Jumat, 25 Mei 2012

Pendidikan Untuk Siapa ?

Pendidikan di sini tak pernah berubah
Seperti diera jamannya para penjajah
Di mana rakyat jelata tak bisa sekolah
Yang bisa hanyalah kelompok yang berduit saja

(Marjinal)


Pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Pendidikan juga merupakan tolok ukur kemajuan sebuah bangsa. Pendidikan di Indonesia mencapai puncaknya ketika politik etis yang diterapkan oleh pemerintah colonial Belanda di awal abad ke – 20. Akan tetapi pendidikan yang diselenggarakan oleh colonial hanya bisa dinikmati oleh kaum elite pribumi. Ki Hajar Dewantara melakukan perlawanan dengan membuat sekolah yang dapat dinikmati oleh kaum kecil. Pendidikan harus menyentuh seluruh lapisan masyarakat Indonesia itulah ucap sang bapak pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara.

Hingga masa kemerdekaan para founding father, menuliskan cita-cita bangsa Indonesia pada pembukaan konstitusi alinea ke-4. Tak cukup sampai disitu, mereka juga mencantumkan di dalam konstitusi pasal 31 ayat 1-5. Yang salah satunya berbunyi “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Kini, sudah 90 tahun Ki Hajar Dewantara memproklamirkan pernyataan tadi. Tapi, apa yang diharapkan oleh beliau jauh dari kenyataan. Mungkin Ki Hajar Dewantara menangis dalam kuburnya melihat wajah pendidikan Indonesia saat ini. Pendidikan Indonesia saat ini dipenuhi kepentingan para kaum pemilik modal. Pendidikan telah jauh dari hakikat dasarnya yakni memanusiakan manusia. Pemerintah Indonesia seolah ingin melepaskan tanggung jawab dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

Ini bukan hanya isapan jempol belaka. Kasus ini terbukti dengan diberlakukannya sekolah bertaraf Internasional (RSBI). Program RSBI sangat diskriminatif, dimana yang hanya mampu bersekolah di sana hanya yang pintar saja dan yang biasa-biasa saja hanya bersekolah yang juga biasa-biasa saja. Program ini membuat dikotomi dikalangan masyarakat. Seharusnya pemerintah tidak boleh mendikotomikan antara yang pintar atau yang kurag pintar. Karena, tugas pemerintah mencerdaskan seluruh masyarakat Indonesia baik itu kurang pintar atau pun yang sudah pintar.
Selain itu, biaya sekolah di sekolah RSBI terbilang sangat mahal. Program ini membuat kastanisasi dimana yang dapat bersekolah hanyalah yang punya uang saja. Dan yang tidak cukup uangnya tidak dapat bersekolah di sekolah RSBI. Kurikulum pun dipertanyakan, karena yang membedakan sekolah RSBI dengan sekolah biasa hanyalah penggunaan bahasa asing di RSBI. Secara tidak langsung sekolah RSBI sedikit meninggalkan bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia.

Komersialisasi pendidikan tidak hanya terjadi di sekolah. Akan tetapi, Perguruan Tinggi Negeri pun tidak luput dari komersialisasi.  Pemerintah sudah mengeluarkan RUU BHP pada tahun 2008, yang sarat akan komersialisasi dan kapitalisasi pendidikan dan ini terbukti dengan dibatalkannya RUU BHP oleh Mahkamah Konstitusi. Mati satu, tumbuh seribu. Itulah yang menggambaran regulasi untuk perguruan tinggi, regulasi itu dibernama PK-BLU. Dimana PTN dibebaskan untuk mencari sumber dana sendiri dengan dalih otonomi. Ini telah dilaksanakan UNJ sejak tahun 2010 dan baru berimbas pada tahun 2011 dimana uang kuliah naik sebesar 40%. Dan mahasiswa baru berjumlah 217 orang (Data: Didaktika) yang telah lolos SNMPTN tidak bisa melanjutkan kuliah karena biaya masuk kuliah UNJ mahal.

Ini belum selesai, ditengah peliknya pelaksanaan PK-BLU dipelbagai kampus termasuk UNJ. Pemerintah mengeluarkan RUU-PT, isi RUU versi 4 April 2012 pasal 89 ayat 3, pasal RUU PT yang merugikan, kampus dibebaskan mencari dana sendiri sebanyak mungkin. Karena pemerintah mengurangi dana alokasi APBN untuk PTN. Sangat mengenaskan ditengah program pemerintah mengentaskan kemiskinan melaliu pendidikan tetapi pendidikan itu sangat sulit untuk dijangakau si miskin. Selain itu pemerintah juga telah melanggar konstitusi dengan mmembuat Undang-undang pendidikan ang tidak pro pada rakyat miskin. Pemerintah seharusnya membuat PENDIDIKAN MURAH BERKUALITAS, BUKAN PENDIDIKAN SEBAGAI KOMODITAS !

Selasa, 01 Mei 2012

Resensi : Massa Actie (Tan Malaka)



Buku : Massa actie
Tahun terbit : 1926
Penulis : Tan Malaka
                Akhir – akhir ini public disuguhkan oleh  demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat. Dimulai oleh buruh di kawasan bekasi yang melakukan aksi pada awal tahun. 3 bulan kemudian, isu kenaikan BBM pun menyulut masyarakat untuk melakukan demonstrasi sebagai sikap menolak kebijakan pemerintah. Hingga yang terakhir adalah perayaan hari buruh sedunia atau biasa disebut Mayday. Dimana buruh merayakan “kemenangannya”dengan turun ke jalan-jalan di ibu kota menuntut hak-haknya sebagai pekerja.
Demonstrasi seolah menjadi sikap masyarakat untuk menolak kebijakan yang dianggap merugikannya. Di Indonesia sendiri buku tentang demonstasi telah lama ditulis oleh seorang founding father yaitu Tan Malaka. Tan malaka yang dikenal sebagai  bapak republic menuliskan sebuah risalah perjuangan yang akan tetap dipegang teguh sampai akhir hayatnya. Massa actie ditulis oleh tan malaka ditahun 1926 telah banyak memberikan inspirai bagi banyak orang. Bahkan, seorang Soekarno pun tersadarkan akan kemerdekaan. Indonesia Menggugat itulah  pidato soekarno setelah membaca buku massa actie.
Tan malaka, menulis massa actie karena kekesalannya terhadap pemberentokan yang dilakukan ISDV tahun 1926. Pemberontakan itu dinilai melanggar etika, karena tidak meminta izin kepadanya. Padahal saat itu Tan Malaka sebagai ketua komintern asia tenggara. Menurut Tan malaka, pemberontakan itu hanya berdasarkan kepentingan segelintir pihak bukan mewakili  seluruh rakyat Indonesia. Buku ini menitik beratkan pada pengorganisasian peserta demonstrasi (massa actie). Menurut Tan Malaka, perebutan kekuasaan dengan radikal (putch) bukanlah solusi terbaik. Baginya, putch itu adalah satu aksi segerombolan kecil yang bergerak diam-diam dan tak berhubungan dengan rakyat banyak. Gerombolan itu bisanya hanya membuat rancangan menurut kemauan dan kecakapan sendiri tanpa memedulikan perasaan dan kesanggupan massa.
Massa yang terdidik tidak akan meninggalkan massa aksi yang lain bila tertangkap aparat. Tambahnya lagi massa aksi yang terdidik bukanlah massa hanya berjuang untuk kebutuhan yang terdekat dan sesuai dengan kepentingan ekonomi. Selain membahas massa actie, tan malaka juga memberikan gambaran betapa bangsa Indonesia sangat sengsara oleh adanya kolonialisme Belanda. Dibagian akhir, Tan malaka juga memberikan amanat tentang pentingnya pendidikan bagi bangsa Indonesia. Akuilah dengan yang putih bersih, bahwa kamu sanggup dan mesti belajar dari orang Barat. Tapi kamu jangan jadi peniru orang Barat, melainkan seorang murid dari Timur yang cerdas, suka memenuhi kemauan alam dan seterusnya dapat melebihi kepintaran guru-gurunya di Barat. Lebih lanjut ia menambahkan sikap kita sebagai murid,”Belumlah kamu bisa dianggp seorang murid atau bahkan seorang manusia apabila kamu melupakan gurumu.”
*masyarakat yang dimaksud termasuk mahasiswa maupun buruh