Judul Buku : Manifesto Ekonomi
Kerakyatan
Penulis : Revrisond Baswir
Penerbit : Pustaka Pelajar
Cetakan : Pertama, Desember 2009
Bila kita
membahas tolok ukur kesejahteraan sebuah negara, sudah barang tentu kita akan
membahas ekonomi. Lalu bagaimana dengan perekonomian di Indonesia Perekonomian
Indonesia pada triwulan I-2013 tumbuh 6,02 persen atau lebih rendah
dibandingkan periode yang sama tahun 2012 sebesar 6,3 persen ( Kompas, 7 Mei
2013). Lantas, dengan pertumbuhan ekonomi yang mencapai 6 persen, apa berdampak
bagi rakyat kecil ? Jawabannya tentu tidak. Beberapa ekonom berpendapat
perekonomian Indonesia sudah sangat neoliberal hingga seberapa besar
pertumbuhan ekonomi tidak akan berdampak langsung bagi rakyat kecil. Untuk “melawan”
sistem perekonomian saat ini, Revrisond Baswir coba menjabarkan ekonomi
kerakyatan.
Ekonomi kerakyatan akhir-akhir ini
semakin sering diperbincangkan. Perbincangan tidak hanya berlangsung di media
massa atau di ruang-ruang diskusi dan seminar, tetapi berlangsung pula
diberbagai forum lainnya di tengah-tengah masyarakat. Dalam kepungan
pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal yang semakin mencekeram Indonesia,
dan di bawah tekanan pelaksanaan agenda-agenda perdagangan bebas dalam pentas
ekonomi-politik dunia, perbincangan mengenai ekonomi kerakyatan ini tentu
terasa cukup menyegarkan. Setidak-tidaknya, dengan semakin gencarnya
perbincangan mengenai ekonomi kerakyatan, kehadiran ekonomi kerakyatan sebagai
wacana tandingan ekonomi neoliberal terasa semakin kuat.
Secara historis lahirnya ekonomi
kerakyatan didasari semangat anti penghisapan, karena itulah lahirnya ekonomi
kerakyatan tidak bisa dilepaskan dari sejarah perjuangan bangsa kita untuk
menuju kemerdekaan dan membebaskan diri dari kolonialisme. Menurut Bung Karno
ekonomi Indonesia yang berwatak Kolonial setidaknya memiliki ciri-ciri sebagai
berikut; pertama, sebagai pemasok bahan mentah; kedua, pasar barang-barang jadi
yang dibuat oleh negara-negara industri maju; ketiga, tempat memutar kelebihan
kapital dari negara-negara maju (hlm.6).
Lalu,
perbincangan mengenai ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi tidak dapat
dipisahkan dari Bung Hatta. Sebagai proklamator dan sekaligus sebagai seorang
ekonom pejuang. Hatta berusaha sekuat tenaga untuk memasukkan gagasan besar
ekonomi kerakyatan itu sebagai dasar penyelenggaran perekonomian indonesia.
Hatta sekali lagi mempertegas pentingnya penyelenggaraan ekonomi kerakyatan
atau demokrasi ekonomi sebagai jalan untuk melembagakan kedaulatan ekonomi
rakyat dan untuk mengutamakan kemakmuran masyarakat diatas kemakmuran orang
seorang.
Sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha
bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan
itu ialah koperasi”. Atas dasar itulah secara substansial ekonomi kerakyatan
mengandung. Partisipasi anggota masyarakat dalam proses produksi nasional. Kemudian,
hasil-hasil dari produksi nasional dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Tearakhir,
kegiatan pembentukan produksi dan pembagian hasil-hasilnya harus berlangsung
dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Artinya masyarakat
harus menjadi objek dalam perekonomian kita. Sebagai subyek, maka masyarakat
harus turut memiliki alat-alat produksi, turut mengambil keputusan ekonomi. Dan
bentuk penyelenggaraan usaha yang paling sesuai adalah koperasi.
Namun, gagasan Hatta yang sangat cemerlang ini mendapat perlawanan. Perlawanan itu sudah
dimulai sejak Konfrensi Meja Bundar (KMB), PRRI-Pemesta dan gerakan 30
September yang mengubah sistem perekonomian Indonesia. Hingga kini, corak
ekonomi nasional berorientasi ekspor bahan mentah, impor bahan jadi dari
negeri-negeri industri maju, dan fungsi Indonesia tak lain sebagai tempat
sirkulasi kapital asing. Stratifikasi sosial begitu terasa. Rakyat Indonesia
masih jadi budak di negerinya sendiri karena akses ekonominya selalu terhadang
oleh blokade negara besar yang tergabung dalam G-8 atau biasa disebut casino capitalism (hlm.109). Contoh
nyatanya ialah penggusuran lahan rakyat berkedok sertifikasi tanah,
biodisel-global warming, atau pembangunan apartemen mewah berlangsung di
mana-mana. Upah buruh yang murah lantaran deregulasi massif yang dipersembahkan
untuk perusahaan dan investor asing. Lihat bagaimana Freeport mengekspolitasi
gunung emas di Papua.
Pun demikian dengan demokrasi politik bagi rakyat
Indonesia masih jauh dari ekspektasi. General election, yang didewakan oleh
World Bank, IMF, dan Amerika justru memiskinkan, membiaskan akses, hak, dan
partisipasi politik rakyat. Partai politik dan anggota DPR bukan representasi
rakyat. Tapi melalui mekanisme rekruitmen politik yang dimanipulasi agar
seolah-olah bernada suara rakyat, partai politik dan anggota DPR hanya
berfungsi sebagai boneka kelompok-kelompok kepentingan. Dari semua kondisi
nasional tersebut adalah Indonesia hingga detik ini masih terjajah,
tereksploitasi, dan belum merdeka. Karena pentingnya dan relevannya sistem ekonomi kerakyatan tersebut,
maka buku Manifesto Ekonomi Kerakyatan
ini menjadi sangat penting.