Judul
Asli: Women at Point Zero
Penulis: Nawal el-Saadawi
Penerjemah : Amir Sutaaraga
Penerbit: Yayasan Obor Indonesia
Terbit: Februari 2000
Penulis: Nawal el-Saadawi
Penerjemah : Amir Sutaaraga
Penerbit: Yayasan Obor Indonesia
Terbit: Februari 2000
Novel
perempuan di titik nol adalah novel terjemahan karya Nawal el Saadawi dari
judul asli Woman at point zero. Diterbitkan pertama kali dalam bahasa Indonesia
oleh yayasan obor Indonesia pada tahun 1989. Novel ini di dasari dari kisah
nyata dan pengalaman sang penulis sendiri dan menceritakan tentang kehidupan
dari Firdaus tokoh utama dari novel ini. Firdaus adalah anak dari seorang
petani, hidupnya sangatlah rumit dan penuh konflik. Sejak kecil Firdaus sudah
menjalani penganiayaan dari segi fisik maupun mental oleh seorang lelaki yang
dikenalnya sebagai ayah. Sesungguhnya tak cuma Firdaus yang mendapat perlakuan
dari sosok ayahnya itu, tapi ibunya pun tidak pernah mempunyai nasib yang lebih
baik dari Firdaus.
Ketika
ayah dan ibu Firdaus meninggal, Firdaus di asuh oleh pamannya. Meski pamannya
itu bersikap lebih baik dan lemah lembut daripada ayahnya, tapi sosok paman
yang lemah lembut itu sama seperti lelaki lain. Pamannya pun tidak melewatkan
kesempatan untuk melakukan pelecehan seksual kepadanya. Seringkali pamannya
meraba-raba paha Firdaus sambil membacakan buku kepadanya sebelum atau sesudah
Firdaus tinggal bersamanya. Dalam masa
ini, Firdaus disekolahkan di sekolah menengah pertama. Disitulah ia dapat
merasakan bergaul dengan sebayanya, namun ketika itu juga ia hampir mengenal
cinta tetapi tidak dari lawan jenis, melainkan dari seorang guru perempuan.
Lulus dari sekolah menengah dengan nilai terbaik, lalu pamannya menikah dengan
seorang gadis anak dari guru sewaktu ia sekolah di Al-Azhar.
Waktupun
terus belalu, lama-kelamaan sang bibi tersebut kurang suka dengan keberadaan
Firdaus di rurmahnya. Jadi ia berencana untuk mengenalkan Firdaus pada seorang
laki-laki yang bernama Syekh Mahmud, orang tua yang berumur 60 tahun yang kaya
raya dan sangat pelit disertai dengan adanya bisul disekitar wajahnya. Untuk membalas budi sang paman, Firdaus pun
menerima pinangan dari Syekh Mahmoud tersebut dan umurnya waktu itu adalah 18
tahun. Apa boleh buat Firdaus pun harus melayani lelaki dengan wajahnya yang
penuh bisul itu walau dengan setengah hati. Namun lama-kelamaan Firdaus pun tak
tahan dan kemudian melarikan diri. Hal itu disebabkan Firdaus seringkali
mendapatkan perlakuan yang menyakiti fisiknya.Ia pun terus berlari, dan saking
kencangnya ia berlari akhirnya tibalah pada suatu keindahan pemandangan sungai
Nil. Disitulah awal mulanya Firdaus beremu dengan lelaki yang bernama Bayoumi.
Awalnya
ia mengira lelaki yang bernama Bayoumi adalah seorang laki-laki yang baik,
namun ternyata tidak demikian. Bayoumi lalu mengajak Firdaus untuk tinggal satu
rumah. Bayoumi pun tidak ketinggalan untuk merasakan nikmatnya tubuh Firdaus
bersama teman-temannya. Bayoumi lah yang membawa Firdaus pada suatu profesi
yang disebut pelacur. Kali ini ia bertemu dengan seorang perempuan cantik yang
bernama Syarifa yang ternyata tak lebih dari seorang germo. Namun, berkat
perempuan itu Firdaus lebih mengenal lagi tentang dunia pelacuran dan
mengetahui bahwa ia memiliki tubuh dengan harga diri yang tinggi, disitu
Firdaus merasakan kenikmatan dunia. Karena adanya konflik antara Firdaus dan
Fawzi (pacar Syarifa) yang ingin memperistri Syarifa. Maka atas sikap Syarifa
Firdaus yang penuh rasa hormat kepada siapapun yang di temuinya, Firdaus pun
kembali melarikan diri. Di jalan ia di ajak oleh seseorang untuk masuk kedalam
mobil dan dibawa ke hotel. Setelah melakukan persetubuhan Firdaus di beri uang
sebesar 10 pon.
Jalan
hidup membawa Firdaus menjadi seorang pelacur mandiri dan berharga. Ia bisa
membeli apapun yang ia inginkan, ia bisa berdandan cantik, dan yang paling
penting ia bisa memilih dengan siapa ia akan tidur. Akan tetapi nasib baik
belum juga bersahabat dengannya. Ketika itu Firdaus sedang merasakan frustasi
karena ia tidak merasa nyaman dan tenang saat ia menekuni sebagai seorang
pelacur. Lalu ia sempat beralih profesi menjadi pegawai kantoran. Disana dia
bertemu dan bisa merasakan rasanya jatuh cinta pada teman kerjanya, tetapi
tetap saja lelaki itu hanya menyukai dan menginginkan kenikmatan tubuh
perempuan. Bahkan perempuan adalah pelacur dalam hidup seorang lelaki, karena
setelah menjadi istri pun wanita masih menjadi pelacur. Hal yang membedakannya
adalah ketika sudah berumah tangga wanita merasa pasrah, tidak dibayar, dan
memakai cinta dalam persetubuhannya. Sedangkan pelacur jalanan dibayar dan
tidak memakai cinta dalam hubungannya.
Akhirnya
Firdaus pun menekuni profesinya kembali sebagai seorang pelacur, sehingga
seorang germo memaksa Firdaus bekerja untuknya. Ternyata dari pengalamannya
selama ini, Firdaus pun sadar dan menjadi perempuan yang tak mau lagi di
injak-injak harga dirinya oleh kaum pria. Namun karena sang germo memaksa dan
mengancamnya, Firdaus pun memegang sebilah pisau dan menghujamkan beberapa
tusukan, sehingga akhirnya ia membunuh sang germo. Setelah peristiwa itu, ia segera
menyerahkan diri kepada polisi dan akhirnya masuk penjara. Akibat ulahnya itu, Firdaus pun di vonis
hukuman mati. Namun anehnya dia malah menolak menerima grasi yang telah
diusulkan oleh seorang dokter penjaranya kepada presiden. Firdaus menggunakan
kepasifan sebagai senjata perlawanan untuk mempertahankan harga dirinya,
termasuk kepasifan menerima hukuman mati. Menurut Firdaus , vonis itu justru
merupakan satu-satunya jalan menuju kebebasan sejati. Ironis.
Inti
cerita dari novel perempuan di titik nol ini yaitu menceritakan seorang pelacur
yang mempertahankan harga dirinya dengan sikap yang pasif pada setiap orang
terutama lelaki. Pasif disini diartikan adalah tidak mau berusaha untuk mencari
alternatif yang lain demi kemajuan dan kelangsungan masa depannya, tetapi hanya
tetap mengandalkan apa yang terjadi sekarang dan menerimanya. Hal ini terlihat
dari sikap Firdaus yang tetap mau menerima hukuman mati sebagai jalan dari
kebebasannya yang sejati.
Dari segi isi cerita, kelebihan dari
novel ini yaitu membangkitkan semangat bagi para perempuan untuk tidak
terjerumus pada kesenanganan dunia sesaat yang negatif. Jika seorang perempuan
mendapatkan pelecehan seperti itu, kita (khususnya kaum perempuan) harus berani
untuk membela diri karena sekarang sudah zaman emansipasi wanita yaitu
kedudukan wanita tidak seperti zaman dulu yang hanya dijadikan sebagai alat
pemuas lelaki, bebas berpendapat tetapi tidak melenceng dari aturan-aturan yang
berlaku, dan lain-lain. Novel ini juga banyak memberikan pengetahuan untuk para
kaum Adam (lelaki) untuk bisa lebih menghargai dan menghormati kaum hawa
khususnya perempuan, sekalipun perempuan itu seorang pelacur atau perempuan
terhormat, dan lain-lain.
Membaca
karya-karya sastra dari negeri yang sedang berkembang pasti akan menemukan
banyak persamaan, meskipun tentu juga akan di temukan berbagai reaksi dan
jawaban berbeda, akibat dari latar belakang sejarah, kondisi dan situasi
masyarakat, nilai-nilai masyarakat maupun perseorangan, agama, dan sebagainya saling
berbeda. Akan tetapi, apabila kita membuka pikiran hati kita membaca karya
sastra, maka kita akan mendapat pengalaman yang kaya sekali, pengalaman manusia
yang hanya kita timba dari sastra, dan yang tidak mungkin kita dapat dari
buku-buku sejarah maupun penelitian masyarakat. Mungkin saja pengalaman itu
dapat membawa kita pada pengertian yang lebih jelas dan jernih tentang apa yang
terjadi dengan kita dalam suatu kelompok masyarakat, seperti halnya yang di
ceritakan di dalam novel ini.
Kehadiran
buku Nawal el Saadawi ini menunjukkan bahwa perjuangan perempuan Mesir untuk
merebut kedudukan dan hak-hak yang sama dalam suatu komunitas, dan lebih
penting lagi untuk mendapat perubahan nilai dan sikap kaum lelaki Mesir
terhadap perempuan, masih belum sepenuhnya tercapai. Serta bisa membuka mata
beberapa negara lain di dunia ini, khususnya bagi masyarakat untuk bisa lebih
menghargai dan menghormati kedudukan dan hak-hak seorang wanita, baik di tengah
masyarakat, maupun dalam hubungan langsung antara lelaki dan permpuan secara
sosial dan juga pribadi, baik di dalam maupun di luar perkawinan. Buku ini
membangkitkan semangat feminisme, semangat untuk memberontak terhadap ketidakadilan
gender yg masih terus saja terjadi. Semangat untuk menuntut persamaan hak
dengan para lelaki. Menurut Nawal El Sadawi, penindasan terhadap wanita bukan
karena Timur atau Barat, atau karena Islam atau agama-agama lain, namun
disebabkan oleh sistem patriarki yang berkelas-kelas di dalam masyarakat
manusia secara keseluruhan. Akan tetapi, selama kaum perempuan masih tetap
terlena dan tidak sadar akan posisinya dalam kehidupan bermasyarakat, maka
“penindasan” tetap selalu ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar