Kamis, 20 Juni 2013

LPTK dan Pedagogik Kritis



PPG bukan jawaban menciptakan guru kritis

Wacana pendidikan kritis sudah cukup lama, namun kenyataannya banyak lembaga pendidikan yang mencetak tenaga kependidikan "belum familiar" dengan hal ini karena dianggap kekiri-kirian. Namun, ketika mencermati bahwa masih banyak tenaga pendidik yang belum profesional, kurang kreatif dan kritis karena lebih banyak terjebak pada persoalan rutinitas dan cenderung mekanik, dan menunggu perintah dari atasan, boleh jadi salah satu penyebabnya adalah wadah yang menggodok mereka (LPTK) juga tidak jauh dari tampilan outputnya (guru). Bertolak dari kenyataan ini, ada sisi positif yang dapat dikembangkan dari paradigma pedagogi kritis ketika membentuk LPTK agar pendidik yang dihasilkan juga kritis. Paktik pendidikan keguruan kita mestinya bergerak menuju menciptakan guru-guru sebagai intelektual transformatif. Akan tetapi, tiba-tiba muncul PPG yang makin menjauhkan praktik pendidikan guru yang ada sekarang ini dari ideal guru yang berkualitas. Walaupun begitu kita memang mesti mengakui, praktik pendidikan keguruan sekarng memang tidak ideal.
Satu hal yang tidak boleh dilupakan oleh para perumus LPTK adalah bahwa guru profesional hanya akan muncul dari LPTK profesional. Untuk itu, pertimbangan guru ideal harus diperhatikan ketimbang pertimbangan pragmatis, sebab sudah muncul kecenderungan di antara guru menempuh jenjang S1 karena alasan pragmatis, yang ditandai dengan pemilihan program studi yang sama sekali tidak berhubungan dengan profesinya. Bagi guru berkualitas, perubahan sebuah kurikulum tidak menjadi persoalan, sebab baginya kurikulum hanya sekedar alat, yang terpenting bagaimana alat itu digunakan. Bahkan, menurut John Dewey guru pada dasarnya adalah pembuat kurikulum.
Untuk mencetak guru berkualitas, penuh inovasi dan kreatifitas, LPTK perlu mempertimbangkan paradigma pedagogi kritis yang dilsebutkan oleh Jean Anyon, Paulo Freire dan Henry Giroux. Mereka berpendapat bahwa pendidikan pada dasarnya merupakan bentuk kritik sosial dan kultural. Salah satu tujuan pendidikan adalah rekonstruksi sosial. Lembaga pendidikan merupakan media yang diharapkan mampu memperbaiki dan mengkritisi berbagai persoalan yang muncul di masyarakat yang diakibatkan oleh faktor ekonomi, politik, dan budaya. Karena itu, berbagai persoalan yang berkembang dalam realitas sosial  dibawa ke ruang kelas untuk dikritisi. Hasil pembahasan ini kemudian ditawarkan dan dilaksanakan sebagai alternatif pemecahan. Proses ini tidak akan berjalan secara maksimal jika tidak ada kesadaran kritis dari pelaksana pendidikan terutama guru dan peserta didik.
Eksistensi seseorang sangat terkait dengan masyarakat yang lebih luas baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, ataupun lembaga pendidikan. Artinya, kesadaran seseorang pada dasarnya merupakan cermin kesadaran kolektif yang dibentuk antara lain melalui keluarga, masyarakat, dan sekolah. Sebab, dia belajar dari orang di sekitarnya. Dalam konteks pedagogi kritis, tidak berkualitasnya pendidikan dan SDM guru lebih disebabkan oleh faktor struktural atau kultural. Untuk itu, proses pendidikan adalah upaya untuk ‘menyadarkan’ seseorang tentang kondisi dia yang sebenarnya (fakta sosial). Fakta sosial tidak pernah dapat dipisahkan dengan ranah nilai. Ini berarti bahwa berbagai aktifitas yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari merupakan perwujudan atau cermin nilai dari sang pelaku. Karena itu, ada hubungan yang erat antara tindakan dengan nilai, antara guru dan murid. Hubungan tersebut tidak tentatif dan seringkali dimediasi oleh lingkaran produksi, konsumsi, dan relasi sosial. Untuk itu, pembacaan kritis terhadap sebuah fakta sosial harus selalu dilakukan dengan cara berkomunikasi.
Dalam komunikasi diperlukan bahasa, bahasa merupakan pusat bagi formasi subyektifitas. Dalam perspektif ini kepentingan, kebutuhan, dan kecenderungan seseorang atau lembaga dimunculkan melalui media bahasa. Di sisi lain, bahasa pada dasarnya merupakan bentuk utama pemikiran seseorang yang kemudian disepakati bersama oleh masyarakat. Kata yang dimunculkan oleh sebuah komunitas belum tentu dimaknai secara persis sama oleh komunitas lain. Karena itu, seringkali dijumpai di masyarakat ada permasalahan yang muncul diakibatkan oleh perbedaan bahasa dan kultur. Setelah itu terbentuklah perbedaan status sosial, munculnya perbedaan status di masyarakat baik secara ekonomi maupun sosial disebabkan oleh pemberian hak secara tidak adil oleh pihak lain, seperti pihak birokrat, politisi, dan pemilik modal, karena kepentingan tertentu. Masalahnya, banyak anggota masyarakat yang menganggap perbedaan itu terjadi begitu saja, alami, dan niscaya.
Munculnya, perbedaan tersebut disebabkan oleh perlakuan yang tidak adil dari penguasa. Untuk itu, murid perlu disadarkan tentang kondisi ini. Ini tidak berarti bahwa semua anggota masyarakat harus sama, namun ketika cara mendapatkan kekayaan, status sosial, atau jabatan itu dilakukan secara wajar, tentu hal ini akan diterima. Akhirnya, munculnya sebuah permasalahan di masyarakat harus dikaitkan dengan aspek lain. Memandang permasalahan dari satu segi saja sama halnya dengan menyederhanakan masalah. Proses pendidikan harus mampu melihat persoalan yang muncul di masyarakat dari banyak perspektif. Sebagai contoh, banyaknya guru yang “ngobyek” di luar profesi sebagai guru tidak dapat dilihat dari aspek profesionalisme dan etos kerja guru saja, namun perlu dikaitkan dengan masalah kebijakan pemerintah yang belum menghargai profesi guru, atau rendahnya penghargaan masyarakat terhadap profesi ini.
Sayangnya, banyak lulusan LPTK yang memang tidak berkualitas, banyak juga mahasiswa yang kuliah di kampus keguruan tidak banyak termotivasi untuk jadi guru, dan praktik pendidikan guru memang bermasalah, dangkal, seringkali teknis-teknis saja. Namun itu bukan berarti harus membuat PPG yang merugikan mahasiswa kependidikan, sebaliknya kondisi tersebut mestinya jadi cambuk bagi kampus-kampus keguruan untuk memperbaiki diri. LPTK perlu mempertimbangkan paradigma di atas dalam kompetensi pedagogis agar lembaga ini tidak sekedar memberikan muatan materi bernuansa teknis tapi miskin filosofis. Dengan demikian, momentum penyiapan tenaga kependidikan yang memenuhi syarat melalui LPTK tidak dilewatkan sehingga terbentuk guru yang kreatif, inovatif, dan kritis bukan dari pelaksanaan PPG.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar