Kamis, 15 November 2012

Spora UNJ : pendidikan harus kembali ke konstitusi

Institusi pendidikan kini menjelma sebagai pasar pendidikan
 
 
Rabu, (14/11) bertempat di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) sejumlah mahasiswa yang mengatas namakan dirinya Solidaritas Pemuda Rawamangun (Spora) melakukan aksi unjuk rasa. Hal ini dilakukan bertepatan dengan peringatan satu tahun penetapan Pembantu Rektor III UNJ, sebagai tersangka. Atas kasus korupsi yang melibatkan Nazaruddin dan Mindo Rosalina Manulang. Terkait pengadaan alat labratorium di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Sebelum menggelar aksi di depan gedung rektorat UNJ, mahasiswa menggelar aksi serupa di depan setiap fakultas. Dengan membawa spanduk bertuliskan, Jangan Jadikan UNJ Pasar Pendidikan. Mahasiswa juga menuntut menolak kenaikan harga bayaran. Dan meminta UNJ segera mengusut tuntas kasus korupsi.
Selaku Dinamisator Lapangan (Dinlap) Indra Gunawan mengatakan kecewa dengan kepemimpinan Rektor Bedjo Sujanto. Menurutnya UNJ sebagai kampus yang bergerak di bidang kependidikan yang mencetak calon guru justru tidak mempunyai andil dalam pembuatan kebijakan pendidikan nasional. “Kami kecewa dengan Bedjo. UNJ tak lagi diperhitungkan dalam membuat kebijakan pendidikan di Indonesia,” kata pria yang akrab disapa Igun ini. Dia menambahakan, dulu ketika masih bernama IKIP Jakarta, UNJ banyak dilibatkan dalam pembuatan kebijakan pendidikan oleh pemerintah, sedangkan saat ini UNJ tidak bisa berbuat apa-apa dengan adanya Program Profesi Guru (PPG) yang jelas-jelas merugikan bagi kampus yang bergerak di ranah pendidikan.
Selain masalah korupsi, UNJ juga menetapkan sistem bayaran UKT. Tujuan diberlakukannya UKT ini dianggap rektorat untuk mengantisipasi banyaknya mahasiswa yang mengundurkan diri pada tahun 2011 sebanyak 217 orang. Pada 2011 mahasiwa baru diharuskan membayar uang masuk mencapai lima juta rupiah. Tetapi diberlakukannnya sistem bayaran UKT yang diberlakukan UNJ tahun ini malah dijadikan ajang untuk meraup keuntungan. Terbukti dengan diterimanya mahasiswa baru tahun 2012 mencapai 6200. Padahal, UKT sendiri masih bersifat surat edaran dari Dikti.
Mahasiswa juga menuntut UNJ, menghentikan segala bentuk pembangunan yang dananya berasal dari hutang dan hibah. Didaktika mencatat pada tahun 2010, Islamic Development Bank (IDB) telah  memberi dana hibah sebesar 20 milyar dolar Amerika Serikat untuk UNJ. Yang nantinya akan dibayarkan oleh pemerintah, dalam artian rakyatlah yang akan membayarnya. 
Penolakan mahasiswa beralasan bahwa pembangunan yang dilakukan UNJ bukan untuk membangun ruang kelas bagi mahasiswa, tetapi membangun gedung-gedung yang sekiranya dapat memberi UNJ pemasukan lebih. Dalam orasinya, hal tersebut disampaikan oleh Koordinator Lapangan Bakti Paringgi, “Di tengah gencarnya pembangunan gedung baru oleh UNJ. UNJ alpa dalam merawat gedung yang sudah ada, ini terbukti dengan masih kurangnya jumlah kursi di kelas, hingga pendingin udara yang mati,” ucapnya tegas.
Sangat jelas, semua kebijakan yang diambil UNJ mulai dari uang bayaran yang naik. Sampai pembangunan yang tidak berorientasi pada kebutuhan mahasiswa. Berakibat terciptanya peluang untuk korupsi. Maka dari itu, dengan ini Spora menuntut agar UNJ mesti mengembalikan proses pendidikan sesuai dengan amanat UUD 1945. “ Adanya liberalisasi pendidikan, UNJ kini tak ubahnya seperti pasar pendidikan. UNJ mesti kembali ke UUD 1945, di mana setiap warga negara berhak mendapatkan akses atas pendidikan. Tidak seperti sekarang,” pinta Igun yang masih berstatus sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial UNJ

Selasa, 13 November 2012

Jangan Jadikan UNJ Pasar Pendidikan





Hentikan jual-beli pendidikan sekarang juga

Sejak munculnya UU BHP (Badan Hukum Pendidikan) dalam perguruan tinggi pada tahun 2005 menuai banyak kontroversi. UU BHP sendiri digagas karena negara dinilai lalai dalam mengatur dan membiayai perguruan tinggi. Karena alokasi APBN tidak cukup menutupi biaya operasional perguruan tinggi yang ada di Indonesia terutama perguruan tinggi negeri. Untuk itulah dibutuhkan UU BHP yang di dalamnya mengedepankan otonomi kampus terutama dalam hal keuangan.

Selama proses uji coba BHP, pemerintah justru menganggap alokasi pembiayaan kampus sangat menyedot banyak dana APBN. Pemerintah coba lepas tangan dalam mengelola perguruan tinggi dengan menandatangani perjanjian dengan WTO (World Trade Organization) tahun 2007, dan pendidikan masuk dalam ranah penyedia pelayanan jasa yang masuk dalam GATS (General Agreement on Trade in Services).

Pemerintah lalu membentenginya dengan regulasi yang cukup kuat yakni melalui UU No. 25 Tahun 2007. Dalam regulasi itu pihak asing bebas menanamkan investasinya ke perguruan tinggi dengan harapan mampu memberikan lulusan yang dapat memenuhi kebutuhan pasar. Kemudian UU BHP digagalkan oleh mahkamah konstitusi pada tahun 2009, karena dinilai sarat akan liberalisasi di bidang pendidikan dan melepaskan peran pemerintah dalam bidang pendidikan. Namun, perjanjian dengan WTO tetap berlangsung.

Bak pepatah aceh Anjing pergi, babi masuk. Digagalkannya UU BHP pemerintah justru mensosialiasikan sistem PK-BLU (Pengelolaan Keuangan – Badan Layanan Umum) pada setiap kampus. Dalam sistem BLU, kampus berhak mengatur dan mengelola keuangannya sendiri untuk membangun kampus, entah itu mendapat dana hibah ataupun berhutang. UNJ (Universitas Negeri Jakarta) sendiri secara resmi menerapkan PK-BLU sejak Desember 2009.

Kemudian dengan semangat PK-BLU, hadirlah Islamic Development Bank (IDB) di UNJ. Dengan memberikan hutang sebesar 20 milyar kepada UNJ untuk membangun gedung-gedung baru. Konsekuensi pemberlakuan BLU adalah membuka program studi baru yang menjual bagi kebutuhan pasar. Dengan ini banyak mahasiswa baru yang daftar di jurusan barunya dan UNJ dapat keuntungan dengan penambahan mahasiswa baru di jurusan yang baru pula. Konsekuensi lainnya ialah kampus diharuskan menutup jurusan yang sangat dikit diminati dan tidak menjual di pasar.

Dengan dibukanya jurusan baru dan peminat yang sangat banyak UNJ tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk meraup keuntungan. Seperti yang terjadi di tahun 2011 dengan mahasiswa baru yang mencapai 5100, UNJ menaikan iuran SPP mencapai 35%. Hingga akhirnya sebanyak 217 mahasiswa baru di tahun 2011 mengundurkan diri dari UNJ karena tidak mampu untuk membayar uang masuk sekitar 5 juta. Pada tahun 2012, UNJ coba menyiasati uang bayaran yang mahal pada awal masuk dengan memberlakukan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Sistem ini dinilai rektorat adalah cara yang tepat untuk meminimalisir jumlah mahasiswa yang banyak mengundurkan diri tahun lalu. Pemberlakuan UKT sendiri tidak menyelesaikan masalah buktinya masih banyak mahasiswa yang mengundurkan diri. Bukan tanpa sebab karena UNJ masih memberlakukan diskriminasi bagi yang lulus snmptn itu akan dibantu. Sedangkan mereka yang lolos dijalur mandiri dianggap sebagai orang dari kalangan mampu. Sistem bayaran tahun ini (UKT-red) adalah dengan menjumlahkan total uang kuliah selama empat tahun lalu membaginya ke dalam delapan semester.

Namun, jika dikalkulasi hingga delapan semester sistem UKT ini jauh lebih mahal dari uang bayaran yang diberlakukan di tahun 2011. UNJ lagi-lagi melihat ini sebagai sebuah keuntungan. Untuk itu pada 2012 ini, UNJ menerima mahasiswa baru sebanyak 6200. Jumlah yang sangat tidak berbanding lurus dengan jumlah kelulusan mahasiswa UNJ yang tiap tahun hanya mencapai 4000.

Biaya kuliah yang membumbung tinggi tidak dibarengi dengan fasilitas yang baik kepada mahasiswa. Ini terbukti dengan banyaknya masalah di dalam kelas seperti kurangnya kursi hingga matinya pendingin udara. Padahal UNJ sedang giat melakukan pembangun sejak tahun 2009. Namun, seolah pembangunannya saat ini mangkrak. Karena UNJ membangun dengan cara berhutang kepada IDB, dan IDB sendiri belum lagi mencairkan dananya untuk UNJ. Hutang yang diberikan oleh IDB kepada UNJ nantinya akan dibayarkan oleh pemerintah dengan uang rakyat (pajak-red).

Contoh nyata pembangun yang mangkrak adalah gedung parkiran baru di UNJ. Gedung yang belum rampung ini dianggap solusi terbaik untuk mmengatasi sumpeknya UNJ. Namun yang terjadi saat ini, UNJ sedang melakukan lobi-lobi kepada pengelola parkir swasta untuk menggarap parkiran di UNJ. Dengan sistem parkiran layaknya di supermarket, UNJ berharap mendapat pemasukan lebih dari sektor parkiran selain dari uang SPP.

Dengan sistem yang diberlakukan oleh UNJ sangat jelas bahwa UNJ melakukan logika pasar. Yakni dengan menjual titel untuk mahasiswa dengan berharap mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Jumlah lulusan UNJ sendiri yang mencapai 4000 tiap tahunnya belum menjamin dapat bekerja sebagai guru, karena lowongan pekerjaan untuk menjadi guru tidak sampai 4000. Penetepan jumlah spp  yang mebumbung tinggi juga tidak  memberi kesempatan rakyat miskin untuk berkuliah. Berarti dengan sangat jelas bahwa kampus telah mengkhianati konstitusi negara yang di dalam tertuang tujuan negara yakni mencerdaskan kehidupan bangsa yang kemudian diperkuat dalam pasal 31 ayat 1-5 UUD 1945.
Maka dari itu kami SPORA (Solidaritas Pemuda Rawamangun) menuntut :
1.      Cabut Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
2.      Berhenti berhutang
3.      Usut tuntas kasus korupsi di kampus sampai ke akarnya
4.      Laksanakan pembangunan kampus yang berorientasi kepada mahasiswa
5.      Terapkan pendidikan murah berkualitas sesuai amanat konstitusi
6.      Tolak segala bentuk kapitalisasi dan komersialisasi pendidikan
7.      Membuka kesempatan beasiswa tanpa adanya diskriminasi
8.      Tolak Sistem Parkir Berbayar Yang Merugikan Mahasiswa

Jakarta 14 Nopember 2012

Solidaritas Pemuda Rawamangun

Mendidik rakyat dengan pergerakan, mendidik penguasa dengan perlawanan !

Sabtu, 10 November 2012

Anak Pembangunan Orde baru



Gedung kita memang tidak bagus, pembangunan memang perlu. Tapi, yang lebih penting adalah membangun mahasiswanya – Winarno Surakhmad (Rektor IKIP), Koran Didaktika 1979

Hanya satu kata , Pembangunan. Itulah dalil yang digunakan oleh rezim Soeharto untuk bisa melanggengkan kekuasaannya sampai 32 tahun. Hingga Soeharto dijuluki bapak pembangunan. Soeharto tidak salah, Indonesia memang sangat perlu pembangunan untuk memajukan taraf hidup rakyat hingga perubahan dibidang ekonomi yang lebih baik. Setelah ekonomi Indonesia terkoyak hingga hampir mencapai titik nadir ditahun 1965. Setelah naik ke tampuk kekuasaan tahun 1966, Soeharto mengatakan revolusi sudah tidak lagi laku. Yang terpenting saat ini adalah membangun Indonesia. Soeharto sadar Indonesia tidak banyak memiliki uang untuk membangun Indonesia, lalu bagaimana cara untuk membangun Indonesia ?

Soeharto berpikir Indonesia membutuhkan pihak asing untuk membangun, untuk itu ia menerbitkan UU penanaman modal asing. Dari penanaman modal asing memang cukup berguna untuk membangun Indonesia secara fisik  terutama sarana dan prasarana untuk memajukan perekonomian. Tahun-tahun awal memang banyak dinilai orang cukup bagus. Akan tetapi, dipertengahan jalan banyak yang keliru. Dimulai eksploitasi tambang emas Freeport yang awalnya adalah ingin mengambil tembaga di bumi cendrawasih. Belum lagi pembentukan komisi hutang untung membangun Indonesia  yaitu Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI). Banyak dan yang diterima Indonesia tetapi tidak ada pemerataan pembangunan yang berarti yang ada malah meningkatnya birokratnya yang korupsi. Dan pembangunan Indonesia hanya terpaku pada fisik saja bukan manusianya. Lebih lanjut, Akibat represif pemerintahan Soeharto, yang terjadi adalah masyarakat merasa takut untuk berpendapat, apatis, pragmatis bahkan oportunis.

Coba menilik ke dalam kampus saat ini, ternyata ada kesamaan  dengan orde baru. Ya, Universitas Negeri Jakarta (UNJ) sedang giat-giatnya membangun gedung dalilnya adalah gedungnya sudah kumuh.  “Rencana untuk membangun gedung sudah ada sejak awal konversi IKIP Jakarta menjadi UNJ tahun 1999,” tutur Soeprijanto, Pembantu Rektor (PR) IV disaat menghadiri peluncuran majalah didaktika (17/10). Ia menambahkan, UNJ sendiri baru mendapatkan dananya dari Islamic Deveploment Bank (IDB) tahun 2009. Dan, dari situ pembangunan UNJ terus digalakkan hingga saat ini. Lagi-lagi dana yang digunakan adalah dengan cara berhutang.

Seperti yang diucapkan Soeprijanto disaat yang sama sumber dana UNJ juga bukan hanya dari IDB, ada beberapa lagi tapi yang salah satunya ialah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P). Dengan banyaknya dana yang mengalir untuk proyek pembangunan birokrat UNJ pun terlibat masalah korupsi pengadaan labolaturium. Lalu kemanakah tujuan pembangunan UNJ ? Menurut Soeprijanto, Tujuan pembangunannya adalah agar UNJ menjadi World Class University dan yang pertama dilihat adalah keadaan fisik UNJ sendiri. Sangat miris ketika mendengar pernyataan tersebut. Ketika yang diutamakan dalam pembangunan lagi-lagi hanya berorientasi pada fisik gedung.

Lalu bagaimana dengan mahasiswanya ? Sudah barang pasti mahasiwanya pun acuh tak acuh karena tuntutan untuk lulus cepat. Dengan biaya kuliah yang membumbung tinggi sebagai akibat dari ketidakpunyaan sumber pendapatan UNJ untuk merawat gedung baru. Karena yang ada dikepala mereka bagaimana caranya lulus dengan cepat. Hal itu ditempuh dengan cara apapun entah hanya yang penting hadir didalam kelas agar mendapat nilai A (sempurna). Atawa, dengan mengerjakan tugas terus menerus hingga dirinya teralenasi dalam masyarakat. Akhirnya, dari hal-hal itu terbentuklah mahasiswa-mahasiswa yang apatis, pragmatis dan oportunis.

Kamis, 08 November 2012

Pahlawan, Padamu Kami Mengadu




Pahlawan pasti menangis ketika melihat Indonesia saat ini bergantung pada pihak asing


Setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1942 yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang saka merah putih  dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut makin meluas ke segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Hotel Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranye pada zaman kolonial, sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.
Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. Ploegman pada sore hari tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.
Tak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Soedirman, pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawannya dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato. Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda dan menolak untuk mengakui kedaulatan Indonesia. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara Soedirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian pemuda berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Soedirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan bersama Koesno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.
Dilatar belakangi salah satu peristiwa yang terkenal adalah terbunuhnya Mallaby. Terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30. Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah. Kesalahpahaman menyebabkan terjadinya tembak-menembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tidak diketahui identitasnya, dan terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan granat yang menyebabkan jenazah Mallaby sulit dikenali.
Membangun dengan Modal Asing
Salah satu tujuan kemerdekaan itu adalah berhak menentukan arah kehidupan suatu bangsa. Tak terkecuali masalah pembangunan. Arah pembangunan Indonesia ketika baru merdeka dibawah rezim Soekarno yaitu berdiri di atas kaki sendiri. Artinya, segala sesuatu dalam kehidupan sehari-hari menggunakan produk dalam negeri. Tak hanya sampai disitu, Soekarno pun berani menasionalisasi perusahaan asing yang masih berdiri dibumi Indonesia tujuannya sudah pasti agar semua yang terkandung di dalam bumi Indonesia dapat dinikmati oleh rakyat Indonesia sendiri. 20 tahun memimpin Indonesia, Soekarno harus merelakan tampuk kekuasaan kepada Soeharto secara inkonstitusional.
Gaya kepemimpinan Soeharto sangat jauh berbeda dengan Soekano. Hal yang paling mencolok adalah Soeharto sangat kooperatif dengan barat sedangkan Soekarno yang anti barat. Menurut Soeharto Indonesia sangat memerlukan pembangunan dan untuk membangun diperlukan modal sangat besar akan tetapi menurut Soeharto, Indonesia tidak punya banyak uang untuk membangun. Akhirnya Soeharto memutuskan untuk membuka jalur investasi dari asing khususnya dari barat untuk menanamkan modalnya di Indonesia melalui regulasi UU PMA tahun 1967. Inilah awal bangkitnya kapitalisme di Indonesia. Dan, Freeport menjadi perusahaan asing pertama yang menancapkan cengkramannya di Indonesia dengan sekali kontrak mencapai 20 tahun. Di dalam salah satu perjanjiannya adalah Freeport berhak mengambil tembaga.
Setelah itu berbondong-bondonglah investor lain yang siap menanamkan modalnya di Indonesia. Melihat kesempatan ini, pemerintah kembali mengeluarkan RUU PMA tahun 1973 (yang kemudian disahkan tahun 1974) yang lebih memberi keleluasaan bagi investor asing. Mayoritas investor asing menanmkan modalnya di Sumber Daya Alam yang sangat vital, menyangkut hajat hidup orang banyak seperti BBM. Ini sangat jelas bertentangan dengan konstitusi. Untuk itu mahasiswa sangat menentang pemerintah dengan melakukan demonstrasi besar-besaran tahun 1974 yang lebih dikenal dengan peristiwa Malari.
Rezim Soeharto memang sudah berakhir, tetapi kapitalisnya justru masih sangat kuat. Ketika Soeharto lengser pun Indonesia kembali tunduk dengan kekuatan modal asing yang salah satunya adalah IMF yang memaksakan Indonesia untuk menyepakati Letter of Intents. Maksud hati, Soeharto mau memeluk gunung untuk menghemat devisa, tapi yang terjadi, justru celaka. Ekonomi Indonesia kacau. Indonesia urung tinggal landas dan kembali digiring ke titik nol dalam pelukan IMF . Soeharto yang sejak 1967 menopang pembangunan dari dana pinjaman IMF, seperti tak bisa mengelak. Dengan iming-iming umpan US$ 43 miliar, IMF lantas memaksa Soeharto menandatangani kesepakatan -terdiri 50 paragraf yang kemudian dikenal sebagai 50 point Letter of Intent (LoI)- dan ironisnya, kini jadi bumerang bagi siapa pun yang memimpin negeri ini. Kemudian langkah ini pun masih dijalankan pada masa pemerintahan SBY saat ini.
Padahal, kalau negeri ini masih dikelola dengan paradigma lama dengan "menyerahkan masa depan" bangsa ini kepada trinitas IMF (International Monetery Fund), World Trade Organization (WTO), dan Wordl Bank (Bank Dunia), bukan saja merupakan langkah tak bijak tapi juga membahayakan.
Melihat Indonesia saat ini sangat jelas sangat berbeda dengan apa yang diharapkan oleh pahlawan yang telah mengorbankan segalanya untuk Indonesia. Penodaan terhadap konstitusi bahkan pemimpin negara sampai berselingkuh dengan kekuatan modal asing . Masih banyak rakyat miskin yang tak mampu merasakan kekayaan Indonesia. Jika sudah begini, mewujudkan Indonesia yang adil dan makmur pun seolah hanya angan-angan terlebih mewujudkan Indonesia yang diharapkan Soekarno  yaitu tri sakti Indonesia. Walaupun kita tak mampu menyumbangkan apapun seperti para pahlawan dulu, setidaknya janganlah kita menjadi pencuri dan penghancur negeri ini, yang dibangun dengan tetesan darah yang tidak sedikit.