Sabtu, 25 Februari 2012

Jalan Raya Pos, Jalan Daendels


Judul : Jalan Raya Pos, Jalan Daendels
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Tebal : 145 hal

Kau rasakan sakitnya orang-orang yang tertindas . Oleh derap sepatu pembangunan – Iwan Fals
Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, membentang 1000 km sepanjang utara Pulau Jawa, dari Anyer sampai Panarukan jarak yang sama dengan Paris-Amsterdam. Dibangun dibawah perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu : Herman Willem Daendels (1762-1818). Ketika baru saja mendaratkan kakinya di Pulau Jawa Daendels terobsesi untuk membangun jalur transportasi sepanjang pulau Jawa demi mempertahankan Jawa dari serangan Inggris. Keinginan Daendels untuk membangun jalan yang membentang antara Pantai Anyer hingga Panarukan, sebenarnya ia hanya ingin mengeraskan dan melebarkan jalan anyer-batavia tetapi ia melanjutkannnya sampai ujung timur Pulau Jawa direalisasikannya dengan mewajibkan setiap penguasa pribumi lokal untuk memobilisasi rakyat, dengan target pembuatan jalan beberapa kilometer. Pasti ada yang gagal, termasuk para pekerjanya, dibunuh. Kepala mereka digantung di pepohonan di kiri-kanan ruas jalan. Gubernur Jendral Daendels memang mengerikan. Ia kejam, tak kenal ampun. Degan tangan besinya jalan itu diselesaikan hanya dalam waktu setahun saja (1808). Suatu prestasi yang luar biasa pada zamannya. Karena itulah nama Daendels dan Jalan Raya Pos dikenal dan mendunia hingga kini.

Mesikpun Jalan Raya Pos dikenal dan selalu diajarkan di sekolah namun tak ada buku yang secara khusus mengungkap sejarah pembuatan dan sisi-sisi kelam dibalik pembuatan Jalan Raya Pos. Buku karya Pramoedya Ananta Toer(Pram) ini bisa dikatakan dapat mengisi kekosongan literatur Jalan Raya Pos dalam klasifikasi buku-buku berlatar belakang sejarah saat ini. Walau buku ini bukan merupakan buku sejarah resmi, namun buku yang ditulis Pram pada tahun 1995 dapat dijadikan sebuah buku yang mengungkap dan memberi kesaksian tentang peristiwa kemanusiaan yang mengerikan dibalik pembangunan Jalan Raya Pos.

Pram mengurai awal ketertarikannya pada Jalan Raya Pos yang memakan banyak korban jiwa para pekerja paksa yang ia golongkan sebagai genosida, pembunuhan besar-besaran ia juga menyinggung beberapa genosida yang awalnya dilakukan oleh Jan Pietersz Coen (1621) di Bandaneira, Daendels dengan Jalan Raya Posnya (1808), Cuulturstelsel alias tanam paksa (1825), genosida pada jaman Jepang di Kalimantan, genosida oleh Westerling (1947) hingga genosida terbesar dalam sejarah bangsa Indoenesia di awal-awal pemerintahan Orde Baru yakni pemabantaian “simpatisan” PKI di Pulau Bali yang mencapai 500.000 orang . Lalu setelah mengurai sejarah tercetusnya ide pembuatan Jalan Raya Pos di hati Daendels Pram membagi bukunya ini berdasarkan kota-kota yang dilewati dan berada disepanjang Jalan Raya Pos. Pram mencatat dan menjelaskan 39 kota yang berada dalam jalur Jalan Raya Pos, baik kota-kota besar seperti Batavia,Bandung, Semarang, Surabaya, maupun kota-kota kecil yang namanya jarang terdengar bagi masyarakat umum seperti Juwana, Porong, Bagil dan lain-lain.

Secara rinci Pram mengungkap sejarah terbentuknya kota-kota tersebut, dampak sosial saat dibangunnya Jalan Raya Pos, hingga keadaan kota-kota tersebut pada masa kini. Dengan sendirinya masa-masa kelam ketika Jalan Raya Pos dikerjakan akan terungkap di buku ini. Ketika Jalan Raya Pos sampai di kota Sumedang dimana pembangunan jalan harus melalui daerah yang sangat berat ditembus, di daerah Ciherang Sumedang, yang kini dikenal dengan nama Cadas Pangeran. Para pekerja paksa harus memetakan pegunungan dengan peralatan sederhana, seperti kampak, dan lain-lain. Dengan medan yang demikian beratnya inilah untuk pertama kalinya ada angka jumlah korban yang jatuh, 5000 orang! Ketika pembangunan jalan sampai di daerah Semarang, Daendels mencoba menghubungkan Semarang dengan Demak. Kembali medan yang sulit menghadang. Bukan hanya karena tanahnya tertutup oleh rawa-rawa pantai, juga karena sebagian daripadanya adalah laut pedalaman atau teluk-teluk dangkal. Untuk itu kerja pengerukan rawa menjadi hal utama. Walau angka-angka korban di daerah ini tidak pernah dilaporkan, mudah diduga betapa banyaknya kerja paksa yang kelelahan dan lapar itu menjadi makanan empuk malaria yang ganas. Sumber Inggris melaporkan seluruh korban yang tewas akibat pembangunan Jalan raya Pos sebanyak 12.000 orang!. Itu yang tercatat, diyakini jumlah korban lebih dari itu. Tak pernah ada komisi resmi yang menyelidiki.

Selain mengungkap sisi-sisi kelam dibalik pembangunan Jalan Raya Pos, Pram juga menyelipkan penggalan kenangan-kenangan masa muda dirinya pada kota-kota disepanjang Jalan Raya Pos yang pernah ia singgahi. Ada kenangan yang buruk, mengesankan, dan lucu yang pernah dialaminya di berbagai kota yang ditulisnya di buku ini. Contohnya pengalaman lucu ketika Pram muda yang sedang dalam tugas ketentaraannya bertugas di daerah Cirebon, dalam kegelapan malam secara tak disengaja ia pernah buang hajat disebuh tungku dapur yang disangkanya kakus, padahal tungku itu masih berisi sisa singkong rebus untuk rangsum para laskar rakyat.(hal 94)

Buku ini sangat relevan untuk dibaca oleh siapa saja karena buku ini merupakan sebuah buku kesaksian tentang peristiwa genosida kemanusiaan paling mengerikan dibalik pembangunan sebuah jalan sepanjang 1000 km yang dibangun beraspalkan darah dan air mata manusia-manusia pribumi yang dipaksa untuk membangunnya terlebih sejarah pembangunan di Indonesia selalu menyisakan korban seperti pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang menggusur tanah warga tanpa ganti rugi . Dan apakah dalam setiap pembangunan harus ada yang menjadi korban?

Jumat, 24 Februari 2012

Mencari Nasionalisme dalam Industri Teknologi


Pada awal tahun 2012 publik Indonesia  dihebohkan dengan  oleh produksi mobil nasional yakni kiat esemka. Seluruh media massa baik cetak maupun elektronik menjadikan berita tersebut sebagai Headline pada setiap pemberitaannya. Banyak tanggapan dari masyarakat mulai dari yang optimis akan suksesnya produksi mobil nasional namun tidak jarang dari masyarakat yang pesimis akan kelangsungan produksi mobil nasional.

Rasa pesimis tersebut bukan tanpa alasan karena mobil ini hadir saat banyak slogan penggalakkan hemat energy dan ditambah isu pengurangan jatah BBM untuk mobil pribadi pada awal bulan April maupun isu kenaikkan harga BBM. Dilihat dari perjalannya memang cukup mengkhawatirkan.

“Kita merdeka sudah 66 tahun,masa membuat mobil saja tidak bisa. Ini saatnya Indonesia unjuk gigi dan kita harus mendukung penuh pembuatan mobil nasional” ujar Joko Widodo,Walikota Solo. Joko Widodo pula penggerak pertama pembelian mobil karya SMK dikalangan aparat pemerintahan. Langkah tersebut mengingatkan kita akan kurangnya pemimpin yang bangga dengan produksi dalam negeri yang salah satu indikator penilaian nasionalisme seseorang menurut Mahatma Gandhi.

Saat baru saja merdeka dimana Nasionalisme menggebu-gebu, pemerintah dengan gencar menyuarakan anti kolonialisme dan imperialisme. Langkah yang dilakukan pemerintah saat itu sangat berani dengan menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing yang ada di tanah Indonesia. Tindakan itu sangat jelas bahwa pemerintah ingin kekayaan alam yang ada di bumi Indonesia untuk kepentingan masyarakat.

Karena saat itu Indonesia sebagai negara yang baru merdeka memerlukan sarana infrastruktur pendukung untuk kelancaran akses ekonomi. PT.Caltex ingin “membantu” pemerintah dengan membuatkan jalan raya di Pulau Sumatera namun sebagai gantinya PT.Caltex diizinkan melakukan pengeboran minyak di Pulau Kalimantan. Namun,lagi-lagi usaha tersebut ditolak oleh Presiden Soekarno. Bukan hal aneh karena saat itu menerapkan sistem ekonomi yang disebut Berdikari (Berdiri di atas kaki sendiri)

Setelah krisis ekonomi menerpa Indonesia medio 1964-1965 yang mengakibatkan inflasi hampir 600% dan suasana politik yang mecekam saat itu akhirnya Presiden Soekarno lengser. Salah satu isi dari tuntutan mahasiswa yang dikenal dengan TRITURA adalah turunkan harga. Dijawab oleh pemerintahan baru di bawah naungan Soeharto yang berhasil menurunkan inflasi. Indonesia perlu infrastruktur untuk memajukan ekonomi tetapi Indonesia tidak dapat mendanainya sendiri. Dan akhirnya,dibuatlah penanaman modal asing yang pada era Soekarno dilarang.

Masuklah Pt.Freeport pada 1969 yang melakukan penambangan tembaga di tanah Papua. Indonesia menjadi pangsa besar investasi bagi pihak asing. Datanglah Jepang pada tahun 1973 yang ingin menanamkan modalnya Indonesia dan menjadikan Jepang investor terbesar di Indonesia. Hal tersebut di anggap mahasiswa bahwa Jepang ingin kembali menguasai Indonesia.Lalu PM jepang saat itu.Taanaka ingin ke Indonesia  dan mahasiswa menyambut dengan demo besar-besaran pada tagl 14-15 januari 1974 yang dikenal dengan peristiwa malari.

Mobil-mobil buatan Jepang di sweeping dan dibakar oleh mahasiswa. Lalu mahasiswa menuntut sikap Nasionalisme pemerintah dalam investasi otomotif Jepang pada saat itu. Dan jawaban dari pemerintah atas tuntutan mahasiswa adalah meluncurkan mobil dengan merk Kijang. “Sebenarnya saat itu pemerintah hanya menjual merk saja yang berbau Indonesia agar terlihat nasionalismenya” ungkap Ichsanuddin Noorsy,pengamat ekonomi.
Pada tahun 1980an ingin memproduksi mobil sendiri melalui anak sang Presiden yakni Tommy Soeharto dengan nama Timor nasional. Namun hal itu justru mendapat ancaman dari investor dan akhirnya  terhenti. Di periode tahun yang sama, Malaysia membuat langkah yang serupa dengan merk mobil Proton. Berbeda dengan Indonesia, pemerintah Malaysia mendukung hal tersebut dan memberikan kemudahan pembelian/kredit mobil tersebut bagi rakyatnya.
Hal yang sama dengan Malaysia tadi terjadi pula di Korea Selatan, dengan etos kerja yang tinggi dan semangat nasionalis dengan slogan saingi Jepang ! dan peran pemerintah Korea yakni membatasi  jumlah mobil yang masuk ke negaranya sebagai upaya menjadika mobil KIA sebagai tuan rumah di negeri sendiri.

Lalu bagai mana dengan nasib mobil kiat esemka Indonesia ? Negara yang mementingkan gengsi merk luar negeri dibanding kualitas ini masih harus mendapat banyak tantangan terutama pendanaan.  Sebagai contoh adalah gerbong kereta bekas dari Jepang oleh pemerintah padahal produksi kereta api PT.INKA diboyong oleh Iran dan Qatar “Lebih baik mobil esemka di kembangkan oleh pihak swasta dengan mengumpulkan konglomerat Indonesia seperti Ariefin Panigoro dll untuk mendukung produksi mobil Nasional” papar Ichsanuddin Noorsy.

Bukan tanpa alasan ini diberikan pihak swasta karenakalu pemerintah yang turun tangan bisa saja produksi mobil nasional di angkat sebagai janji kampanye,setelah terpilih bisa ditinggalkan. Peran pemerintah bisa lebih ditekankan pad contoh yang di Malaysia dan Korea tadi. Konsep Swadesi terlihat dapat memajukan taraf kehidupan negara terlebih sekarang ini produksi otomotif simbol kemajuan industri teknologi  sebuah bangsa.

Minggu, 12 Februari 2012

Militer Plus-plus

Ada yang terlihat berbeda di shelter bus way Pencenongan,Jakarta Pusat (7/2). Seorang anggota Komando Strategi Angkatan Darat (Kostrad) nyelonong begitu saja ke shelter tersebut tanpa membeli tiket. Ricky, Petugas tiket yang berjaga kala itu juga tak dapat berbuat banyak melihat aksi anggota Kostrad tersebut. “Bukan hal yang aneh anggota TNI tidak membeli tiket,” imbuh Ricky yang telah bekerja selama enam menjadi petugas tiket Transjakarta. “kami juga tak berani memaksa mereka untuk membeli tiket.”
Tidak aneh apabila shelter bus way tersebut banyak yang penumpangnya dari kalangan TNI karena lokasinya yang dekat dengan Markas Besar Komando Strategi Angkatan Darat (MABES KOSTRAD). Hal tersebut menambahkan indikasi masih melekatnya hak-hak istimewa yang diberikan kepada Angkatan Bersenjata selama rezim Soeharto.
Di tempat berbeda yakni ketika saya naik Metro Mini, saya melihat anggota TNI diperlakukan layaknya bos oleh supir maupun kondekturnya: tidak dimintai ongkos, malah TNI tersebut dibelikan sebungkus rokok . ”Sudah biasa dari dulu, kalo mau aman harus dibacking TNI,” papar Otoy Kondektur Metro Mini tersebut.
Paradigma semua akan merasa aman dan tenang apabila kita mempunyai “teman” anggota TNI yang ditancapkan pemerintah terdahulu terbukti ampuh sampai saat ini. Padahal, A.H. Nasution telah lama mengecam perilaku TNI yang seperti itu. Dalam Buku ABRI: Penegak Demokrasi UUD 45, Nasution menyatakan hal tersebut telah memperkosa kepribadian militer itu sendiri untuk jauh dari masyarakat dan malah mabuk dalam perebutan kekuasaan.
Lalu sampai kapan sang anak loyal dari revolusi ini mendapat keuntungan dari rakyat atas status sosialnya sebagai alat pertahanan Negara. Bukankah ini malah menindas rakyat yang telah membiayai kehidupan militer melalui pajak yang ditetapkan Negara untuk rakyat dan dialokasikan untuk angkatan bersenjata.

Jumat, 03 Februari 2012

Eksistensi Beasiswa

Universitas telah menjadi magnet dan “supermarket” ilmu pengetahuan. Ini terbukti dengan banyaknya siswa yang ingin melanjutkan studinya ke universitas. Untuk menampung permintaan pasar pihak universitas membuka kelas baru yang biasa disebut kelas non regular, walaupun untuk itu para calon mahasiswa rela merogoh kocek cukup dalam untuk dapat berkuliah. Akan tetapi, tidak semua siswa yang ingin melanjutkan studi ke universitas berkeadaan ekonomi mampu. Dalam hal ini beasiswa menjadi tumpuan sekaligus ekspektasi dari siswa yang kurang mampu untuk tetap dapat kuliah tanpa mengeluarkan uang yang cukup besar.
Universitas Negeri Jakarta (UNJ) memulai sistem pembagian kelas reguler dan non reguler pada tahun 2003. Pembagian ini juga menandai dimulai diskriminasi pemberian beasiswa untuk kelas reguler dan non reguler. Mahasiswa reguler adalah mereka yang lolos PMDK (sekarang SNMPTN Undangan) dan SNMPTN tertulis, sedangkan mahasiswa non reguler adalah yang lolos UMB tahun 2011 dan PENMABA.
Komposisi tersebut menguntungkan mahasiswa reguler karena mereka di prioritaskan untuk menerima beasiswa dari jalur apapun. Perihal mahasiswa regular yang mendapat prioritas utama untuk mendapat beasiswa mendapat dukungan dari beberapa mahasiswa. “Wajarlah kalau mahasiswa reguler lebih mendapatkan prioritas utama dalam hal penerimaan beasiswa. Karena, untuk menjadi mahasiswa reguler tuh gak gampang dan harus melalui seleksi ketat pada saat SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) Undangan ataupun SNMPTN tertulis” ungkap Veni Mahasiswa Pendidikan Geografi 2011. Sementara, stigma mahasiswa non reguler itu berasal dari keluarga mampu sangat kuat, sehingga menjadi pewajaran untuk tidak mendapatkan beasiswa.
Perihal pembedaan prioritas penerimaan beasiswa ini pun diamini oleh Nariah, Sekretaris Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP). “Sebelum tahun 2010 mahasiswa non reguler di FIP tidak boleh mengajukan beasiswa, akan tetapi dengan berbagai pertimbagan akhirnya mahasiswa non reguler boleh mengajukan beasiswa dengan melampirkan SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu),” ujarnya. Keluhan dari mahasiswa non reguler atas mahalnya biaya kuliah menjadi pertimbangan FIP memperbolehkan mereka mengajukan beasiswa. “Biaya kuliah mahal, gue ngarepin beasiswa tapi gue kan non reg nggak akan di prioritasin untuk dapet besiswa, padahal orang tua gue cuma pedagang buah di pasar” keluh adisty mahasiswa PGSD 2010. Meski dalam proses pengajuan mahasiswa non reguler masih harus bersaing melalui perhitungan Indeks Prestasi (IP), namun FIP telah membuka akses yang dibutuhkan mahasiswa non reguler.
Diskriminasi beasiswa juga terjadi di Fakultas Bahasa dan Seni (FBS). “Beasiswa di Jurusan Bahasa Sastra Indonesia (JBSI) masih sangat kentara diskriminasinya. Khusus non reguler hanya dapat kesempatan mengajukan beasiswa dari pamflet-pamflet beasiswa di mading aja yaitu PPA dan BBM, itu pun sangat sedikit mahasiswa non reguler yang dapat menerimanya atau bahkan hampir gak ada,” papar Ucu mahasiswa jurusan JBSI 2010.
Di UNJ setidaknya mahasiswa dapat mengakses 17 jenis beasiswa  di luar Bidik Misi (Beasiswa Pendidikan Miskin Berprestasi), diantaranya: PPA, BBM, Jepang, PKPS-BBM, TPSD, The Tempo Group, POM UNJ, Supersemar, Summitmas, Toyota Astra, yayasan Salim, Gudang Garam, Indofood, BMU, Bank Indonesia, Dikmenti dan Beasiswa Jakarta. Kondisi ini sebenarnya memberi peluang bagi mahasiswa non reguler untuk mendapat beasiswa.
Lagipula,  stigma yang dituju kepada mahasiswa non reguler berasal dari keluarga yang mampu tidak sepenuhnya terbukti. Sebagai contoh, Aji mahasiswa non reguler jurusan pendidkan sejarah 2011, harus menunda kuliahnya selama 3 tahun karena faktor ekonomi keluarganya yang kurang mampu,untuk ke kampuspun ia hanya membawa uang untuk ongkos saja. “Saya bekerja tiga tahun sebagai pegawai tata usaha di sebuah sekolah untuk mengumpulkan uang kuliah, karena biaya kuliah mahal,” ujar Aji.
Sedikit berbeda dengan FIP dan FBS, Fakultas Ilmu Sosial (FIS) mencanangkan pemerataan beasiswa kepada seluruh mahasiswanya mulai tahun ajaran 2011/2012. Hal ini dinyatakan langsung oleh Dekan FIS Komarudin di saat pembukaan Masa Pengenalan Akademik (MPA) FIS, beberapa bulan yang lalu “Tahun ini peluang reguler dan non reguler untuk menerima beasiswa sama,” tegasnya. Alasan Komarudin menyampaikan pernyataan tersebut berdasar pada kesadaran bahwa mahasiswa non reguler tidak selalu berasal dari keluarga mampu.  Amanah Pembukaan UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa juga manambah keyakinannya menentukan sikap. Kontan, pernyataan ini membuat ekspektasi mahasiswa non reguler untuk menerima beasiswa meningkat.
Pernyataan Dekan FIS tadi diperkuat kembali oleh Sarkadi Pembantu Dekan III FIS. Sarkadi menjelaskan, “tidak akan  ada diskriminasi reguler dan non reguler dalam menerima beasiswa hal pertama yang sangat di prioritaskan untuk mendapatkan beasiswa adalah penghasilan orang tua mahasiswa. Sebagai contoh mahasiswa reguler dengan IP 3,5 sedangkan non reguler 3,25 tetapi penghasilan orang tua mahasiswa non reguler lebih rendah dari mahasiswa reguler. Maka yang berhak menerima beasiswa adalah mahasiswa non reguler tadi.”
Menambah kuat pernyataan Komarudin dan Sarkadi, Lina Kasubag TU FIS menambahkan bahwa mulai Januari nanti, peluang mendapatkan beasiswa bagi mahasiswa FIS terbuka lebar. Komposisinya mencapai 50:50. Penyeleksiannya pun akan dilakukan dengan sangat selektif, agar tepat sasaran. Pemohon minimal berstatus mahasiswa semester III, dengan Indeks Prestasi Komulatif (IPK) minimal 3,00 serta berasal dari keluarga yang tidak mampu. Di dalam formulir tersebut tidak akan ada pernyataan berasal dari kelas reguler atau non reguler.
Seharusnya pihak Universitas mengeluarkan keputusan kepada seluruh Fakultas untuk tidak membedakan reguler dan non reguler dalam hal menerima beasiswa. Karena secara konstitusional dipaparkan bahwa, seluruh warga negara berhak mendapat pendidikan yang layak tanpa ada diskriminasi apapun. Pendidikan bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa,agar rakyat Indonesia pintar,tak mudah dibodohi dan ditipu.