Jumat, 15 Februari 2013

Pilar Demokrasi yang Tidak Demokratis



Pers dulu dibungkam, pers sekarang dibeli

Kamis (14/02), Setelah Pemutaran perdana berlangsung Kamis, 24 Januari 2012, malam di Blitz Megaplex, Grand Indonesia, Jakarta. Lembaga Pers Mahasiswa Didaktika memutar film  yang diproduksi oleh rumah produksi Gambar Bergerak akhirnya memutar film dokumenter berjudul Di Balik Frekuensi. Pemutaran film yang dilaksanakan di ruang serba guna Fakultas Ilmu Sosial (FIS) UNJ, turut dhadiri Ursula Tumiwa (Produser), Ignatius Haryanto (Pengamat Media) dan Franz Magnis Suseno (Budayawan).Film ini bergenre feature documentary karya sutradara Ucu Agustin ini mengungkap kondisi media, khususnya televisi pasca-reformasi. Film ini menyoroti konglomerasi media dan penggunaan frekuensi publik di media televisi. Film berdurasi 144 menit ini diproduksi hampir setahun, yakni sejak 15 Desember 2011 sampai 25 November 2012. Lokasi pengambilan gambar dilaksanakan di Jakarta, Bandung, Indramayu, Malang, dan Porong, Sidoarjo.
Tema film ini diakui jarang disorot di dunia perfilman Indonesia. Tama film terutama membicarakan media, khususnya media televisi yang menggunakan frekuensi publik. “Ada isu penting yang ingin saya angkat setelah reformasi sekian lama. Bagaimana kondisi media kita, terutama pemilik media dan kepentingan politik dengan frekuensi yang dipakai itu,” ujar produser film, Ursula Tumiwa. Film ini menyorot konglomerasi media yang mewarnai industri media Indonesia. Ursula melakukan riset yang cukup panjang menyajikan bagaimana media Indonesia yang berada di tangan segelintir kelompok pengusaha. Grup pengusaha ini memanfaatkan medianya dan frekuensi publik untuk menggolkan kepentingan politik dan ekonominya.
Ucu bersama produser Ursula Tumiwa menceritakan apa yang terjadi pada media televisi dan konglomerasi media melalui kisah Luviana, jurnalis Metro TV, yang dipecat sepihak oleh Metro TV, dan kisah Hari Suwandi-Harto Wiyono yang berjuang menuntut keadilan dalam kasus ganti rugi lumpur Lapindo. Melalui kisah mereka yang panjang, Ucu bergantian menyajikan bagaimana para jurnalis di lapangan memberitakan kasus-kasus itu. Menyajikan bagaimana frekuensi publik yang secara serakah dipergunakan para pemilik media untuk kepentingan politik dan ekonominya. 
Film ini sudah diputar di beberapa kota besar seperti Bandung, Yogyakarta, Malang, Jakarta, Solo, Denpasar, layar tancap di Porong Sidoarjo. Pemutaran komersial di bioskop mungkin belum, tapi kami putar di beberapa kota itu di jaringan AJI, komunitas film dan kampus,” ucap Ursula.
Penyalahgunaan Frekuensi
Tanah, air dan udara, –merupakan sumber daya yang terbatas dan memiliki nilai yang sangat berharga– harus dikuasai negara dan sebesar-besarnya digunakan untuk kepentingan rakyat. Namun sayangnya di Indonesia, frekuensi publik sebagai kekayaan udara dieksploitasi sedemikian rupa oleh para pemilik media (khususnya televisi), dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan ekonomi dan politik mereka sendiri tanpa memikirkan kepentingan publik.
“Setelah reformasi (1998), dengan cepat konglomerasi media menjadi corak industri media di Indonesia dan semakin hari kita menyaksikan pola itu berkembang semakin pesat,” ungkap Ignatius Haryanto. Mencengkeram semakin dalam pada sistem operasi media di Indonesia. Ribuan media dengan aneka format baik itu cetak, online, radio, televisi, yang informasinya kita baca, kita lihat dan kita dengar setiap hari ternyata hanya dikendalikan oleh 12 group media saja.
12 group media dengan pemilik yang memiliki kepentingannya sendiri-sendiri, membanjiri publik dengan tayangan-tayangan dalam kanal-kanal media milik mereka yang me-manisfestasi-kan kepentingan yang jelas bukan merupakan kepentingan publik. 12 grup media itu mengendalikan ribuan media dengan aneka format. Untuk seluruh televisi di negeri ini hanya dimiliki oleh 5 orang saja. Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie adalah pemilik TVOne dan ANTV; Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh adalah pemilik MetroTV; Ketua Dewan Pakar Partai Nasdem Harry Tanoesodibjo (sekarang sudah keluar dari Nasdem) adalah pemilik RCTI, GlobalTV dan MNCTV; Chairul Tanjung adalah pemilik TransTV dan Trans7. Yang akibatnya, televisi menjadi kerap melakukan politisasi dalam sebuah berita antara lain dengan memilih narasumber yang cenderung berpihak kepada mereka.
Jelas, masyarakat sebagai konsumen merupakan pihak yang paling dirugikan akibat perilaku media yang menggunakan frekuensi untuk kepentingan pribadi. ”Kanal-kanal yang seharusnya digunakan untuk memberikan edukasi yang benar justru digunakan oleh pemilik media untuk melawan musuh-musuhnya, Frekuensi publik digunakan untuk kepentingan mereka, aktivitas kegiatan ketua parpol yang sekaligus pemilik media disiarkan selama berjam-jam,” Ungkap Ignatius. Lebih lanjut ia menjelaskan, tidak hanya pada kemasan berita, tapi juga kemasan lain seperti acara hiburan, talkshow, bahkan running text, “pesan politik” pemilik televisi tersebut disisipkan. 
Oligopoli biasanya dilakukan oleh perusahaan – perusahaan bermodal besar. Saat perusahaan media melakukan oligopoli mereka berdagang melalui frekwensi publik yang tujuannya adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun kenyataannnya saat ini sangat memprihatikan. Isu – isu politik yang kerap ditampilkan dalam pemberitaan memang ada, namun kemudian tidak ada tanggapan berarti karena lagi-lagi isu tersebut berhasil ditutupi dengan baik oleh media. Yang terjadi di Indonesia kurang lebih sama dengan penelitian Noam Chomsky di buku “Politik Kuasa Media” yang mempengaruhi pertelevisian di Amerika. Apa yang terjadi pada pers Indonesia saat ini sangat tidak sehat. Franz mengatakan, “pers yang  semestinya sebagai pilar demokrasi malah tidak demokratis.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar