Senin, 09 Desember 2013

Perjalanan Politik dan Wanita dalam Kehidupan Soekarno




Penulis : Ahmad Kusuma Djaya
Penerbit : Kreasi Wacana
Tahun : Cetakan Pertama, 2013
Tebal: 316 Halaman
 



 “Tuhan menciptakan wanita penuh dengan keindahan yang tak tertandingi”, Soekarno


Sudah 68 tahun Indonesia memproklamirkan diri sebagai sebuah bangsa dan negara yang merdeka. Namun, selama tiga puluh dua tahun Orde Baru (orba) berkuasa. Selama itu pula kharisma sang proklamator dilunturkan. Propaganda orba mengaitkanya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) tak membuat namanya terkubur zaman. Entah berapa banyak manipulasi sejarah orba  untuk mengdeskreditkan perannya. Tetapi, Si Bung justru menjadi ikon revolusi nasional. Presiden boleh berganti tiap lima tahun. Layaknya Jesus, orang-orang masih memasang gambarnya entah itu dalam bentuk sticker, pin, kaos atau berupa lukisan. Tak peduli lukisan mahal ataupun hanya lukisan di belakang truk.
Orang-orang menghormatinya sebagai Founding Father. Pidatonya yang menggelegar mengalahkan Adolf  Hitler, ketegasannya, kata-katanya yang selalu diingat, dan nasibnya yang “ditakdirkan” jadi pembaca naskah proklamasi. Itu semua sisi baiknya, sisi terang yang diketahui banyak manusia yang lahir setelah kematiannya, kemudian menjadi pengagum barunya.
Buku berjudul “Soekarno, Perempuan dan Revolusi” menjadi titik terang kehidupan terang juga gelapnya. Ahmad Kusuma Djaya berpendapat buku terbitannya ini harfiahnya memang membedah dua sisi Soekarno yakni Perempuan dan Revolusi. Namun, seolah justru mencoba “mempopulerkan” sisi gelap pada kehidupan Sukarno yang kontroversial. Tak dapat dipungkiri Soekarno sangat tergila-gila akan keindahan perempuan. Yang menurutnya merupakan ciptaan Tuhan yang tak ada tandingannya. Ini bisa dimaklumi, sisi baik pemimpin besar revolusi ini tentunya sudah banyak diketahui. Namun, siapa yang tahu sisi paradoks dalam diri Sukarno. Kekagumannya terhadap perempuan tak membuatnya menjadi lemah. Justru sebaliknya, sosok perempuan menjadikannya kuat. Terutama pada masa pergerakan. Itulah yang dikemas dalam buku setebal 316 halaman ini.
Koesno Sosrodihardjo, begitu nama lahir Soekarno, ialah sang penakluk wanita sejati. Siapa yang menyangka, semenjak mengenyam pendidikan sekolah menengah (HBS) Surabaya, Soekarno sudah mahir “menjerat perempuan”. Mien Hassel merupakan salah satu gadis Belanda, teman sekolah Soekarno, yang sempat membuat Soekarno remaja tergila-gila. “Hanya inilah satu-satunya jalan yang kuketahui untuk memeperoleh keunggulan terhadap bangsa kulit putih”, kilahnya kepada Cindy Adams, penulis buku otobiografi “Soekarno, Penyambung Lidah Masyarakat”. Penulis mengatakan, statement tersebut terilhami oleh novel Student Hijo yang ditulis oleh mas Marco kartodikromo. Salah seorang tokoh gerakan Sarekat Islam yang ia kenal saat masih menumpang di rumah Tjokroaminoto.
Kehidupan pribadinya, yang sangat sederhana, tak banyak diketahui orang. Perkawinannya pun tak surut dari teka-teki, ia menikah dengan sembilan wanita. Dari Inggit Ganarsih, janda yang 15 tahun lebih tua darinya, hingga kisah jalinan asmara layaknya kakek dan cucu dengan anak gadis SMA, Yurike Sanger. Bahkan saat menikahi istri terakhirnya, Heldy Jafar, dua mempelai ini terpaut usia 48 tahun. Dari semua perkawinyanya, kecuali, Utari, istri pertamanya, dan Hartini, hampir semua perkawinnanya berakhir pahit untuk wanita yang dinikahinya.
Si Bung mengakui sendiri bahwa ia seorang yang keras kepala dan dibalik suara pidatonya yang meledak-ledak, ia juga seorang yang rapuh dan kadang tak berpendirian. Sebelum menikahi Inggit Ganarsih, istri yang setia menjenguknya saat dirinya di penjaran pemerintah kolonial, Soekarno hanyalah harimau yang kehilangan taringnya. Wanita yang lebih dulu mengilhami Soekarno adalah Sarinah. Sosok pembantu pada masa kanak-kanak Soekarno, ia yang mengajari bagaimana harus menghormati perempuan. Tak seperti raja-raja jawa yang menganggap perempuan hanya perhiasan rumah semata. Bahkan secara khusus, Soekarno menulis pandangannya terhadap perempuan dalam sebuah buku yang ia beri judul Sarinah pada 1947. Episode perjalanan politiknya berliku, ia memlilih jalan yang bersebrangan dengan kawan-kawan politiknya, di antara dua orientasi politik terkuat saat itu, islam dan marxisme, ia justru lebih tertarik dengan paham yang dinamainya sendiri sebagai marhaenisme.
Putra sang fajar ini juga dianggap kolabolator dengan penjajah, sangat berlawanan dengan rekan politiknya, seperti Amir Syarifuddin, Sutan Syahrir atau Tan Malaka yang memilih bergerak dengan perlawanan di bawah tanah. Namun pilihan politiknya menyeretnya pada keterasingan, ia bahkan dianggap sebagai penyebab terbunuhnya banyak romusha saat pendudukan Jepang, pidatonya di depan para pemuda untuk membantu jepang dengan bergabung menjadi romusha, justru mengantar para romusha berlayar ke gerbang pembantaian.
Pembawaanya yang menganggap dirinya bagaikan Bima, dalam wayang mahabarata, yang mengantarkanya pada tabiat yang baru, menempatkanya sebagai raja. Ia membubarkan dewan konstituate hasil pemilihan umum 1955 dan mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup. Inilah dua sisi Sukarno. Si lembut dan si keras kepala, seorang pemberontak yang mudah takluk oleh wanita. Soekarno adalah Indonesia dan Indonesia adalah Sukarno, begitulah cara ia membawa Indonesia medio 1960-an. Meski sebagai paradoks, ia membawa Indonesia sebagai bangsa yang sejajar dengan bangsa-bangsa yang ada di dunia.