Kamis, 16 Mei 2013

Dies Natalies UNJ ke- 49, Memimpikan Pendidik yang Jujur



 
Kejujuran merupakan suatu sifat yang menjadi dasar ukuran kepercayaan manusia terhadap sesamanya. Kejujuran mempunyai nilai tersendiri sesuai dengan profesinya. Kejujuran adalah kunci kehormatan bagi para pejabat pemerintahan dimata rakyat dan bawahannya. Kejujuran adalah kunci kesaksian bagi para hakim untuk menetapkan keputusan peradilan. Adapun untuk para pedagang, kejujuran adalah kunci keberkahan.
Semua kita tentunya mencita-citakan Indonesia menjadi bangsa yang berkarakter jujur yang belakangan ini sering digunjingkan. Namun, sampai saat ini nilai kejujuran bagaikan bayangan semu bagi bangsa ini. Bagaimana tidak, hari ini kita menyaksikan kasus pidana korupsi mengakar dari pemerintahan pusat hingga ke daerah, bahkan sampai tingkat desa. Seakan tak mau kalah, dunia pendidikan pun turut dan larut dalam lingkar hantu korupsi. Teringat ucapan Amien Rais bahwa “Hanya orang yang belum punya kesempatanlah yang belum korupsi”. Rasanya kita tak ingin bangsa ini dilabelkan sebagai bangsa yang tak jujur.
Berbicara kejujuran tidak lepas dari bicara pendidikan, karena pendidikan yang harusnya mengajarkan tentang nilai-nilai kejujuran. Pendidikan yang dikelola birokrat kotor, akan sangat membahayakan bagi pembangunan mental dan karakter bangsa. Sulit rasanya mengajarkan kebaikan pada peserta didik jika para birokrat pendidikan justru memanfaatkan dana pendidikan untuk kepentingan pribadi dan golongannya.
Berdasarkan hasil penelitian, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan kasus korupsi di bidang pendidikan Indonesia telah merugikan negara hingga Rp139 miliar, lebih lanjut ICW menyatakan sepanjang 2012 sudah ada dugaan 40 kasus. Kasus korupsi ditemukan di semua level pendidikan, mulai dari sekolah dasar hingga Perguruan Tinggi. Pelakunya, mulai dari dinas pendidikan daerah hingga anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Menurut laporan terbaru ICW, sekitar sepertiga anggaran pendidikan negara diselewengkan khususnya untuk proyek pengadaan barang dan jasa.
Tak terkecuali di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Pada 2011, Mahkamah Agung telah menetepakan Pembantu Rektor (PR) III Fakhruddin Arbach dan dosen Tekhnik Sipil, Tri Mulyono ditetapkan sebagai tersangka kasus mark-up angaran pengadaan barang labolaturium. Kasus ini mencuat seiring ditetapkannya Nazarudddin sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam tender pengadaan alat labolaturium di 16 Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Kasus ini sempat tidak ditindak lanjuti selama setahun oleh pengadilan. Baru pada awal tahun 2013, pengadilan menggelar persidangan perdana. Selama beberapa kali persidangan, kasus ini juga meyeret nama-nama baru seperti Pembantu Dekan (PD) I Fakultas Ekonomi, Dedi Purwana bahkan nama Rektor UNJ, Bedjo Sujanto disinyalir ikut terlibat kasus ini.
Meminjam istilah Ki Hajar Dewantara yang terkenal dan sering terlupakan “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”. Semboyan tersebut mempunyai arti mendalam. Bagaimana tidak, jika semua elemen pendidikan mampu memposisikan diri menjadi posisi terdepan dalam menjadi teladan yang postif, yang ditengah mampu menciptakan peluang untuk berprakarsa. Kemudian yang dibelakang memberikan dorongan yang positif.  Jika ketiga ini bisa bersatu padu tentunya akan menghasilkan karakter postif dan membentuk sebuah peradaban pendidikan yang bersinergi.
Inilah bagian dari refleksi kita menyongsong Dies Natalies UNJ ke - 49. Pendidik yang baik adalah mereka yang berkata benar dan berperilaku benar. Ironisnya, pendidik di negeri ini, banyak yang benar perkataannya namun penyimpang tingkah lakunya. Rasanya malu dan memalukan, ketika kita menyaksikan melalui media para pendidik negeri ini, yang selalu mengajarkan moralitas kejujuran namun penuh dusta dan nista. Dusta melalui korupsi dan nista dengan menodai kehormatan anak didiknya sendiri.
Terlebih, UNJ merupakan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang notabene kampus pencetak guru. Dimana guru merupakan pilar utama dalam runtuh dan majunya sebuah bangsa. Lantas, bagaimana menciptakan guru yang jujur jika kampus pencetak gurunya korup. Pepatah bijak memberi hikmah bahwa “guru yang kencing berdiri maka akan melahirkan murid yang akan kencing berlari”. Murid yang dihasilkan dari mental-mental koruptor maka hanya akan melahirkan generasi dengan mental yang lebih parah dari gurunya. Membangun sebuah peradaban bangsa yang baik dan kuat, bukanlah sebuah pekerjaan sederhana. Peradaban suatu bangsa terkait erat dengan karakter positif hasil pendidikan suatu bangsa, terutama guru. Rasanya naïf, kita memimpikan pemimpin masa depan negeri ini yang jujur dan berkarakter dari sebuah proses pendidikan kalau pendidiknya sendiri hanya sebatas retorika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar