi terpimpin beserta
jebakan retuling. Keduanya berkaitan. Kegagalan Badan Konstituante untuk
memperoleh dukungan penuh parlemen dalam membahas undang-undang baru
dimanfaatkan Soekarno untuk memberlakukan demokrasi terpimpin melalui dekritnya
5 Juli 1959. Dengan strategi ‘sentralistis’ ini, Soekarno memang berhasil
mengkompromikan pelbagai partai politik di parlemen sekaligus memobilisasi
kekuatan-kekuatan massa dengan tujuan organisasi politik, nasional dan tunggal
dalam rencana kerja sosialisme bisa cepat terbangun. Dan yang paling mendasar
adalah melalui pendidikan pancawardhana.
Namun, ada masalah dalam
strategi tersebut. Pertama, kebijakan ini harus membayar bahwa
diakuinya militer untuk terlibat langsung dalam politik. Padahal sebagaimana
diketahui, militer kerap menjadi alat kapitalisme dan negara, untuk
menghancurkan sosialis-komunisme. Soekarno seolah melupakan usaha militer untuk
membunuhnya beberapa kali pada tahun-tahun sebelumnya. Begitu juga Aidit
sebagai pimpinan PKI yang masih mempercayai bahwa anasir dari kekuasaan negara
masih didominasi oleh kekuatan-kekuatan anti-rakyat, bukan militer sebagaimana
diyakini Karl Marx.
Kedua, demokrasi
terpimpin menggiring Soekarno dan PKI mengingkari prinsip demokrasi yang
melekat dalam sosialis-komunisme yang relevan dengan pandangan politik Indonesia,
yakni dilupakannya tuntutan penggelaran pemilu setahun setelah demokrasi
terpimpin; pelarangan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Masyumi juga Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI). Padahal, jika melihat mobilisasi massa dan radikalisasi
kaum intelektual dalam paket Nasionalis-Agama-Komunis (Nasakom) di bawah
koalisi Soekarno-PNI-PKI, Max Lane berpendapat antara proses pemilu dan
demokrasi terpimpin tak perlu dikontradiksikan. Karena kalau pemilu digelar,
bisa dipastikan koalisi akan menang sehingga cita-cita marxisme bisa lebih
mudah dicapai.
Dengan demokrasi termpimpin
sekaligus melupakan pemilu, Soekarno lantas memilih retuling sebagai strategi
memenangi kekuasaan. Retuling adalah kebijakan penggantian para aparatur negara
yang dinilai reaksioner dan merugikan (mungkin juga anti-komunis) dengan
pengganti yang lebih progressif. Max Lane menyangka usul retuling datang dari
Angakatan Darat (bersamaan dengan ini, semakin banyak perwira Angkatan Darat
yang masuk ke PKI dan koalisi setelah direkrut oleh Biro Khusus). Terlepas dari
itu, yang jelas retuling bersifat top down; segala penunjukan aparatur
negara dilakukan oleh Soekarno, bukan atas partisipasi rakyat.
Sebagai intelektual yang memihak
gerakan kiri, secara tegas kritik Max atas strategi-strategi yang
kontraproduktif itu bisa dibilang konstruktif. Secara dialektis, ia tetap
mengemukakan keberhasilan-keberhasilan gerakan kiri di tengah strategi-strategi
yang kontraproduktif. Meski tidak demokratis, Max tetap mencatat, selama
demokrasi terpimpin terjadi mobilisasi massa dan radikalisasi kaum intelektual
dalam Front Nasional yang efektif. ‘Sejumlah
kampanye nasional paling penting adalah kampanye melawan keberlanjutan
kolonialisme Belanda di Papua Barat, kampanye penyatuan Papua Barat ke
Indonesia dan kampanye melawan pembentukan negara bagian Malaysia serta
kampanye melawan pengaruh-pengaruh budaya Amerika. Bahkan, ada sejumlah
kampanye yang menyerukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Amerika, Inggris,
dan Belgia’ (halaman. 35–36). Selain itu, perjuangan reforma agraria dan
kenaikan upah buruh juga massif.
Meski dinilai sebagai jebakan,
retuling pun tidak sepenuhnya dituduhkan sebagai kesalahan Soekarno dan PKI,
yang menyebabkan gerakannya gagal total. Di luar itu, Max tetap menekankan
latennya usaha militer dan kelompok kanan dalam memanfaatkan jebakan itu untuk
melawan politik kiri. Dalam bab ‘Jebakan Retuling,’ Max mengatakan, ‘Satu rintangan penting yang dihadapi PKI
adala keberadaan angkatan bersenjata yang sudah siap secara fisik untuk
menyingkirkan PKI dan Soekarno dari alur politik’ (halman. 45). Dan, ‘Strategi retuling dari atas ke bawah ini,
khususnya di kabinet, tidak bisa membantu menghindari isu konfrontasi dengan
tentara’ (halaman. 46). Menghindari pemilu sekaligus membuka lebar
partisipasi militer dalam politik adalah jebakan bagi Soekarno dan PKI,
sehingga penculikan beberapa perwira pada 30 September 1965 bak senjata makan
tuan.
Membicarakan pergolakan gerakan
kiri tentu saja tak bisa lepas dari kondisi perpolitikan internasional. Max pun
menyodorkan fakta intervensi poros kapitalis, terutama Amerika, dalam usaha kup
1965. Dengan mengutip Audrey R. Kahin dan George Mc T. Kahin (Subversion as
Foreign Policy: The Secret Eisenhower and Dulles Debacle in Indonesia,
1995), Max mengungkapkan, ‘pada 1950-an,
pemerintahan Eisenhower –Presiden Amerika Serikat- bahkan memutuskan bahwa,
jika diperlukan, mereka akan mendukung terbelahnya Indonesia dan terpisahnya
Jawa (yang merupakan basis golongan kiri) dari wilayah lain di negara ini’
(halaman. 60). Max juga mengutip John Roosa yang banyak menyodorkan bukti
pembicaraan di lingkaran-lingkaran diplomatik Amerika Serikat, Inggris, dan
Sekutu sebagai poros yang membenci perkembangan politik di Indonesia beserta
solusinya.
Sebagai esai, tentu saja buku
ini tidak memaparkan analisis mendalam berdasarkan data tentang latar belakang,
momen, dan akibat dari hancurnya gerakan kiri di Indonesia (semua itu tentu
saja tidak cukup dibahas dalam 114 halaman). Hanya saja, titik-titik penting
perlawanan militer dan kelompok kanan terhadap Soekarno dan PKI yang
konspiratif tidak disertai dengan data-data kecil seperti di atas.
Max tetap memaparkan bahwa ada
pihak yang memang berusaha menggagalkan gerakan kiri itu. Keberpihakan Max bisa
kian tegas ketika mengganti kata ‘gagal’ dengan ‘digagalkan’ sembari memberikan
pembabakan lebih menyeluruh tentang usaha penggagalan total itu. Dengan begitu,
kegagalan total gerakan kiri yang bukan lantaran kesalahan strategi di dalamnya
semata tetapi memang ada usaha penggagalan dari pihak lain, tidak terkesan
spekulatif dan desas-desus. Bahwa kegagalan total gerakan kiri bukan sebuah
ketaksengajaan, melainkan ada pihak yang sengaja menggagalkannya. Karena,
sebagaimana bangsa ini yang dinilai Max Lane adalah bangsa yang belum selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar