Sabtu, 08 Juni 2013

Perempuan, Dobrak Belenggu !



 

Judul Asli: Women at Point Zero
Penulis: Nawal el-Saadawi
Penerjemah : Amir Sutaaraga
Penerbit: Yayasan Obor Indonesia
Terbit: Februari 2000

Novel perempuan di titik nol adalah novel terjemahan karya Nawal el Saadawi dari judul asli Woman at point zero. Diterbitkan pertama kali dalam bahasa Indonesia oleh yayasan obor Indonesia pada tahun 1989. Novel ini di dasari dari kisah nyata dan pengalaman sang penulis sendiri dan menceritakan tentang kehidupan dari Firdaus tokoh utama dari novel ini. Firdaus adalah anak dari seorang petani, hidupnya sangatlah rumit dan penuh konflik. Sejak kecil Firdaus sudah menjalani penganiayaan dari segi fisik maupun mental oleh seorang lelaki yang dikenalnya sebagai ayah. Sesungguhnya tak cuma Firdaus yang mendapat perlakuan dari sosok ayahnya itu, tapi ibunya pun tidak pernah mempunyai nasib yang lebih baik dari Firdaus.
Ketika ayah dan ibu Firdaus meninggal, Firdaus di asuh oleh pamannya. Meski pamannya itu bersikap lebih baik dan lemah lembut daripada ayahnya, tapi sosok paman yang lemah lembut itu sama seperti lelaki lain. Pamannya pun tidak melewatkan kesempatan untuk melakukan pelecehan seksual kepadanya. Seringkali pamannya meraba-raba paha Firdaus sambil membacakan buku kepadanya sebelum atau sesudah Firdaus tinggal bersamanya. Dalam masa ini, Firdaus disekolahkan di sekolah menengah pertama. Disitulah ia dapat merasakan bergaul dengan sebayanya, namun ketika itu juga ia hampir mengenal cinta tetapi tidak dari lawan jenis, melainkan dari seorang guru perempuan. Lulus dari sekolah menengah dengan nilai terbaik, lalu pamannya menikah dengan seorang gadis anak dari guru sewaktu ia sekolah di Al-Azhar.
Waktupun terus belalu, lama-kelamaan sang bibi tersebut kurang suka dengan keberadaan Firdaus di rurmahnya. Jadi ia berencana untuk mengenalkan Firdaus pada seorang laki-laki yang bernama Syekh Mahmud, orang tua yang berumur 60 tahun yang kaya raya dan sangat pelit disertai dengan adanya bisul disekitar wajahnya. Untuk membalas budi sang paman, Firdaus pun menerima pinangan dari Syekh Mahmoud tersebut dan umurnya waktu itu adalah 18 tahun. Apa boleh buat Firdaus pun harus melayani lelaki dengan wajahnya yang penuh bisul itu walau dengan setengah hati. Namun lama-kelamaan Firdaus pun tak tahan dan kemudian melarikan diri. Hal itu disebabkan Firdaus seringkali mendapatkan perlakuan yang menyakiti fisiknya.Ia pun terus berlari, dan saking kencangnya ia berlari akhirnya tibalah pada suatu keindahan pemandangan sungai Nil. Disitulah awal mulanya Firdaus beremu dengan lelaki yang bernama Bayoumi.
Awalnya ia mengira lelaki yang bernama Bayoumi adalah seorang laki-laki yang baik, namun ternyata tidak demikian. Bayoumi lalu mengajak Firdaus untuk tinggal satu rumah. Bayoumi pun tidak ketinggalan untuk merasakan nikmatnya tubuh Firdaus bersama teman-temannya. Bayoumi lah yang membawa Firdaus pada suatu profesi yang disebut pelacur. Kali ini ia bertemu dengan seorang perempuan cantik yang bernama Syarifa yang ternyata tak lebih dari seorang germo. Namun, berkat perempuan itu Firdaus lebih mengenal lagi tentang dunia pelacuran dan mengetahui bahwa ia memiliki tubuh dengan harga diri yang tinggi, disitu Firdaus merasakan kenikmatan dunia. Karena adanya konflik antara Firdaus dan Fawzi (pacar Syarifa) yang ingin memperistri Syarifa. Maka atas sikap Syarifa Firdaus yang penuh rasa hormat kepada siapapun yang di temuinya, Firdaus pun kembali melarikan diri. Di jalan ia di ajak oleh seseorang untuk masuk kedalam mobil dan dibawa ke hotel. Setelah melakukan persetubuhan Firdaus di beri uang sebesar 10 pon.
Jalan hidup membawa Firdaus menjadi seorang pelacur mandiri dan berharga. Ia bisa membeli apapun yang ia inginkan, ia bisa berdandan cantik, dan yang paling penting ia bisa memilih dengan siapa ia akan tidur. Akan tetapi nasib baik belum juga bersahabat dengannya. Ketika itu Firdaus sedang merasakan frustasi karena ia tidak merasa nyaman dan tenang saat ia menekuni sebagai seorang pelacur. Lalu ia sempat beralih profesi menjadi pegawai kantoran. Disana dia bertemu dan bisa merasakan rasanya jatuh cinta pada teman kerjanya, tetapi tetap saja lelaki itu hanya menyukai dan menginginkan kenikmatan tubuh perempuan. Bahkan perempuan adalah pelacur dalam hidup seorang lelaki, karena setelah menjadi istri pun wanita masih menjadi pelacur. Hal yang membedakannya adalah ketika sudah berumah tangga wanita merasa pasrah, tidak dibayar, dan memakai cinta dalam persetubuhannya. Sedangkan pelacur jalanan dibayar dan tidak memakai cinta dalam hubungannya.
Akhirnya Firdaus pun menekuni profesinya kembali sebagai seorang pelacur, sehingga seorang germo memaksa Firdaus bekerja untuknya. Ternyata dari pengalamannya selama ini, Firdaus pun sadar dan menjadi perempuan yang tak mau lagi di injak-injak harga dirinya oleh kaum pria. Namun karena sang germo memaksa dan mengancamnya, Firdaus pun memegang sebilah pisau dan menghujamkan beberapa tusukan, sehingga akhirnya ia membunuh sang germo. Setelah peristiwa itu, ia segera menyerahkan diri kepada polisi dan akhirnya masuk penjara. Akibat ulahnya itu, Firdaus pun di vonis hukuman mati. Namun anehnya dia malah menolak menerima grasi yang telah diusulkan oleh seorang dokter penjaranya kepada presiden. Firdaus menggunakan kepasifan sebagai senjata perlawanan untuk mempertahankan harga dirinya, termasuk kepasifan menerima hukuman mati. Menurut Firdaus , vonis itu justru merupakan satu-satunya jalan menuju kebebasan sejati. Ironis.
Inti cerita dari novel perempuan di titik nol ini yaitu menceritakan seorang pelacur yang mempertahankan harga dirinya dengan sikap yang pasif pada setiap orang terutama lelaki. Pasif disini diartikan adalah tidak mau berusaha untuk mencari alternatif yang lain demi kemajuan dan kelangsungan masa depannya, tetapi hanya tetap mengandalkan apa yang terjadi sekarang dan menerimanya. Hal ini terlihat dari sikap Firdaus yang tetap mau menerima hukuman mati sebagai jalan dari kebebasannya yang sejati. Dari segi isi cerita, kelebihan dari novel ini yaitu membangkitkan semangat bagi para perempuan untuk tidak terjerumus pada kesenanganan dunia sesaat yang negatif. Jika seorang perempuan mendapatkan pelecehan seperti itu, kita (khususnya kaum perempuan) harus berani untuk membela diri karena sekarang sudah zaman emansipasi wanita yaitu kedudukan wanita tidak seperti zaman dulu yang hanya dijadikan sebagai alat pemuas lelaki, bebas berpendapat tetapi tidak melenceng dari aturan-aturan yang berlaku, dan lain-lain. Novel ini juga banyak memberikan pengetahuan untuk para kaum Adam (lelaki) untuk bisa lebih menghargai dan menghormati kaum hawa khususnya perempuan, sekalipun perempuan itu seorang pelacur atau perempuan terhormat, dan lain-lain.
Membaca karya-karya sastra dari negeri yang sedang berkembang pasti akan menemukan banyak persamaan, meskipun tentu juga akan di temukan berbagai reaksi dan jawaban berbeda, akibat dari latar belakang sejarah, kondisi dan situasi masyarakat, nilai-nilai masyarakat maupun perseorangan, agama, dan sebagainya saling berbeda. Akan tetapi, apabila kita membuka pikiran hati kita membaca karya sastra, maka kita akan mendapat pengalaman yang kaya sekali, pengalaman manusia yang hanya kita timba dari sastra, dan yang tidak mungkin kita dapat dari buku-buku sejarah maupun penelitian masyarakat. Mungkin saja pengalaman itu dapat membawa kita pada pengertian yang lebih jelas dan jernih tentang apa yang terjadi dengan kita dalam suatu kelompok masyarakat, seperti halnya yang di ceritakan di dalam novel ini.
Kehadiran buku Nawal el Saadawi ini menunjukkan bahwa perjuangan perempuan Mesir untuk merebut kedudukan dan hak-hak yang sama dalam suatu komunitas, dan lebih penting lagi untuk mendapat perubahan nilai dan sikap kaum lelaki Mesir terhadap perempuan, masih belum sepenuhnya tercapai. Serta bisa membuka mata beberapa negara lain di dunia ini, khususnya bagi masyarakat untuk bisa lebih menghargai dan menghormati kedudukan dan hak-hak seorang wanita, baik di tengah masyarakat, maupun dalam hubungan langsung antara lelaki dan permpuan secara sosial dan juga pribadi, baik di dalam maupun di luar perkawinan. Buku ini membangkitkan semangat feminisme, semangat untuk memberontak terhadap ketidakadilan gender yg masih terus saja terjadi. Semangat untuk menuntut persamaan hak dengan para lelaki. Menurut Nawal El Sadawi, penindasan terhadap wanita bukan karena Timur atau Barat, atau karena Islam atau agama-agama lain, namun disebabkan oleh sistem patriarki yang berkelas-kelas di dalam masyarakat manusia secara keseluruhan. Akan tetapi, selama kaum perempuan masih tetap terlena dan tidak sadar akan posisinya dalam kehidupan bermasyarakat, maka “penindasan” tetap selalu ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar