Senin, 04 Maret 2013

Wajah Pendidikan Indonesia yang Bopeng



Judul Buku                 : Pendidikan Rusak-rusakan
Penulis                        : Darmaningtyas
Penerbit                      : LKiS Yogyakarta
Tahun Terbit              : 2005
Jumlah Halaman        : 360
Pendidikan di Indonesia telah berlangsung selama bertahun-tahun sejak negara ini merdeka. Bermula sejak berdirinya Perguruan Taman Siswa yang didirikan Ki Hajar Dewantara dengan slogannya Tut Wuri Handayani. Sekolah-sekolah negeri maupun swasta menjadi sarana dalam mewujudkan tujuan program pendidikan nasional. Tetapi sayang, keberhasilan dalam pertumbuhan dunia pendidikan di negara kita tidak diimbangi dengan keberhasilan dalam pendidikan moral dan nilai-nilai pribadi yang luhur. Berita-berita di media massa semakin hari semakin mengaburkan makna pendidikan selama ini. Para pejabat korupsi, pelajar  tawuran. Itu hanya sebagian kecilnya saja, belum tayangan sinetron dan infotaiment yang kurang mendidik.  Pendidikan, baik formal maupun informal, memiliki tujuan yang sama, mencerdaskan kehidupan bangsa. Jadi apa yang salah selama ini? Sistem kah atau kurikulum yang kerap bongkar-pasang kah? Guru atau tenaga pendidik yang kurang kompeten kah? Di mana ruh pendidikan selama ini?
Pendidikan telah kehilangan ruh, pendidikan telah kehilangan peran vital dalam melakukan transformasi sosial. Inilah yang coba dipaparkan secara singkat dalam halaman pembuka buku. Pendidikan telah mendapatkan stigma karena malpraktik yang dilakukan oleh penguasa dan pelaksana pendidikan di lapangan. Betapa tidak, banyak kasus negative yang dilakukan institusi pendidikan. Mulai dari pemotongan uang operasional dari depdikbud hingga sampai ke tangan sekolah. Dan, hal yang paling terkini adalah melambungnya rancangan kurikulum 2013, semula kemendikbud dan pemerintah setuju dengan dana 684,4 miliar. Tapi dengan sangat tiba-tiba, Mendikbud bilang kebutuhan dana untuk pembentukan kurikilum baru sebesar Rp 2,49 triliun. Hal ini mengindikasikan lagi-lagi akan terjadi penyelewengan dana dari korps pendidikan.  Dengan adanya contoh seperti ini terlihat Institusi pendidikan yang seharusnya memanusiakan manusia justru malah memberi contoh yang tidak manusiawi.
Bagian demi bagian dalam buku ini merupakan realitas yang selama ini terjadi dalam praktek pendidikan di Indonesia. Mulai dari proses yang terjadi pada peserta didik di sekolah, praktek mengajar guru, sampai pada arah pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Gugatan demi gugatan merupakan sajian utama buku ini. Beberapa kritik tajam juga menyeruak seolah mencerminkan sebuah euforia pasca reformasi. Dewasa ini banyak yang menuntut pemerintah benar-benar merealisasikan anggaran pendidikan 20% dari APBN. Lantas, jika pemenuhan itu direalisasikan mau apa? Mengingat kondisi geogarfis Indonesia yang berbeda-beda kebutuhannya kupikir ini sangat tidak cocok. Semisal, pengadaan alat proyektor di sekolah-sekolah tapi ada beberapa daerah yang masih belum dialiri listrik. Ini benar-benar terjadi di Indonesia terutama bagian timur Indonesia. Hal ini benar-benar mubazir alangkah lebih tepat bila pemerintah melakukan dialog partisipatoris unuk memenuhi apa yang benar-benar dibutuhkan suatu daerah untuk memajukan pendidikan di daerahnya. 
Sebagai seorang praktisi pendidikan dari Taman Siswa, Darmaningtyas banyak menyoroti malpraktik yang dilakukan oleh penguasa negeri ini. Praktek-praktek pada arah kebijakan pendidikan yang selama ini terjadi di indonesia marak terjadi pasca bergulirnya era otonomi daerah. Dengan adanya desentralisasi dalam bidang-bidang yang telah ditentukan pemerintah, budaya koruppun tak ayal ikut terdesentralisasi pula ke daerah-daerah yang dulunnya enggan dan takut melakukan tindakan-tindakan penyelewengan. Dalam kolusi sekarang ini, tawar menawar jabatan guru dilakukan secara terang-terangan antara calon guru dengan aparat pemerintah daerah. Entah ada koordinasi antar daerah atau tidak, yang pasti, ada semacam keseragaman tarif untuk dapat diterima menjadi seorang guru negeri. Untuk menjadi guru SD misalnya, tarifnya antara Rp. 10.000.000-Rp. 20.000.000. sedangkan untuk guru SLTP, karena dasar pendidikannya sama-sama S1, tarifnya antara Rp. 20.000.000.-Rp.40.000.000.(hal. 84).
Pendidikan, kata Darmaningtyas, bukanlah sekedar anggaran. Alih-alih menganggarkan dana untuk pendidikan dengan alokasi yang sesuai dengan kebutuhan. Pemerintah lebih disibukkan dengan permasalahan persiapan “baku hantam” dengan rival politiknya. Padahal dalam pasal 31 UUD 1945 pemerintah menjamin seluruh kegiatan pendidikan untuk rakyat Indonesia. Dengan melihat realitas yang terjadi di Indonesia, kita bisa mengatakan bahwa pemerintah mengkhianati konstitusi dengan tidak menjalankan amanat UUD 1945. Sesuai dengan judulnya, konten buku ini memang lebih banyak mengungkapkan penyelewengan-penyelewengan yang terjadi dalam pendidikan Indonesia. Banyak fakta-fakta yang diungkapkan secara jelas dan lugas. Buku ini bukanlah pemikiran utuh dari si penulis berkenaan dengan pendidikan, namun kumpulan artikel yang pernah ditulis di pelbagai media massa. Tulisan ini cukup bagus untuk dijadikan refleksi bagi semua orang yang berkecimpung dan menggeluti pendidikan terutama kampus eksIKIP seperti UNJ ini. Buku ini juga memaparkan sangat dominannya akan kegiatan agama mayoritas Indonesia di sekolah, hingga memunculkan tindakan diskriminatif yang ada di sekolah. Yang sudah pasti akan  membahayakan keragaman agama yang ada di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar