Kejujuran merupakan suatu sifat
yang menjadi dasar ukuran kepercayaan manusia terhadap sesamanya. Kejujuran
mempunyai nilai tersendiri sesuai dengan profesinya. Kejujuran adalah kunci
kehormatan bagi para pejabat pemerintahan dimata rakyat dan bawahannya.
Kejujuran adalah kunci kesaksian bagi para hakim untuk menetapkan keputusan
peradilan. Adapun untuk para pedagang, kejujuran adalah kunci keberkahan.
Semua kita tentunya
mencita-citakan Indonesia menjadi bangsa yang berkarakter jujur yang belakangan
ini sering digunjingkan. Namun, sampai saat ini nilai kejujuran bagaikan
bayangan semu bagi bangsa ini. Bagaimana tidak, hari ini kita menyaksikan kasus
pidana korupsi mengakar dari pemerintahan pusat hingga ke daerah, bahkan sampai
tingkat desa. Seakan tak mau kalah, dunia
pendidikan pun turut dan larut
dalam lingkar hantu korupsi. Teringat
ucapan Amien Rais bahwa “Hanya orang yang belum punya
kesempatanlah yang belum korupsi”. Rasanya kita tak ingin bangsa ini dilabelkan sebagai bangsa yang tak jujur.
Berbicara kejujuran tidak lepas
dari bicara pendidikan, karena pendidikan yang harusnya mengajarkan tentang
nilai-nilai kejujuran. Pendidikan yang dikelola birokrat kotor, akan sangat
membahayakan bagi pembangunan mental dan karakter bangsa. Sulit rasanya
mengajarkan kebaikan pada peserta didik jika para birokrat pendidikan justru memanfaatkan dana pendidikan untuk kepentingan pribadi dan
golongannya.
Berdasarkan hasil penelitian, Indonesia
Corruption Watch (ICW) menyatakan kasus korupsi di bidang pendidikan Indonesia
telah merugikan negara hingga Rp139 miliar, lebih lanjut ICW menyatakan
sepanjang 2012 sudah ada dugaan 40 kasus. Kasus
korupsi ditemukan di semua level pendidikan, mulai dari sekolah dasar hingga Perguruan Tinggi. Pelakunya, mulai dari dinas
pendidikan daerah hingga anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Menurut laporan
terbaru ICW, sekitar sepertiga anggaran pendidikan negara diselewengkan
khususnya untuk proyek pengadaan barang dan jasa.
Tak terkecuali di Universitas
Negeri Jakarta (UNJ). Pada 2011, Mahkamah Agung telah menetepakan Pembantu
Rektor (PR) III Fakhruddin Arbach dan dosen Tekhnik Sipil, Tri Mulyono ditetapkan
sebagai tersangka kasus mark-up
angaran pengadaan barang labolaturium. Kasus ini mencuat seiring ditetapkannya
Nazarudddin sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam
tender pengadaan alat labolaturium di 16 Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Kasus
ini sempat tidak ditindak lanjuti selama setahun oleh pengadilan. Baru pada
awal tahun 2013, pengadilan menggelar persidangan perdana. Selama beberapa kali
persidangan, kasus ini juga meyeret nama-nama baru seperti Pembantu Dekan (PD)
I Fakultas Ekonomi, Dedi Purwana bahkan nama Rektor UNJ, Bedjo Sujanto disinyalir
ikut terlibat kasus ini.
Meminjam istilah Ki Hajar Dewantara yang terkenal dan
sering terlupakan “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri
Handayani”. Semboyan tersebut mempunyai arti mendalam. Bagaimana tidak,
jika semua elemen pendidikan mampu memposisikan diri menjadi posisi terdepan
dalam menjadi teladan yang postif, yang ditengah mampu menciptakan peluang
untuk berprakarsa. Kemudian yang dibelakang memberikan dorongan yang positif.
Jika ketiga ini bisa bersatu padu tentunya akan menghasilkan karakter
postif dan membentuk sebuah peradaban pendidikan yang bersinergi.
Inilah bagian dari refleksi kita menyongsong Dies Natalies UNJ ke - 49. Pendidik yang baik adalah mereka yang
berkata benar dan berperilaku benar. Ironisnya, pendidik di negeri ini, banyak
yang benar perkataannya namun penyimpang tingkah lakunya. Rasanya malu dan
memalukan, ketika kita menyaksikan melalui media para pendidik negeri ini, yang
selalu mengajarkan moralitas kejujuran namun penuh dusta dan nista. Dusta
melalui korupsi dan nista dengan menodai kehormatan anak didiknya sendiri.
Terlebih, UNJ merupakan Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang notabene kampus pencetak guru.
Dimana guru merupakan pilar utama dalam runtuh dan majunya sebuah bangsa. Lantas,
bagaimana menciptakan guru yang jujur jika kampus pencetak gurunya korup. Pepatah
bijak memberi hikmah bahwa “guru yang kencing berdiri maka akan melahirkan
murid yang akan kencing berlari”. Murid yang dihasilkan dari mental-mental
koruptor maka hanya akan melahirkan generasi dengan mental yang lebih parah
dari gurunya. Membangun sebuah peradaban
bangsa yang baik dan kuat, bukanlah sebuah pekerjaan sederhana. Peradaban suatu bangsa terkait erat
dengan karakter positif hasil pendidikan suatu bangsa, terutama guru. Rasanya
naïf, kita memimpikan pemimpin masa depan negeri ini yang jujur dan berkarakter
dari sebuah proses pendidikan kalau pendidiknya sendiri hanya sebatas retorika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar