Minggu, 13 November 2011

Gak usah freeport !


Akhir-akhir ini masalah pertambangan emas dan tembaga yang terbesar di dunia, Freeport di Papua, kembali menjadi persoalan yang ramai dibicarakan oleh banyak kalangan. Majalah dan suratkabar Indonesia banyak menyiarkan hal-hal yang berkaitan dengan hadirnya maskapai besar asing ini. Berbagai golongan mahasiswa telah melancarkan aksi- aksi (termasuk demo) untuk menyatakan kemarahan mereka. Dan banyak LSM yang peduli lingkungan hidup atau organisasi yang berjuang melawan korupsi juga sudah berkali-kali menyuarakan protes mereka. Semuanya ini merupakan pertanda yang menggembirakan, yang menunjukkan bahwa ada kebangkitan kesadaran politik di banyak kalangan mengenai persoalan ini, di samping berkobarnya perlawanan dari sebagian rakyat Papua sendiri.

Sebab, masalah Freeport adalah masalah besar yang berkaitan erat dengan sejumlah politik dan praktek rejim militer Orde Baru di bawah Suharto dan konco-konconya di masa yang lalu, yang akibat atau buntutnya sampai sekarang terasa memedihkan hati dan membikin marahnya banyak orang. Boleh dikatakan bahwa kasus Freeport merupakan salah satu dari begitu banyak wajah buruk yang sudah disandang oleh para “tokoh” rezim Suharto. Karenanya, membongkar kasus Freeport berarti juga membongkar sebagian keburukan dan kebusukan yang sudah dilakukan Orde Baru selama puluhan tahun. Dan terus-menerus membongkar segala kejahatan dan kesalahan rejim militer Suharto dkk adalah kegiatan yang benar, luhur, adil dan sah, dan juga perlu sekali dilakukan, demi hari depan generasi-generasi kita yang akan datang.

Selama ini, sampai sekarang, sudah banyak sekali berbagai kejahatan dan kebusukan Orde Baru yang dipaparkan dalam buku-buku, majalah, suratkabar, dan media massa lainnya, baik di Indonesia maupun di luarnegeri. Tetapi, kebusukan atau kejahatan politik yang berkaitan dengan Freeport masih kurang sekali diketahui oleh masyarakat luas di Indonesia.
Oleh karena itulah, dalam tulisan ini  tentang PT Freeport Indonesia, yang dihubungkan dengan politik dan praktek yang dijalankan pemerintah Indonesia. Tulisan ini dimaksudkan sebagai ajakan kepada semua fihak untuk ikut merenungkan dan mempersoalkan masalah besar yang sedang dihadapi oleh negara dan bangsa yang berkaitan dengan masalah Freeport ini.

Hentikan Menggunakan Pendekatan Keamanan dalam Kasus Freeport
Aksi menuntut Penutupan PT Freeport Indonesia (FI) yang terus bergulir bagai bola salju akhirnya memakan korban. Aksi yang semula dilakukan dengan damai oleh mahasiswa dan masyarakat Papua dengan memblokir jalan antara Abepura dan Sentani di depan kampus Universitas Cendrawasi, berakhir rusuh dan memakan korban. Pendekatan keamanan dan kekerasan lebih suka dipilih oleh pengurus negara dalam menghadapi tuntutan masyarakat terhadap perusahaan tambang. Rakyat selalu dihadapkan dengan aparat keamanan dibanding memilih menyelesaikan masalahnya dengan perusahaan.
Aksi yang dilakukan baik oleh rakyat Papua dan lokasi lainnya adalah pemerintah didesak menutup PT Freeport. Aksi di Abepura merupakan rangkaian dari aksi-aksi di beberapa kota sebelumnya, baik di Papua (Timika, Jayapura) maupun di luar Papua (Jakarta, Semarang, Jogjakarta, Makasar, Solo). Mereka menuntut Penutupan PT FI Freeport karena terbukti telah memicu terjadinya pelanggaran HAM, menyebabkan kerusakan lingkungan dan tidak menyejahterahkan masyarakat Papua. Bahkan aksi terakhir yang dilakukan dengan memblokade jalan di depan Universitas Cendrawasih telah memakan korban. Sebanyak 4 aparat keamanan meninggal dunia, puluhan luka-luka, 57 orang ditangkap, sementara Polisi terus melakukan penyisiran di sekitar Universitas Cendrawasih.

Pendekatan keamanan selalu dipakai oleh pemerintah dalam meredam protes rakyat terhadap perusahaan tambang. Kasus pendudukan lokasi pertambangan PT IMK di Kalimantan tengah tahun 1999, kasus penembakan petani dan nelayan yang memblokade PT Unocal tahun 2001, kasus aksi damai petani dan nelayan yang menduduki lokasi tambang Newcrest di Maluku Utara tahun 2004 dan masih banyak yang lainnya. Pemerintah lebih memilih berhadapan dengan rakyatnya dan melakukan pendekatan keamanan sebagai plihan utama dibanding memikirkan langkah-langkah cerdas dan berani untuk memenuhi tuntutan rakyatnya.

Kasus Freeport sekali lagi membuktikan keberpihakan pengurus negara terhadap pemodal asing. Pernyataan Presiden SBY,yang memerintahkan Menko Polkam, Panglima TNI, Kapolri dan Kepala BIN untuk melakukan pemulihan keamanan dan bersikukuh tidak akan menutup PT FI, jelas membuktikan hal tersebut. Pemerintah lebih memilih berhadapan dengan rakyatnya dengan berlindung dari ketakutan tuntutan arbitrase internasional.

JATAM juga menyatakan kecewa terhadap cara pemerintah menangani kasus PT FI. Penyelesaian kasus PT FI tak bisa dilakukan dengan pendekatan keamanan atau pun sebatas upaya peningkatan dana Community Development semata, seperti yang selama ini dilakukan. Sudah waktunya pemerintah membuka mata terhadap tuntutan rakyat Papua yang menginginkan PT FI ditutup. Selanjutnya pemerintah harus segera mengkonsultasikan langkah-langkah yang harus diambil terhadap PT FI bersama rakyat Papua ke depan. Jika tidak, pemerintah hanya akan memperpanjang usia konflik sosial dan akumulasi kerusakan lingkungan serta kerugian negara.

JATAM menghimbau semua pihak untuk menahan diri dan menghindari penyelesaian dengan kekerasan. JATAM menyampaikan bela sungkawa atas jatuhnya korban akibat insiden yang terjadi di depan Universitas Cendrawasih. Dan mendesak pemerintah untuk memastikan tidak ada tindakan represi yang dilakukan aparat dalam menangani demonstrasi yang menuntut penutupan PT FI ke depan.

SEANDAINYA ada tamu berkunjung dan menginap di rumah kita, kemudian tamu itu tidak tahu diri dengan menguasai stok makanan di dapur, berlagak seperti tuan rumah, bahkan memperlakukan tuan rumah seperti pembantu, salahkah jika kemudian kita mengusir si tamu?

Agaknya analogi tersebut sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia dengan tamunya yaitu berbagai perusahaan asing di Indonesia, salah satunya adalah PT Freeport. Bagaimana bisa, negara Indonesia sebagai pemilik tanah Papua hanya mendapatkan jatah keuntungan 3,75 persen. Bahkan pada kenyataannya hanya satu persen. Sisanya? Dibawa oleh asing.

Cobalah sesekali bayangkan jika kita menjadi warga asli Papua. Rasakan bagaimana mereka diperlakukan tidak adil oleh negaranya sendiri. Mereka berjuang sendiri mengusir penjajah asing di tanah kelahirannya. Mau minta tolong pada siapa lagi ketika  pemerintah justru bermesraan dengan pihak Freeport dalam bingkai negosiasi.

Nasionalisasi Freeport merupakan satu-satunya solusi untuk perubahan. Sudah saatnya Freeport diambil alih bangsa sendiri. Kita bisa belajar dari Kuba dan Venezuela yang melakukan nasionalisasi terhadap tambang milik mereka. Kita juga harus belajar pada sejarah bahwa kita kita juga pernah melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan asing di era Bung Karno pada 1958 silam.

Nasionalisasi Freeport akan menjadi langkah awal bangsa Indonesia menuju kemandirian dalam menjalankan kedaulatan pemerintah dan ekonomi. Nasionalisasi Freeport dan semua perusahaan asing lainnya akan membuktikan bahwa pemerintah bersungguh sungguh dalam memperjuangkan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia.

Memang bukan hal yang mudah untuk melakukan Nasionalisasi. Bahkan ancaman sangsi denda yang besar membayanginya langkah. Namun segala keputusan selalu ada konsekuensinya. Wajar jika penjajah tidak mau diusir. Bagaimana mau pergi jika kita tidak mau mengusir? Mau menunggu emasnya habis?

Seandainya menasionalisasi Freeport dianggap melanggar perjanjian, bukankah membiarkannya seperti yang kita lihat sekarang melanggar amanat konstitusi? Cobalah tengok pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Disebutkan bahwa kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi ini dikuasai oleh negara, bukan pihak asing. Ditambah lagi, kekayaan di dalam bumi itu dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat bukan kemakmuran negara lain atau justru menderitakan rakyat.

Ada yang dengan nada pesimistis mengatakan bahwa sumber daya manusia kita belum mampu untuk mengolah tambang. Ah, itu hanya omong kosong. Berapa banyak insinyur Indonesia yang bekerja di luar negeri menjadi tenaga profesional? Lalu bagaimana kita bisa maju jika kita tidak mau belajar. Bagaimana kita bisa mandiri jika kita tidak mau mencoba.

Jadi, untuk menyelesaikan permasalahan Freeport sebenarnya mudah saja. Lakukan Nasionalisasi. Gitu aja kok Freeport, eh repot.


NB: Seharusnya nama desa di papua itu Emaspura bukan tembagapura karena di sana emas kita dikeruk habis.

Sabtu, 05 November 2011

peristiwa 10 November (Hari Pahlawan)

 “selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merahyang dapat membikin secarik kain putih merah dan putih
maka selama itu tidak akan kita akan mau menyerah kepada siapapun juga”

Itu lah pekikan suara bung Tomo 66 tahun yang lalu dengan lantang menantang Inggris di kota Surabaya. Peristiwa 10 November adalah peristiwa bersejarah di Indonesia. Pada tanggal 10 November inilah akhirnya ditetapkan sebagai Hari Pahlawan. Pertempuran Surabaya ini adalah peristiwa sejarah perang antara tentara Indonesia dan pasukan Belanda dan Sekutu.. Perang ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan. Selain itu merupakan satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.

Korban yang tewas sedikitnya 6.000 pejuang dari pihak Indonesia dan 200 ribu rakyat sipil mengungsi dari Surabaya. Korban pasukan Inggris dan India sekitar 600 orang. Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan.

Dilatar belakangi salah satu peristiwa yang terkenal adalah terbunuhnya Mallaby. Terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30. Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah. Kesalahpahaman menyebabkan terjadinya tembak-menembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tidak diketahui identitasnya, dan terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan granat yang menyebabkan jenazah Mallaby sulit dikenali.


Kematian Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak Indonesia dan berakibat pada keputusan pengganti Mallaby, Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh untuk mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA. Memang terbunuhnya seorang Jenderal melanggar peraturan perang, namun saat itu Indonesia memang tidak terkoordinir dan murni dari jiwa perlawanan rakyat. Inggris benar-benar dipermalukan permalukan dua jendral terbaiknya tewas dalam pertempuran ini :
Brigjen AWS MALLABY tewas pada tanggal 30 Oktober 1945 & brigjen ROBERT GUY LODER DYMOND tewas pada tanggal 11 November 1945.
Inggris mengira mampu menguasai Surabaya hanya dalam tempo 3 hari saja. TERNYATA TIDAK !!!.  Hingga 21 hari pertempuran Inggris belum mampu menguasai kota Surabaya. Pasukan Inggris semakin kewalahan menghadapi kegigihan pejuang RI.

Insiden di Hotel Yamato, Tunjungan, Surabaya
Setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut makin meluas ke segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru / Hotel Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranye pada zaman kolonial, sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.

Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman pada sore hari tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.

Tak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Soedirman, pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawannya dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato. Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda dan menolak untuk mengakui kedaulatan Indonesia. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara Soedirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian pemuda berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Soedirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan bersama Koesno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.

Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945 meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris . Serangan-serangan kecil tersebut di kemudian hari berubah menjadi serangan umum yang banyak memakan korban jiwa di kedua belah pihak Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi.

Demikianlah sekilas apa yang terjadi pada peristiwa tanggal 10 November. Merupakan sebuah kejadian bersejarah. Dan kita yang mewarisi kemerdekaan ini, akankah mengecewakan mereka yang tewas menjadi pupuk negeri ini?
Lalu apakah arti dari pahlawan ? “seorang pahlawan adalah seorang yang mengundurkan diri untuk dilupakan seperti kita melupakan yang mati untuk revolusi

Walaupun kita tak mampu menyumbangkan apapun seperti para pahlawan dulu, setidaknya janganlah kita menjadi pencuri dan penghancur negeri ini, yang dibangun dengan tetesan darah yang tidak sedikit.