Jumat, 30 Mei 2014

Pendidikan dalam Kuasa Modal

Judul Buku : Melawan Liberalisme Pendidikan
Penulis : Darmaningtyas, Edi Subkhan dan Fahmi Panimbang
Penerbit : Intrans Malang
Tahun Terbit : Cetakan Pertama, April 2014
Tebal : xxvi + 342 Halaman
Apa guna pendidikan jika terlepas dari masalah kehidupan – WS Rendra

Beberapa hari terakhir, media cetak atau pun elektronik banyak mengiklankan perguruan tinggi membuka pendaftaran mahasiswa baru. Banyak yang ditawarkan oleh perguruan tinggi tersebut mulai dari sarana prasarana yang memadai, lulus cepat, jaminan mendapat pekerjaan, program dual degree hingga label World Class University. Yang paling mencengangkan adalah kurikulum yang digunakan selama perkuliahan merupakan adopsi kurikulum dari universitas luar negeri seperti Cambridge University, Queensland University dan Rotterdam Business School.
Menurut penulis, fenomena ini terjadi setelah reformasi 1998. Indonesia yang kala itu mengalami krisis politik dan ekonomi memutuskan untuk mengikuti konsensus yang ditawarkan oleh International Monetary Fund (IMF) untuk meliberalkan sektor jasa, termasuk jasa pendidikan. Konsensus tersebut dibuat dengan Worlds Trade Organization (WTO). WTO membagi liberalisasi perdagangan dunia menjadi dua kategori yakni General Agreement on Tariff and Trade (GATT) yakni Kesepakatan umum tentang tarif dan perdagangan dan General Agreement on Trade in Services (GATS) yakni kesepakatan umum perdagangan sektor jasa. Melalui GATS semua transaksi pendidikan dapat diperjual belikan dalam pasar global (hlm.33). Lingkup usaha bidang pendidikan menurut WTO mencakup : pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, pendididkan dewasa dan pendidikan lainnya (hlm.35).
Dengan diliberalkannya sektor pendidikan satu per satu perguruan tinggi asing maupun sekolah asing dapat masuk di Indonesia. Untuk meningkatkan daya saing pendidikan di dalam negeri, pemerintah membuat peraturan. Peraturan yang pertama adalah PP No.61 Tahun 1999 tentang penetapan perguruan tinggi negeri sebagai badan hukum. Perguruan tinggi tersebut adalah UI, UGM, IPB dan ITB. Badan hukum yang dimaksud bukanlah otonomi dalam hal akademik. Akan tetapi, yang dilakukan adalah otonomi dalam hal pencarian dana untuk mengelola kampus. Sontak, perubahan status tersebut menimbulkan goncangan di masyarakat. Karena, PTN-PTN tersebut semula dapat diakses oleh kelompok manapun, tiba-tiba menjadi eksklusif dan hanya dapat diakses oleh masyarakat kelas atas saja. Ini merupakan era baru perguruan tinggi negeri menjadi komoditas yang diperdagangkan. Negara seolah-olah lepas tangan dan menyerahkan masalahnya kepada mekanisme pasar. Ini merupakan pengkhianatan pada konstitusi pasal 31.
Untuk menarik lebih banyak peminat, perguruan tinggi negeri juga menawarkan program dual degree. Dual degree merupakan praktek lain dari liberalisasi pendidikan (hlm.96). Bagi masyarakat awam, dual degree diasosiasikan bentuk pengakuan mutu dalam negeri, setara dengan mutu pendidikan luar negeri. Mereka tidak tahu bahwa itu merupakan bagian dari bisnis jasa pendidikan. Bagi mereka yang terbiasa berpikir tentang substansi penjualan program dual degree  mengesankan perguruan tinggi negeri semakin tidak percaya diri pada kemampuan yang dimiliki (hlm.98).
Hal yang sama dilakukan pada sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Berdasarkan hasil The Trends in Internattional Mathematics and Science Study (TIMSS) peringkat pendidikan Indonesia selalu menempati posisi terendah. Ironisnya, hasil tes tersebut dijadikan rujukan untuk mengukur kualitas pendidikan nasional. Bahkan, penyusunan kurikulum 2013 menyesuaikan hasil TIMSS. Menjadikan hasil tes seperti TIMSS untuk mengukur pendidikan nasional bahkan mengubah kurikulum nasional menunjukkan bahwa kita terjebak oleh lembaga standardisasi pendidikan Internasional. Karena, negara dengan peringkat pendidikan rendah akan mendapatkan dana hutang dari IMF untuk membenahi kualitas pendidikan.
Dengan kurikulum merujuk pada negara maju yang mengutamakan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Sesungguhnya, pemerintah mengalami sesat pemikiran. Karena, kita tidak bisa mencontek Finlandia sebagai negara dengan posisi pertama di bidang pendidikan. Pendidikan harus kontekstual dengan permasalahan masyarakat yang ada. Kondisi Finlandia dan Indonesia sangat berbeda baik masalah geografis, ekonomi, sosial mau pun budaya. Sebab pada hakekatnya pendidikan berguna untuk mengatasi permasalahan kehidupan.
Hal yang paling tidak memanusiakan dalam bidang pendidikan adalah diterapkannya International Standard Organization (ISO). Dalam dunia bisnis terdapat keinginan dari konsumen pasar global untuk mendapatkan produk dan pelayanan yang memuaskan bagi konsumen. Berdasarkan tuntutan tersebut dibuatlah standar produksi sampai dengan pelayanan dan manajemen mutu. Yang dipakai dalam dunia pendidikan adalah ISO 9001:2000. Mendefinisikan mutu dalam nalar industri yakni kepuasan pelanggan. Ironisnya adalah logika industri itu diadopsi begitu saja dalam sistem pendidikan nasional dan dijadikan sebagai salah satu kriteria mengukur kemajuan suatu sekolah (hlm.135).
Dalam buku yang dibagi dalam 6 bab ini kita dapat melihat kesamaan pola penerapan kapitalisasi dan liberalisasi di perguruan tinggi dan sekolah. Dengan memakai bahasa inggris sebagai pengantar dan kurikulum sesuai yang dicontek dari negara maju membuat tesis bahwa pendidikan di Indonesia hanya dipersiapkan untuk menjadi pekerja dalam era globalisasi semakin nyata. Buku ini menjadi wajib dibaca untuk siapa saja terutama bagi mereka yang menggeluti dunia pendidikan. Karena, buku ini menjelaskan secara komprehensif kebijakan pendidikan dari reformasi hingga saat ini. Untuk itu, setiap kebijakan pendidikan yang mengkhianati konstitusi dan tidak berpihak kepada rakyat miskin harus dilawan.

Minggu, 11 Mei 2014

Gagasan Politik dan Ekonomi Soekarno untuk Indonesia

Judul Buku : Sukarno, Marxisme dan Lenninisme
Penulis : Peter Kasenda
Penerbit : Komunitas Bambu
Tahun terbit : Cetakan satu, April 2014
Tebal : XIV + 274 Halaman
ISBN 978-602-9402-45-2
Dalam sebuah masyarakat sejati tidak boleh ada yang kaya mau pun miskin. Orang yang berhasil memperoleh terlalu banyak akan menyebabkan orang lain kekurangan. – Francois Noel Babeuf-

Ketika berbicara tentang Soekarno, kita tak akan pernah kehabisan tema untuk membahasnya. Meskipun sudah meninggal dunia  44 tahun yang lalu. Namun, ajaran-ajarannya tetap saja menghantui ingatan orang. Lihat saja dalam setiap pemilihan umum (pemilu) Megawati Sukarnoputri selalu membawa Soekarno dalam setiap acara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Di masa Orde baru, peran Soekarno dilemahkan dalam sejarah.  Ia dituduh terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September. Namun, itu tak membuat Megawati gentar dan terus membawa sosok Soekarno.
Di era reformasi terdapat sejumlah partai politik dan organisasi masyarakat yang mengkalim bahwa ia mempunyai hubungan ideologis dengan Soekarno. Ini dibuktikan dengan banyaknya partai yang coba menghidupkan pemikiran Soekarno dalam Platform partai yang disosialisaikan melaui iklan di televisi. Hal itulah yang membuat Soekarno kembali menghantui rakyat Indonesia.
Ide Soekarno yang kembali digalakkan adalah tentang kedaulatan ekonomi. Soekarno sangat terpengaruh oleh sosok Karl Marx dan Lenin dalam wacana ekonominya. Baginya, ajaran ekonomi Marx dan Lenin sangat cocok untuk negara-negara jajahan melawan imperialime. Imperialisme bagi Soekarno telah menyebabkan bangsanya yang begitu subur, kaya dan indah memiliki penduduk yang menjadi gembel (hal.41).
Dalam perenungannya, Soekarno yakin untuk merebut kembali kekayaan Indonesia hanya diperlukan satu jalan yakni revolusi. Revolusi harus dilalui harus dilaui untuk mewujudkan masyarakat tanpa kapitalisme dan imperalisme. Revolusi nasional diperlukan untuk memperoleh kemerdekaan yang menjadi prasyarat utama terciptanya masyarakat sosialis yang dicita-citakan.
Oleh karena itu, Soekarno saat menyampaikan pancasila dalam sidang Badan penyelidikan usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) menyebutkan bahwa kemerdekaan hanyalah “jembatan emas”. Setelah prasyarat itu dipenuhi, kemudian diharapkan terjadi revolusi sosial agar negara yang tercipta oleh kaum marhaen, bukan dipimpin oleh borjuasi nasional yang hanya ingin mendapatkan keuntungan dari tanah Indonesia untuk diri sendiri. Wujud nyata kedaulatan ekonomi Indonesia oleh Soekarno dipraktekkan dengan menasionalisasi perusahaan asing. Tujuannya agar seluruh kekayaan Indonesia dapat diolah dan dinikmati oleh rakyat Indonesia sendiri. Lebih dari itu, Soekarno berharap agar tidak ada lagi Exploitation de l’homme par l’homme dan exploitation de nation par nation.
Kedaulatan ekonomi tersebut akan terlaksana jika kita berdaulat dalam hal politik. Karena, semua sendi kehidupan kita ditentukan oleh politik. Untuk itu semua diperlukan masyarakat yang mengerti politik dan diperlukan satu partai pelopor untuk memberikan politik. Dalam hal ini, Soekarno menginginkan Indonesia hanya mempunyai partai tunggal seperti Bolshevik saat Lennin memimpin Uni Soviet.
Ini sudah dipraktekkannya ketika mencanagkan hanya ada satu partai diawal kemerdekaan yakni Partai Nasional Indonesia (PNI). Baginya, diperlukan satu partai yang benar-benar bekerja untuk rakyat dan negara. Bukan banyak partai tapi hanya mendahulukan kepentingan kelompoknya dibanding kepentingan rakyat.
Namun, sekarang ini kita dapat melihat dengan mata telanjang bagaimana kekayaan Indonesia dikuasai oleh asing. Bumi Indonesia sudah dikeruk dalam-dalam oleh Freeport dan Newmont. Rakyat yang berada dekat dengan lokasi pertambangan hanya mendapatkan limbah. Sepanjang 2013, limbah Newmont di Nusa Tenggara telah membuat bayi yang terlahir 80%  cacat. Ini disebabkan newmont membuang limbah pertambangan ke sungai. Belum lagi, di sebuah harian nasional disebutkan bahwa tahun 2014 ini freeport tak membagikan devidennya untuk untuk Indonesia. Mengutip pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad bahwa jika kita menasionalisasi pertambangan asing di Indonesia, rakyat Indonesia akan mendapatkan gaji 20juta per bulan.

Banyaknya paratai peserta  pemilu saat ini sibuk memikirkan koalisi untuk mendapatkan jatah kursi mentri dan akan mementingkan kelompoknya dibanding kepentingan rakyat. Buku sebanyak enam bab ini menjadi wajib dibaca untuk mengetahui pemikiran Soekarno dibidang politik dan ekonomi demi Indonesia yang berdaulat atas tanah, air dan udaranya.