Jumat, 22 Maret 2013

TAK MAU DIKETAHUI MAHASISWA, UNJ MENYITA SPANDUK BERTULISKAN KORUPSI



Spanduk berwarna putih, yang disita UNJ


Kampus mestinya berani untuk dikritik sebagai bukti jalannya demokrasi dalam dunia pendidikan

Komisi Pemberantasan korupsi (KPK) sangat gencar melakukan sosialisasi tentang bahaya laten korupsi. Hal itu sudah mulai direalisasikan oleh KPK sejak tahun 2009, bahkan materi anti korupsi serta kejujuran sudah ditanamkan sejak bangku Sekolah Dasar (SD). KPK beranggapan penanaman jiwa antikorupsi mesti ditanamkan dan disosialisasikan sedini mungkin melalui lembaga pendidikan. Namun, hal itu terasa tercoreng ketika lembaga pendidikan terbukti terlibat kasus korupsi. Dan, yang paling segar dalam ingatan adalah kasus korupsi yang melibatkan 16 Perguruan Tinggi yang ada di Indonesia. Ironisnya, Univeritas Negeri Jakarta (UNJ) yang notabene kampus pencetak guru terlibat korupsi. Dua orang pejabat UNJ, yakni Fakhruddin (PR III) dan Tri Mulyono (Dosen Fakulas Teknik) sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap pengadaan alat laboraturium.
Untuk memberitahukan informasi tersebut  kepada seluruh civitas akademika UNJ. Sudah banyak tulisan dan mural yang dibuat tentang adanya korupsi di UNJ. Tak terkecuali melalui spanduk sebagai medianya. Namun, akhir-akhir ini marak  aksi pencabutan spanduk-spanduk bernafaskan anti korupsi yang dipasang oleh mahasiswa. Yang terhangat adalah pencabutan spanduk yang dibuat oleh Solidaritas Mahasiswa Rawamangun (SPORA UNJ). Ironisnya spanduk yang dibentangkan hari Kamis (21/03) hanya bertahan sekitar tiga jam saja. “Kami pasang spanduk itu jam tiga sore, tapi menjelang maghrib sudah tidak ada,” ungkap Bakti Paringgi, salah satu anggota SPORA. Parahnya oknum yang mencabuti spanduk yang bertuliskan, TANGKAP, ADILI PENCURI ANGGARAN PENDIDIKAN  yang semula dipasang di depan gedung G ( gedung kemahasiswaan UNJ-red) berasal dari  pihak kampus. Tepatnya satuan pengamanan kampus (satpam) UNJ.
Aksi yang baru diketahui oleh anggota Spora lainnya ini sekitar pukul 18:00 Wib Kamis Petang. Hal tersebut sontak membuat kaget anggota Spora yang siang harinya menyuarakan usut tuntas korupsi UNJ di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (tipikor), Jakarta. Semula tidak ada yang tahu siapa dan kapan ? Spanduk yang bertuliskan dengan warna merah itu lenyap secara  tiba-tiba. Namun ketika ditelusuri oleh didaktika, akhirnya diketahui tim yang mencabuti spanduk yang mereka pasang berasal dari satpam dan juru parkir UNJ. Seorang satpam yang tidak ingin disebutkan namanya ini mengakui bahwa ia yang mencabut spanduk milik Spora, “bener mas, teman saya yang cabut spanduk itu dibantu tukang parkir.” Namun ia juga menolak memberi tahu keberadaan spanduk anti korupsi milik SPORA, “Saya cuma menjalankan perintah dari rektorat, spanduk-spanduk lainnya yang nulis korupsi juga ada, tapi saya gak berani kasih tahu tempatnya,” ucap satpam bertubuh gempal ini.
Menanggapi kejadian tersebut Syamsi, pihak staff  Pembantu rektor III tidak tahu menahu dan bungkam akan hal tersebut, “saya tidak tahu mas, jadi tidak bisa kasih penjelasan.” Wakil ketua BEM UNJ, Zulfikar menyesalkan sikap rektorat yang tidak mendukung gerakan UNJ  anti korupsi. “Saya sangat menyesalkan sikap rektorat yang tidak mendukung gerakan anti korupsi yang diprakarsai teman-teman mahasiswa,” pungkas Zulfikar. Laki-laki yang akrab disapa Zul ini menambahkan, “ Sebelumnya, spanduk yang dibuat BEM UNJ juga dicabut. Ini menandakan masih banyak pejabat UNJ sarang koruptor,” Kritiknya. Senada dengan hal tersebut, koordinator Spora, Ahmad Faisal mengatakan ada semacam ketakutan dari UNJ. “Spanduk bernada dukungan usut tuntas korupsi, tidak perlu izin, karena ini dilakukan secara spontan dalam rangka upaya penyadaran situasi kampus kepada mahasiswa,” Ucap Faisal.
Jimmy Ph Paat, dosen Jurusan Bahasa Prancis juga mengkiritisi aksi aparat UNJ tersebut. “Ini menjadi bukti UNJ tidak mendukung semangat anti korupsi, ini merupakan pelecehan terhadap dunia pendidikan Indonesia,” terangnya. Dosen yang tergabung dalam Koalisi Pendidikan ini menambahkan, seharusnya UNJ tidak boleh seperti itu. Karena, sebagai kampus pencipta guru UNJ mesti berani dikritik oleh mahasiswanya, sebagai bukti bahwa UNJ siap menjalankan demokrasi. Bagaimana nantinya jika kampus ini tidak mau dikritik, sudah barang tentu akan menciptakan guru yang tak mau dikritik pula.

Senin, 04 Maret 2013

Wajah Pendidikan Indonesia yang Bopeng



Judul Buku                 : Pendidikan Rusak-rusakan
Penulis                        : Darmaningtyas
Penerbit                      : LKiS Yogyakarta
Tahun Terbit              : 2005
Jumlah Halaman        : 360
Pendidikan di Indonesia telah berlangsung selama bertahun-tahun sejak negara ini merdeka. Bermula sejak berdirinya Perguruan Taman Siswa yang didirikan Ki Hajar Dewantara dengan slogannya Tut Wuri Handayani. Sekolah-sekolah negeri maupun swasta menjadi sarana dalam mewujudkan tujuan program pendidikan nasional. Tetapi sayang, keberhasilan dalam pertumbuhan dunia pendidikan di negara kita tidak diimbangi dengan keberhasilan dalam pendidikan moral dan nilai-nilai pribadi yang luhur. Berita-berita di media massa semakin hari semakin mengaburkan makna pendidikan selama ini. Para pejabat korupsi, pelajar  tawuran. Itu hanya sebagian kecilnya saja, belum tayangan sinetron dan infotaiment yang kurang mendidik.  Pendidikan, baik formal maupun informal, memiliki tujuan yang sama, mencerdaskan kehidupan bangsa. Jadi apa yang salah selama ini? Sistem kah atau kurikulum yang kerap bongkar-pasang kah? Guru atau tenaga pendidik yang kurang kompeten kah? Di mana ruh pendidikan selama ini?
Pendidikan telah kehilangan ruh, pendidikan telah kehilangan peran vital dalam melakukan transformasi sosial. Inilah yang coba dipaparkan secara singkat dalam halaman pembuka buku. Pendidikan telah mendapatkan stigma karena malpraktik yang dilakukan oleh penguasa dan pelaksana pendidikan di lapangan. Betapa tidak, banyak kasus negative yang dilakukan institusi pendidikan. Mulai dari pemotongan uang operasional dari depdikbud hingga sampai ke tangan sekolah. Dan, hal yang paling terkini adalah melambungnya rancangan kurikulum 2013, semula kemendikbud dan pemerintah setuju dengan dana 684,4 miliar. Tapi dengan sangat tiba-tiba, Mendikbud bilang kebutuhan dana untuk pembentukan kurikilum baru sebesar Rp 2,49 triliun. Hal ini mengindikasikan lagi-lagi akan terjadi penyelewengan dana dari korps pendidikan.  Dengan adanya contoh seperti ini terlihat Institusi pendidikan yang seharusnya memanusiakan manusia justru malah memberi contoh yang tidak manusiawi.
Bagian demi bagian dalam buku ini merupakan realitas yang selama ini terjadi dalam praktek pendidikan di Indonesia. Mulai dari proses yang terjadi pada peserta didik di sekolah, praktek mengajar guru, sampai pada arah pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Gugatan demi gugatan merupakan sajian utama buku ini. Beberapa kritik tajam juga menyeruak seolah mencerminkan sebuah euforia pasca reformasi. Dewasa ini banyak yang menuntut pemerintah benar-benar merealisasikan anggaran pendidikan 20% dari APBN. Lantas, jika pemenuhan itu direalisasikan mau apa? Mengingat kondisi geogarfis Indonesia yang berbeda-beda kebutuhannya kupikir ini sangat tidak cocok. Semisal, pengadaan alat proyektor di sekolah-sekolah tapi ada beberapa daerah yang masih belum dialiri listrik. Ini benar-benar terjadi di Indonesia terutama bagian timur Indonesia. Hal ini benar-benar mubazir alangkah lebih tepat bila pemerintah melakukan dialog partisipatoris unuk memenuhi apa yang benar-benar dibutuhkan suatu daerah untuk memajukan pendidikan di daerahnya. 
Sebagai seorang praktisi pendidikan dari Taman Siswa, Darmaningtyas banyak menyoroti malpraktik yang dilakukan oleh penguasa negeri ini. Praktek-praktek pada arah kebijakan pendidikan yang selama ini terjadi di indonesia marak terjadi pasca bergulirnya era otonomi daerah. Dengan adanya desentralisasi dalam bidang-bidang yang telah ditentukan pemerintah, budaya koruppun tak ayal ikut terdesentralisasi pula ke daerah-daerah yang dulunnya enggan dan takut melakukan tindakan-tindakan penyelewengan. Dalam kolusi sekarang ini, tawar menawar jabatan guru dilakukan secara terang-terangan antara calon guru dengan aparat pemerintah daerah. Entah ada koordinasi antar daerah atau tidak, yang pasti, ada semacam keseragaman tarif untuk dapat diterima menjadi seorang guru negeri. Untuk menjadi guru SD misalnya, tarifnya antara Rp. 10.000.000-Rp. 20.000.000. sedangkan untuk guru SLTP, karena dasar pendidikannya sama-sama S1, tarifnya antara Rp. 20.000.000.-Rp.40.000.000.(hal. 84).
Pendidikan, kata Darmaningtyas, bukanlah sekedar anggaran. Alih-alih menganggarkan dana untuk pendidikan dengan alokasi yang sesuai dengan kebutuhan. Pemerintah lebih disibukkan dengan permasalahan persiapan “baku hantam” dengan rival politiknya. Padahal dalam pasal 31 UUD 1945 pemerintah menjamin seluruh kegiatan pendidikan untuk rakyat Indonesia. Dengan melihat realitas yang terjadi di Indonesia, kita bisa mengatakan bahwa pemerintah mengkhianati konstitusi dengan tidak menjalankan amanat UUD 1945. Sesuai dengan judulnya, konten buku ini memang lebih banyak mengungkapkan penyelewengan-penyelewengan yang terjadi dalam pendidikan Indonesia. Banyak fakta-fakta yang diungkapkan secara jelas dan lugas. Buku ini bukanlah pemikiran utuh dari si penulis berkenaan dengan pendidikan, namun kumpulan artikel yang pernah ditulis di pelbagai media massa. Tulisan ini cukup bagus untuk dijadikan refleksi bagi semua orang yang berkecimpung dan menggeluti pendidikan terutama kampus eksIKIP seperti UNJ ini. Buku ini juga memaparkan sangat dominannya akan kegiatan agama mayoritas Indonesia di sekolah, hingga memunculkan tindakan diskriminatif yang ada di sekolah. Yang sudah pasti akan  membahayakan keragaman agama yang ada di Indonesia.