PPG bukan jawaban menciptakan guru
kritis
Wacana pendidikan kritis sudah cukup lama, namun
kenyataannya banyak lembaga pendidikan yang mencetak tenaga kependidikan
"belum familiar" dengan hal ini karena dianggap kekiri-kirian. Namun,
ketika mencermati bahwa masih banyak tenaga pendidik yang belum profesional,
kurang kreatif dan kritis karena lebih banyak terjebak pada persoalan rutinitas
dan cenderung mekanik, dan menunggu perintah dari atasan, boleh jadi salah satu
penyebabnya adalah wadah yang menggodok mereka (LPTK) juga tidak jauh dari
tampilan outputnya (guru). Bertolak dari kenyataan ini, ada sisi positif yang
dapat dikembangkan dari paradigma pedagogi kritis ketika membentuk LPTK agar
pendidik yang dihasilkan juga kritis. Paktik pendidikan keguruan kita
mestinya bergerak menuju menciptakan guru-guru sebagai intelektual transformatif.
Akan tetapi, tiba-tiba muncul PPG yang makin menjauhkan praktik pendidikan guru
yang ada sekarang ini dari ideal guru yang berkualitas. Walaupun begitu kita
memang mesti mengakui, praktik pendidikan keguruan sekarng memang tidak ideal.
Satu hal yang tidak boleh dilupakan oleh para perumus LPTK
adalah bahwa guru profesional hanya akan muncul dari LPTK profesional. Untuk
itu, pertimbangan guru ideal harus diperhatikan ketimbang pertimbangan
pragmatis, sebab sudah muncul kecenderungan di antara guru menempuh jenjang S1
karena alasan pragmatis, yang ditandai dengan pemilihan program studi yang sama
sekali tidak berhubungan dengan profesinya. Bagi guru berkualitas, perubahan
sebuah kurikulum tidak menjadi persoalan, sebab baginya kurikulum hanya sekedar
alat, yang terpenting bagaimana alat itu digunakan. Bahkan, menurut John Dewey
guru pada dasarnya adalah pembuat kurikulum.
Untuk mencetak guru berkualitas, penuh inovasi dan
kreatifitas, LPTK perlu mempertimbangkan paradigma pedagogi kritis yang dilsebutkan
oleh Jean Anyon, Paulo Freire dan Henry Giroux. Mereka berpendapat bahwa pendidikan
pada dasarnya merupakan bentuk kritik sosial dan kultural. Salah satu tujuan
pendidikan adalah rekonstruksi sosial. Lembaga pendidikan merupakan media yang
diharapkan mampu memperbaiki dan mengkritisi berbagai persoalan yang muncul di
masyarakat yang diakibatkan oleh faktor ekonomi, politik, dan budaya. Karena
itu, berbagai persoalan yang berkembang dalam realitas sosial dibawa ke ruang kelas untuk dikritisi. Hasil
pembahasan ini kemudian ditawarkan dan dilaksanakan sebagai alternatif
pemecahan. Proses ini tidak akan berjalan secara maksimal jika tidak ada kesadaran
kritis dari pelaksana pendidikan terutama guru dan peserta didik.
Eksistensi seseorang sangat terkait dengan masyarakat yang
lebih luas baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, ataupun lembaga pendidikan.
Artinya, kesadaran seseorang pada dasarnya merupakan cermin kesadaran kolektif
yang dibentuk antara lain melalui keluarga, masyarakat, dan sekolah. Sebab, dia
belajar dari orang di sekitarnya. Dalam konteks pedagogi kritis, tidak
berkualitasnya pendidikan dan SDM guru lebih disebabkan oleh faktor struktural
atau kultural. Untuk itu, proses pendidikan adalah upaya untuk ‘menyadarkan’ seseorang tentang kondisi dia yang
sebenarnya (fakta sosial). Fakta
sosial tidak pernah dapat dipisahkan dengan ranah nilai. Ini berarti bahwa
berbagai aktifitas yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari merupakan
perwujudan atau cermin nilai dari sang pelaku. Karena itu, ada hubungan yang
erat antara tindakan dengan nilai, antara guru dan murid. Hubungan tersebut
tidak tentatif dan seringkali dimediasi oleh lingkaran produksi, konsumsi, dan
relasi sosial. Untuk itu, pembacaan kritis terhadap sebuah fakta sosial harus
selalu dilakukan dengan cara berkomunikasi.
Dalam komunikasi diperlukan bahasa, bahasa merupakan pusat
bagi formasi subyektifitas. Dalam perspektif ini kepentingan, kebutuhan, dan
kecenderungan seseorang atau lembaga dimunculkan melalui media bahasa. Di sisi
lain, bahasa pada dasarnya merupakan bentuk utama pemikiran seseorang yang
kemudian disepakati bersama oleh masyarakat. Kata yang dimunculkan oleh sebuah
komunitas belum tentu dimaknai secara persis sama oleh komunitas lain. Karena itu, seringkali dijumpai di
masyarakat ada permasalahan yang muncul diakibatkan oleh perbedaan bahasa dan
kultur. Setelah itu terbentuklah
perbedaan status sosial, munculnya perbedaan status di masyarakat baik secara
ekonomi maupun sosial disebabkan oleh pemberian hak secara tidak adil oleh
pihak lain, seperti pihak birokrat, politisi, dan pemilik modal, karena
kepentingan tertentu. Masalahnya,
banyak anggota masyarakat yang menganggap perbedaan itu terjadi begitu saja,
alami, dan niscaya.
Munculnya, perbedaan tersebut disebabkan oleh perlakuan
yang tidak adil dari penguasa. Untuk itu, murid perlu disadarkan tentang
kondisi ini. Ini tidak berarti bahwa semua anggota masyarakat harus sama, namun
ketika cara mendapatkan kekayaan, status sosial, atau jabatan itu dilakukan
secara wajar, tentu hal ini akan diterima. Akhirnya, munculnya sebuah permasalahan di masyarakat harus dikaitkan
dengan aspek lain. Memandang permasalahan dari satu segi saja sama halnya
dengan menyederhanakan masalah. Proses pendidikan harus mampu melihat persoalan
yang muncul di masyarakat dari banyak perspektif. Sebagai contoh, banyaknya
guru yang “ngobyek” di luar profesi sebagai guru tidak dapat dilihat dari aspek
profesionalisme dan etos kerja guru saja, namun perlu dikaitkan dengan masalah
kebijakan pemerintah yang belum menghargai profesi guru, atau rendahnya
penghargaan masyarakat terhadap profesi ini.
Sayangnya, banyak lulusan LPTK
yang memang tidak berkualitas, banyak juga mahasiswa yang kuliah di kampus
keguruan tidak banyak termotivasi untuk jadi guru, dan praktik pendidikan guru
memang bermasalah, dangkal, seringkali teknis-teknis saja. Namun itu bukan
berarti harus membuat PPG yang merugikan mahasiswa kependidikan, sebaliknya
kondisi tersebut mestinya jadi cambuk bagi kampus-kampus keguruan untuk
memperbaiki diri. LPTK perlu
mempertimbangkan paradigma di atas dalam kompetensi pedagogis agar lembaga ini
tidak sekedar memberikan muatan materi bernuansa teknis tapi miskin filosofis.
Dengan demikian, momentum penyiapan tenaga kependidikan yang memenuhi syarat
melalui LPTK tidak dilewatkan sehingga terbentuk guru yang kreatif, inovatif,
dan kritis bukan dari pelaksanaan PPG.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar