Senin, 12 Januari 2015

Problematika Gerakan Buruh


Akhir-akhir ini, demonstrasi yang dilakukan oleh buruh marak terjadi. Kadar massifnya demonstrasi buruh terjadi medio Mei dan Desember. Tentu kita tahu bahwa pada Mei buruh merayakan hari buruh Internasional. Sedangkan, di Akhir tahun seperti November dan Desember buruh melakukan demonstrasi menuntut pemerintah untuk menaikkan Upah Minimum.
Sebenarnya, tak masalah buruh melakukan aksi demonstrasi menuntut haknya. Tetapi, yang berkembang di media bukan hanya aksi buruh menuntut upah. Media juga menggiring opini masyrakat bahwa upah yang dituntut buruh sangat besar. Hal ini dibuktikan dengan disorotnya buruh yang sedang melakukan aksi dengan membawa motor besar.
Tak hanya itu, media juga membandingkan buruh yang mayoritas lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan lulusan Strata satu (S-1). Akhirnya, gerakan buruh yang bertujuan untuk memperbaiki taraf hidupnya mesti berhadapan bukan hanya dengan pemilik modal, tetapi juga golongan rakyat lain.
 Padahal, menurut Karl Marx ada nilai lebih yang dihasilkan oleh buruh tetapi hasilnya dinikmati oleh pemilik modal (kapitalis). Seperti kita ketahui, sebuah komoditas selalu bermula dari proses yang melibatkan dua hal yakni alat produksi dan tenaga kerja. Komoditas selalu dibeli pada nilai tukar mereka, tak kurang dan tak lebih, maka keuntungan berasal dari proses produksi itu sendiri. Keuntungan mestinya diuntungan dari dua variabel. Di sinilah keniscayaan eksploitasi kapitalisme terjadi. Kaum buruh diwajibkan untuk bekerja lebih lama daripada rata-rata nilai tukar yang sesungguhnya dalam kerja mereka.
Contohnya, seorang teman yang bekerja di pabrik makanan cap Orang Tua mengaku bahwa jam kerja tambahan atau lembur, tak masuk hitungan dalam gaji. Buruh di pabrik ini mesti bekerja selama 10 jam sehari dengan upah yang dibayarkan hanya delapan jam kerja. Ini yang memungkinkan kapitalis untuk menjual komoditasnya dengan nilai tukar yang di dalamnya mengandung nilai kerja lebih daripada yang seharusnya dibayarkan untuk gaji, Marx menyebutnya dengan nilai lebih.
Kemudian, untuk mengeruk keuntungan sebanyak mungkin, kaum kapitalis harus menemukan alat-alat untuk menaikan tingkat untuk memproduksi nilai lebih. Peningkatan angka nilai lebih hanya didapat melalui reorganisasi proses produksi dan pengenalan mesin serta teknologi baru dalam proses produksi.
Pertambahan angka nilai lebih ini tentu saja akan menghasilkan peningkatan kualitas nilai lebih, sebab hanya sedikit buruh yang dibutuhkan. Buruh bisa saja dipecat kapan pun, sehingga lebih sedikit yang diberikan, pabrik memproduksi barang-barang dalam waktu yang kian sedikit dan menjual barang-barang tersebut dengan kompetitif. Semakin banyak orang yang membeli baramg-barang tersebut. Kaum buruh kian tersingkir.
Hal-hal semacam ini yang media tidak pernah beritakan kepada masyarakat. Alhasil, yang terjadi buruh digambarkan hanya sekelompok orang yang tak tahu diri dengan pendidikan rendah, pekerja kasar tetapi menuntut upah tinggi.
***
                Aksi-aksi yang dilakukan oleh Buruh saat ini hampir pasti berkaitan dengan tuntutan menaikkan upah. Kemudian, jika upah dinaikkan apa masalah yang dialami akan selesai? Jawabnya sudah pasti tidak. Sebab, dinaikkannya upah minimum daerah setiap tahun tak menyelesaikan permasalahan kesejahteraan nasib buruh. Agak ironis memang jika gerakan buruh hari ini hanya berdasarkan pada hal ekonomi.
                Sejarah gerakan buruh sudah sangat panjang. Namun, baru pada abad 19 timbul gerakan kaum buruh yang sudah melarat hidupnya di bawah penindasan. Pada 1847 karl Marx mengeluarkan sebuah manifes yang dinamai Manifesto Komunis. Isinya menggembirakan hati buruh kala itu. Sebab, ia memberika harapan bagi kaum buruh bahwa mereka tidak akan selamanya melarat.
                Akan tiba suatu waktu buruh akan hidup sempurna dalam suatu masyarakat baru. Marx menggambarkan suatu alur yang besar bagi buruh. Buruh menjalankan kelas dengan kaum majikan, sampai memperoleh kemenangan akhir yakni terciptanya masyarakat baru dengan buruh sebagai pemimpinnya.
                Tetapi masalahnya, setelah revolusi Bolshevik pada 1917, pergerakan kaum buruh menjadi melunak. Meski pun di negara Barat yang tingkat intelektualitas dan kesadaran buruhnya cukup tinggi. Apa sebabnya pergerakan buruh menjadi lunak? Kaum buruh terpecah menjadi empat golongan. Pertama,mereka yang masih bekerja. Kedua, mereka yang menganggur dan mendapat tunjangan sederhana untuk hidup. Ketiga, mereka yang uang tunjangannya tidak cukup untuk hidup. Keempat, buruh yang menganngur sama sekali dan tidak mendapat tunjangan.
                Kaum pertama takut berjuang hebat, karena kalau mereka mengambil sikap radikal, mereka akan diganti oleh golongan kedua. Hal itu seterusnya terjadi sampai golongan keempat. Oleh sebab itu, golongan keempat yang berdarah panas, berpikiran radikal bukan karena kesadaran tapi karena putus harapan, sampai gelap mata.
Ucapan mereka tidak lain, melainkan supaya timbul revolusi secepatnya. Timbulnyarevolusi bagi mereka berharap akan mendapat nasib yang lebih baik. Sebab itu sikap mereka paling revolusioner, cita-cita mereka tak lain hendak meruntuhkan masyarakat yang ada. Oleh sebab itu, mereka tak terikat kepada paham atau asas politik. Situasi ini pun terjadi di Indonesia. Oleh sebab itu, harus ada evaluasi kembali gerakan buruh di Indonesia. Sebab, dalam sejarah gerakan buruh di dunia atau Indonesia, gerakan buruh sangat politis. Meski pun, didasari hal ekonomi.
Kalau buruh belum bisa memimpin masyarakat suatu negara, itu bukan suatu tanda bahwa  apa yang diucapkan oleh Marx hanya omong kosong atau utopia. Tetapi, menyatakan bahwa ha l itu suatu cita-cita paling tinggi yang hanya bisa didapat jika buruh mendapatkan pendidikan serta kesadaran dalam dirinya.

Virdika Rizky Utama

Senin, 04 Agustus 2014

17 Agustus, Hanya Sebuah Euforia?



Agustus, menjadi bulan yang sakral bagi rakyat Indonesia. Sebab, di bulan Agustuslah Soekarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Setiap Agustus pula rakyat Indonesia selalu merayakan hari kemerdekaan dengan semarak. Setiap rumah memasang sang dwi warna dilengkapi dengan berbagai hiasan serta mengadakan lomba untuk anak-anak.
Sejak duduk di bangku Sekolah dasar (SD),  berbagai cerita heroik selalu mengiringi perjalanan kemerdekaan Indonesia. Dimulai sejak perlawanan kerajaan-kerajaan nusantara terhadap pemerintah kolonial Belanda hingga “penculikan” Soekarno dan Hatta oleh pemuda ke Rengasdengklok. Sampai pada akhirnya, Soekarno bersama Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Setelah 69 tahun, setiap peringatan hari kemerdekaan RI selalu muncul pertanyaan-pertanyaan yang mempertanyakan status kemerdekaan kita. Ada sebagian orang berpendapat bahwa kemerdekaan Indonesia belum terjadi dan tidak sepenuhnya  dirasakan oleh rakyat Indonesia. Indonesia masih terikat oleh belenggu asing dalam bidang ekonomi, bidang pangan, dll. Bahkan ada yang berkata, “Indonesia itu masalah atau cita-cita?”
Pertanyaan tersebut bukan tanpa alasan. Sebab, seluruh Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia yang menyangkut hajat hidup orang banyak masih dikuasai oleh asing. Hal ini tentu saja, sebuah pengkhianatan terhadap konstitusi pasal 33. Tak cukup sampai disitu, klaim data yang dikeluarkan oleh pemerintah ternyata mengalami kejanggalan di kehidupan nyata.
Pemerintah merilis pertumbuhan ekonomi selama triwulan I/2014 sebesar 5,2%. Pada Mei 2014, Pendapatan per kapita Indonesia sebesar US$ 4.700. Namun, Angka persentase tersebut nyatanya tidak dibarengi kualitas hidup mayoritas rakyat Indonesia. Buktinya, masih banyak rakyat Indonesia yang kelaparan. Merujuk data Food an Agriculture Organization (FAO) pada 2012, 21 juta rakyat Indonesia masih menderita kelaparan.
Laporan akhir tahun 2012, data Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat sebanyak 8 juta anak balita mengalami gizi buruk kategori "stunting" yakni tinggi badan yang lebih rendah dibanding balita normal. Dari data 23 juta anak balita di Indonesia, 8 juta jiwa atau 35 persennya mengidap gizi buruk kategori stunting, sementara untuk kasus gizi buruk tercatat sebanyak 900 ribu bayi atau sekitar 4,5 persen dari total jumlah bayi di seluruh Indonesia.
Di bidang pendidikan, perkembangan kualitas pendidikan Indonesia dibandingkan dengan negara tetangga masih tertinggal. Berdasarkan data dari UNESCO yang dipublikasikan dalam Education for All Global Monitoring Report 2011, Education Development Index (EDI), Indonesia berada pada posisi ke-69 atau empat strip di bawah Malaysia yang bertengger di posisi ke-65 dan jauh tertinggal dari Brunei yang berada di posisi ke-34. Pada tahun 2011, angka buta huruf di Indonesia masih mencapai 8,3 juta jiwa atau 4,79 persen.
Merujuk data tersebut, Indonesia belum bisa disebut sebagai negara merdeka dan makmur karena indikasi negara makmur antara lain tidak satu pun rakyatnya yang kelaparan, kurang gizi, apalagi meninggal dunia akibat kelaparan. Kalau masih terjadi, maka negara itu belum sepenuhnya dikatakan makmur.
Masyarakat Indonesia seharusnya kaya dan sejahtera karena kemiskinan dan kelaparan tidak sepantasnya muncul di Indonesia. Bahkan krisis air bersih, gizi buruk dan rawan pangan seharusnya bukan hal yang patut dikhawatirkan di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi. Namun nyatanya, masih banyak warga yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Oleh sebab itu, kemerdekaan mestinya tidak hanya sekedar sebuah perayaan atau euforia, tetapi menghidupkan. Kemerdekaan sepatutnya menjadi sebuah gerakan dan bukan monumen. Sebab, merdeka bukan berarti terlepas dari masalah, merdeka itu sebuah kesempatan untuk menyelesaikan masalah.
Soekarno pernah berucap bahwa Indonesia dapat dikatakan merdeka jika dapat mandiri di bidang ekonomi, berdaulat di bidang politik dan berkepribadian dalam hal budaya. Bangsa yang telah merdeka tujuan akhirnya adalah menjadi bangsa yang mandiri. Kemandirian yang ditunjukkan dengan kedaulatan politik, ekonomi, dan pangan. Tanpa itu sebuah negara hanya mengalami kemerdekaan semu.


Sumber : http://www.didaktikaunj.com/2014/08/17-agustus-hanya-sebuah-euforia/

Jumat, 30 Mei 2014

Pendidikan dalam Kuasa Modal

Judul Buku : Melawan Liberalisme Pendidikan
Penulis : Darmaningtyas, Edi Subkhan dan Fahmi Panimbang
Penerbit : Intrans Malang
Tahun Terbit : Cetakan Pertama, April 2014
Tebal : xxvi + 342 Halaman
Apa guna pendidikan jika terlepas dari masalah kehidupan – WS Rendra

Beberapa hari terakhir, media cetak atau pun elektronik banyak mengiklankan perguruan tinggi membuka pendaftaran mahasiswa baru. Banyak yang ditawarkan oleh perguruan tinggi tersebut mulai dari sarana prasarana yang memadai, lulus cepat, jaminan mendapat pekerjaan, program dual degree hingga label World Class University. Yang paling mencengangkan adalah kurikulum yang digunakan selama perkuliahan merupakan adopsi kurikulum dari universitas luar negeri seperti Cambridge University, Queensland University dan Rotterdam Business School.
Menurut penulis, fenomena ini terjadi setelah reformasi 1998. Indonesia yang kala itu mengalami krisis politik dan ekonomi memutuskan untuk mengikuti konsensus yang ditawarkan oleh International Monetary Fund (IMF) untuk meliberalkan sektor jasa, termasuk jasa pendidikan. Konsensus tersebut dibuat dengan Worlds Trade Organization (WTO). WTO membagi liberalisasi perdagangan dunia menjadi dua kategori yakni General Agreement on Tariff and Trade (GATT) yakni Kesepakatan umum tentang tarif dan perdagangan dan General Agreement on Trade in Services (GATS) yakni kesepakatan umum perdagangan sektor jasa. Melalui GATS semua transaksi pendidikan dapat diperjual belikan dalam pasar global (hlm.33). Lingkup usaha bidang pendidikan menurut WTO mencakup : pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, pendididkan dewasa dan pendidikan lainnya (hlm.35).
Dengan diliberalkannya sektor pendidikan satu per satu perguruan tinggi asing maupun sekolah asing dapat masuk di Indonesia. Untuk meningkatkan daya saing pendidikan di dalam negeri, pemerintah membuat peraturan. Peraturan yang pertama adalah PP No.61 Tahun 1999 tentang penetapan perguruan tinggi negeri sebagai badan hukum. Perguruan tinggi tersebut adalah UI, UGM, IPB dan ITB. Badan hukum yang dimaksud bukanlah otonomi dalam hal akademik. Akan tetapi, yang dilakukan adalah otonomi dalam hal pencarian dana untuk mengelola kampus. Sontak, perubahan status tersebut menimbulkan goncangan di masyarakat. Karena, PTN-PTN tersebut semula dapat diakses oleh kelompok manapun, tiba-tiba menjadi eksklusif dan hanya dapat diakses oleh masyarakat kelas atas saja. Ini merupakan era baru perguruan tinggi negeri menjadi komoditas yang diperdagangkan. Negara seolah-olah lepas tangan dan menyerahkan masalahnya kepada mekanisme pasar. Ini merupakan pengkhianatan pada konstitusi pasal 31.
Untuk menarik lebih banyak peminat, perguruan tinggi negeri juga menawarkan program dual degree. Dual degree merupakan praktek lain dari liberalisasi pendidikan (hlm.96). Bagi masyarakat awam, dual degree diasosiasikan bentuk pengakuan mutu dalam negeri, setara dengan mutu pendidikan luar negeri. Mereka tidak tahu bahwa itu merupakan bagian dari bisnis jasa pendidikan. Bagi mereka yang terbiasa berpikir tentang substansi penjualan program dual degree  mengesankan perguruan tinggi negeri semakin tidak percaya diri pada kemampuan yang dimiliki (hlm.98).
Hal yang sama dilakukan pada sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Berdasarkan hasil The Trends in Internattional Mathematics and Science Study (TIMSS) peringkat pendidikan Indonesia selalu menempati posisi terendah. Ironisnya, hasil tes tersebut dijadikan rujukan untuk mengukur kualitas pendidikan nasional. Bahkan, penyusunan kurikulum 2013 menyesuaikan hasil TIMSS. Menjadikan hasil tes seperti TIMSS untuk mengukur pendidikan nasional bahkan mengubah kurikulum nasional menunjukkan bahwa kita terjebak oleh lembaga standardisasi pendidikan Internasional. Karena, negara dengan peringkat pendidikan rendah akan mendapatkan dana hutang dari IMF untuk membenahi kualitas pendidikan.
Dengan kurikulum merujuk pada negara maju yang mengutamakan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Sesungguhnya, pemerintah mengalami sesat pemikiran. Karena, kita tidak bisa mencontek Finlandia sebagai negara dengan posisi pertama di bidang pendidikan. Pendidikan harus kontekstual dengan permasalahan masyarakat yang ada. Kondisi Finlandia dan Indonesia sangat berbeda baik masalah geografis, ekonomi, sosial mau pun budaya. Sebab pada hakekatnya pendidikan berguna untuk mengatasi permasalahan kehidupan.
Hal yang paling tidak memanusiakan dalam bidang pendidikan adalah diterapkannya International Standard Organization (ISO). Dalam dunia bisnis terdapat keinginan dari konsumen pasar global untuk mendapatkan produk dan pelayanan yang memuaskan bagi konsumen. Berdasarkan tuntutan tersebut dibuatlah standar produksi sampai dengan pelayanan dan manajemen mutu. Yang dipakai dalam dunia pendidikan adalah ISO 9001:2000. Mendefinisikan mutu dalam nalar industri yakni kepuasan pelanggan. Ironisnya adalah logika industri itu diadopsi begitu saja dalam sistem pendidikan nasional dan dijadikan sebagai salah satu kriteria mengukur kemajuan suatu sekolah (hlm.135).
Dalam buku yang dibagi dalam 6 bab ini kita dapat melihat kesamaan pola penerapan kapitalisasi dan liberalisasi di perguruan tinggi dan sekolah. Dengan memakai bahasa inggris sebagai pengantar dan kurikulum sesuai yang dicontek dari negara maju membuat tesis bahwa pendidikan di Indonesia hanya dipersiapkan untuk menjadi pekerja dalam era globalisasi semakin nyata. Buku ini menjadi wajib dibaca untuk siapa saja terutama bagi mereka yang menggeluti dunia pendidikan. Karena, buku ini menjelaskan secara komprehensif kebijakan pendidikan dari reformasi hingga saat ini. Untuk itu, setiap kebijakan pendidikan yang mengkhianati konstitusi dan tidak berpihak kepada rakyat miskin harus dilawan.

Minggu, 11 Mei 2014

Gagasan Politik dan Ekonomi Soekarno untuk Indonesia

Judul Buku : Sukarno, Marxisme dan Lenninisme
Penulis : Peter Kasenda
Penerbit : Komunitas Bambu
Tahun terbit : Cetakan satu, April 2014
Tebal : XIV + 274 Halaman
ISBN 978-602-9402-45-2
Dalam sebuah masyarakat sejati tidak boleh ada yang kaya mau pun miskin. Orang yang berhasil memperoleh terlalu banyak akan menyebabkan orang lain kekurangan. – Francois Noel Babeuf-

Ketika berbicara tentang Soekarno, kita tak akan pernah kehabisan tema untuk membahasnya. Meskipun sudah meninggal dunia  44 tahun yang lalu. Namun, ajaran-ajarannya tetap saja menghantui ingatan orang. Lihat saja dalam setiap pemilihan umum (pemilu) Megawati Sukarnoputri selalu membawa Soekarno dalam setiap acara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Di masa Orde baru, peran Soekarno dilemahkan dalam sejarah.  Ia dituduh terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September. Namun, itu tak membuat Megawati gentar dan terus membawa sosok Soekarno.
Di era reformasi terdapat sejumlah partai politik dan organisasi masyarakat yang mengkalim bahwa ia mempunyai hubungan ideologis dengan Soekarno. Ini dibuktikan dengan banyaknya partai yang coba menghidupkan pemikiran Soekarno dalam Platform partai yang disosialisaikan melaui iklan di televisi. Hal itulah yang membuat Soekarno kembali menghantui rakyat Indonesia.
Ide Soekarno yang kembali digalakkan adalah tentang kedaulatan ekonomi. Soekarno sangat terpengaruh oleh sosok Karl Marx dan Lenin dalam wacana ekonominya. Baginya, ajaran ekonomi Marx dan Lenin sangat cocok untuk negara-negara jajahan melawan imperialime. Imperialisme bagi Soekarno telah menyebabkan bangsanya yang begitu subur, kaya dan indah memiliki penduduk yang menjadi gembel (hal.41).
Dalam perenungannya, Soekarno yakin untuk merebut kembali kekayaan Indonesia hanya diperlukan satu jalan yakni revolusi. Revolusi harus dilalui harus dilaui untuk mewujudkan masyarakat tanpa kapitalisme dan imperalisme. Revolusi nasional diperlukan untuk memperoleh kemerdekaan yang menjadi prasyarat utama terciptanya masyarakat sosialis yang dicita-citakan.
Oleh karena itu, Soekarno saat menyampaikan pancasila dalam sidang Badan penyelidikan usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) menyebutkan bahwa kemerdekaan hanyalah “jembatan emas”. Setelah prasyarat itu dipenuhi, kemudian diharapkan terjadi revolusi sosial agar negara yang tercipta oleh kaum marhaen, bukan dipimpin oleh borjuasi nasional yang hanya ingin mendapatkan keuntungan dari tanah Indonesia untuk diri sendiri. Wujud nyata kedaulatan ekonomi Indonesia oleh Soekarno dipraktekkan dengan menasionalisasi perusahaan asing. Tujuannya agar seluruh kekayaan Indonesia dapat diolah dan dinikmati oleh rakyat Indonesia sendiri. Lebih dari itu, Soekarno berharap agar tidak ada lagi Exploitation de l’homme par l’homme dan exploitation de nation par nation.
Kedaulatan ekonomi tersebut akan terlaksana jika kita berdaulat dalam hal politik. Karena, semua sendi kehidupan kita ditentukan oleh politik. Untuk itu semua diperlukan masyarakat yang mengerti politik dan diperlukan satu partai pelopor untuk memberikan politik. Dalam hal ini, Soekarno menginginkan Indonesia hanya mempunyai partai tunggal seperti Bolshevik saat Lennin memimpin Uni Soviet.
Ini sudah dipraktekkannya ketika mencanagkan hanya ada satu partai diawal kemerdekaan yakni Partai Nasional Indonesia (PNI). Baginya, diperlukan satu partai yang benar-benar bekerja untuk rakyat dan negara. Bukan banyak partai tapi hanya mendahulukan kepentingan kelompoknya dibanding kepentingan rakyat.
Namun, sekarang ini kita dapat melihat dengan mata telanjang bagaimana kekayaan Indonesia dikuasai oleh asing. Bumi Indonesia sudah dikeruk dalam-dalam oleh Freeport dan Newmont. Rakyat yang berada dekat dengan lokasi pertambangan hanya mendapatkan limbah. Sepanjang 2013, limbah Newmont di Nusa Tenggara telah membuat bayi yang terlahir 80%  cacat. Ini disebabkan newmont membuang limbah pertambangan ke sungai. Belum lagi, di sebuah harian nasional disebutkan bahwa tahun 2014 ini freeport tak membagikan devidennya untuk untuk Indonesia. Mengutip pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad bahwa jika kita menasionalisasi pertambangan asing di Indonesia, rakyat Indonesia akan mendapatkan gaji 20juta per bulan.

Banyaknya paratai peserta  pemilu saat ini sibuk memikirkan koalisi untuk mendapatkan jatah kursi mentri dan akan mementingkan kelompoknya dibanding kepentingan rakyat. Buku sebanyak enam bab ini menjadi wajib dibaca untuk mengetahui pemikiran Soekarno dibidang politik dan ekonomi demi Indonesia yang berdaulat atas tanah, air dan udaranya.

Senin, 09 Desember 2013

Perjalanan Politik dan Wanita dalam Kehidupan Soekarno




Penulis : Ahmad Kusuma Djaya
Penerbit : Kreasi Wacana
Tahun : Cetakan Pertama, 2013
Tebal: 316 Halaman
 



 “Tuhan menciptakan wanita penuh dengan keindahan yang tak tertandingi”, Soekarno


Sudah 68 tahun Indonesia memproklamirkan diri sebagai sebuah bangsa dan negara yang merdeka. Namun, selama tiga puluh dua tahun Orde Baru (orba) berkuasa. Selama itu pula kharisma sang proklamator dilunturkan. Propaganda orba mengaitkanya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) tak membuat namanya terkubur zaman. Entah berapa banyak manipulasi sejarah orba  untuk mengdeskreditkan perannya. Tetapi, Si Bung justru menjadi ikon revolusi nasional. Presiden boleh berganti tiap lima tahun. Layaknya Jesus, orang-orang masih memasang gambarnya entah itu dalam bentuk sticker, pin, kaos atau berupa lukisan. Tak peduli lukisan mahal ataupun hanya lukisan di belakang truk.
Orang-orang menghormatinya sebagai Founding Father. Pidatonya yang menggelegar mengalahkan Adolf  Hitler, ketegasannya, kata-katanya yang selalu diingat, dan nasibnya yang “ditakdirkan” jadi pembaca naskah proklamasi. Itu semua sisi baiknya, sisi terang yang diketahui banyak manusia yang lahir setelah kematiannya, kemudian menjadi pengagum barunya.
Buku berjudul “Soekarno, Perempuan dan Revolusi” menjadi titik terang kehidupan terang juga gelapnya. Ahmad Kusuma Djaya berpendapat buku terbitannya ini harfiahnya memang membedah dua sisi Soekarno yakni Perempuan dan Revolusi. Namun, seolah justru mencoba “mempopulerkan” sisi gelap pada kehidupan Sukarno yang kontroversial. Tak dapat dipungkiri Soekarno sangat tergila-gila akan keindahan perempuan. Yang menurutnya merupakan ciptaan Tuhan yang tak ada tandingannya. Ini bisa dimaklumi, sisi baik pemimpin besar revolusi ini tentunya sudah banyak diketahui. Namun, siapa yang tahu sisi paradoks dalam diri Sukarno. Kekagumannya terhadap perempuan tak membuatnya menjadi lemah. Justru sebaliknya, sosok perempuan menjadikannya kuat. Terutama pada masa pergerakan. Itulah yang dikemas dalam buku setebal 316 halaman ini.
Koesno Sosrodihardjo, begitu nama lahir Soekarno, ialah sang penakluk wanita sejati. Siapa yang menyangka, semenjak mengenyam pendidikan sekolah menengah (HBS) Surabaya, Soekarno sudah mahir “menjerat perempuan”. Mien Hassel merupakan salah satu gadis Belanda, teman sekolah Soekarno, yang sempat membuat Soekarno remaja tergila-gila. “Hanya inilah satu-satunya jalan yang kuketahui untuk memeperoleh keunggulan terhadap bangsa kulit putih”, kilahnya kepada Cindy Adams, penulis buku otobiografi “Soekarno, Penyambung Lidah Masyarakat”. Penulis mengatakan, statement tersebut terilhami oleh novel Student Hijo yang ditulis oleh mas Marco kartodikromo. Salah seorang tokoh gerakan Sarekat Islam yang ia kenal saat masih menumpang di rumah Tjokroaminoto.
Kehidupan pribadinya, yang sangat sederhana, tak banyak diketahui orang. Perkawinannya pun tak surut dari teka-teki, ia menikah dengan sembilan wanita. Dari Inggit Ganarsih, janda yang 15 tahun lebih tua darinya, hingga kisah jalinan asmara layaknya kakek dan cucu dengan anak gadis SMA, Yurike Sanger. Bahkan saat menikahi istri terakhirnya, Heldy Jafar, dua mempelai ini terpaut usia 48 tahun. Dari semua perkawinyanya, kecuali, Utari, istri pertamanya, dan Hartini, hampir semua perkawinnanya berakhir pahit untuk wanita yang dinikahinya.
Si Bung mengakui sendiri bahwa ia seorang yang keras kepala dan dibalik suara pidatonya yang meledak-ledak, ia juga seorang yang rapuh dan kadang tak berpendirian. Sebelum menikahi Inggit Ganarsih, istri yang setia menjenguknya saat dirinya di penjaran pemerintah kolonial, Soekarno hanyalah harimau yang kehilangan taringnya. Wanita yang lebih dulu mengilhami Soekarno adalah Sarinah. Sosok pembantu pada masa kanak-kanak Soekarno, ia yang mengajari bagaimana harus menghormati perempuan. Tak seperti raja-raja jawa yang menganggap perempuan hanya perhiasan rumah semata. Bahkan secara khusus, Soekarno menulis pandangannya terhadap perempuan dalam sebuah buku yang ia beri judul Sarinah pada 1947. Episode perjalanan politiknya berliku, ia memlilih jalan yang bersebrangan dengan kawan-kawan politiknya, di antara dua orientasi politik terkuat saat itu, islam dan marxisme, ia justru lebih tertarik dengan paham yang dinamainya sendiri sebagai marhaenisme.
Putra sang fajar ini juga dianggap kolabolator dengan penjajah, sangat berlawanan dengan rekan politiknya, seperti Amir Syarifuddin, Sutan Syahrir atau Tan Malaka yang memilih bergerak dengan perlawanan di bawah tanah. Namun pilihan politiknya menyeretnya pada keterasingan, ia bahkan dianggap sebagai penyebab terbunuhnya banyak romusha saat pendudukan Jepang, pidatonya di depan para pemuda untuk membantu jepang dengan bergabung menjadi romusha, justru mengantar para romusha berlayar ke gerbang pembantaian.
Pembawaanya yang menganggap dirinya bagaikan Bima, dalam wayang mahabarata, yang mengantarkanya pada tabiat yang baru, menempatkanya sebagai raja. Ia membubarkan dewan konstituate hasil pemilihan umum 1955 dan mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup. Inilah dua sisi Sukarno. Si lembut dan si keras kepala, seorang pemberontak yang mudah takluk oleh wanita. Soekarno adalah Indonesia dan Indonesia adalah Sukarno, begitulah cara ia membawa Indonesia medio 1960-an. Meski sebagai paradoks, ia membawa Indonesia sebagai bangsa yang sejajar dengan bangsa-bangsa yang ada di dunia.