Senin, 20 Mei 2013

Mempertanyakan Kedaulatan Ekonomi Kita



Judul Buku : Manifesto Ekonomi Kerakyatan
Penulis : Revrisond Baswir
Penerbit : Pustaka Pelajar
Cetakan : Pertama, Desember 2009
Tebal : xv + 162 halaman

Bila kita membahas tolok ukur kesejahteraan sebuah negara, sudah barang tentu kita akan membahas ekonomi. Lalu bagaimana dengan perekonomian di Indonesia Perekonomian Indonesia pada triwulan I-2013 tumbuh 6,02 persen atau lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun 2012 sebesar 6,3 persen ( Kompas, 7 Mei 2013). Lantas, dengan pertumbuhan ekonomi yang mencapai 6 persen, apa berdampak bagi rakyat kecil ? Jawabannya tentu tidak. Beberapa ekonom berpendapat perekonomian Indonesia sudah sangat neoliberal hingga seberapa besar pertumbuhan ekonomi tidak akan berdampak langsung bagi rakyat kecil. Untuk “melawan” sistem perekonomian saat ini, Revrisond Baswir coba menjabarkan ekonomi kerakyatan.
Ekonomi kerakyatan akhir-akhir ini semakin sering diperbincangkan. Perbincangan tidak hanya berlangsung di media massa atau di ruang-ruang diskusi dan seminar, tetapi berlangsung pula diberbagai forum lainnya di tengah-tengah masyarakat. Dalam kepungan pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal yang semakin mencekeram Indonesia, dan di bawah tekanan pelaksanaan agenda-agenda perdagangan bebas dalam pentas ekonomi-politik dunia, perbincangan mengenai ekonomi kerakyatan ini tentu terasa cukup menyegarkan. Setidak-tidaknya, dengan semakin gencarnya perbincangan mengenai ekonomi kerakyatan, kehadiran ekonomi kerakyatan sebagai wacana tandingan ekonomi neoliberal terasa semakin kuat.
Secara historis lahirnya ekonomi kerakyatan didasari semangat anti penghisapan, karena itulah lahirnya ekonomi kerakyatan tidak bisa dilepaskan dari sejarah perjuangan bangsa kita untuk menuju kemerdekaan dan membebaskan diri dari kolonialisme. Menurut Bung Karno ekonomi Indonesia yang berwatak Kolonial setidaknya memiliki ciri-ciri sebagai berikut; pertama, sebagai pemasok bahan mentah; kedua, pasar barang-barang jadi yang dibuat oleh negara-negara industri maju; ketiga, tempat memutar kelebihan kapital dari negara-negara maju (hlm.6).
Lalu, perbincangan mengenai ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi tidak dapat dipisahkan dari Bung Hatta. Sebagai proklamator dan sekaligus sebagai seorang ekonom pejuang. Hatta berusaha sekuat tenaga untuk memasukkan gagasan besar ekonomi kerakyatan itu sebagai dasar penyelenggaran perekonomian indonesia. Hatta sekali lagi mempertegas pentingnya penyelenggaraan ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi sebagai jalan untuk melembagakan kedaulatan ekonomi rakyat dan untuk mengutamakan kemakmuran masyarakat diatas kemakmuran orang seorang.
 Sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi”. Atas dasar itulah secara substansial ekonomi kerakyatan mengandung. Partisipasi anggota masyarakat dalam proses produksi nasional. Kemudian, hasil-hasil dari produksi nasional dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Tearakhir, kegiatan pembentukan produksi dan pembagian hasil-hasilnya harus berlangsung dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Artinya masyarakat harus menjadi objek dalam perekonomian kita. Sebagai subyek, maka masyarakat harus turut memiliki alat-alat produksi, turut mengambil keputusan ekonomi. Dan bentuk penyelenggaraan usaha yang paling sesuai adalah koperasi.
Namun, gagasan Hatta yang sangat cemerlang ini  mendapat perlawanan. Perlawanan itu sudah dimulai sejak Konfrensi Meja Bundar (KMB), PRRI-Pemesta dan gerakan 30 September yang mengubah sistem perekonomian Indonesia. Hingga kini, corak ekonomi nasional berorientasi ekspor bahan mentah, impor bahan jadi dari negeri-negeri industri maju, dan fungsi Indonesia tak lain sebagai tempat sirkulasi kapital asing. Stratifikasi sosial begitu terasa. Rakyat Indonesia masih jadi budak di negerinya sendiri karena akses ekonominya selalu terhadang oleh blokade negara besar yang tergabung dalam G-8 atau biasa disebut casino capitalism (hlm.109). Contoh nyatanya ialah penggusuran lahan rakyat berkedok sertifikasi tanah, biodisel-global warming, atau pembangunan apartemen mewah berlangsung di mana-mana. Upah buruh yang murah lantaran deregulasi massif yang dipersembahkan untuk perusahaan dan investor asing. Lihat bagaimana Freeport mengekspolitasi gunung emas di Papua.
Pun demikian dengan demokrasi politik bagi rakyat Indonesia masih jauh dari ekspektasi. General election, yang didewakan oleh World Bank, IMF, dan Amerika justru memiskinkan, membiaskan akses, hak, dan partisipasi politik rakyat. Partai politik dan anggota DPR bukan representasi rakyat. Tapi melalui mekanisme rekruitmen politik yang dimanipulasi agar seolah-olah bernada suara rakyat, partai politik dan anggota DPR hanya berfungsi sebagai boneka kelompok-kelompok kepentingan. Dari semua kondisi nasional tersebut adalah Indonesia hingga detik ini masih terjajah, tereksploitasi, dan belum merdeka. Karena pentingnya dan relevannya sistem ekonomi kerakyatan tersebut, maka buku Manifesto Ekonomi Kerakyatan ini menjadi sangat penting.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar