Konsep Bapak Pendidikan Nasional Indonesia adalah
memerdekakan manusia. Dimunculkan untuk mencapai pendidikan ideal sesuai
karakter bangsa.
Pendidikan
di Indonesia telah berlangsung selama bertahun-tahun sejak negara ini merdeka.
Bermula sejak berdirinya Perguruan Taman Siswa yang didirikan Ki Hajar
Dewantara dengan slogannya Tut Wuri Handayani. Sekolah-sekolah negeri maupun
swasta menjadi sarana dalam mewujudkan tujuan program pendidikan nasional.
Tetapi
sayang, keberhasilan dalam pertumbuhan dunia pendidikan di negara kita tidak
diimbangi dengan keberhasilan dalam pendidikan moral dan nilai-nilai pribadi
yang luhur. Berita-berita di media massa semakin hari semakin mengaburkan makna
pendidikan selama ini. Para pejabat korupsi, pelajar tawuran. Itu hanya sebagian kecilnya saja,
belum tayangan sinetron dan infotaiment yang kurang mendidik. Pendidikan, baik formal maupun informal, memiliki
tujuan yang sama, mencerdaskan kehidupan bangsa. Jadi apa yang salah selama
ini? Sistem kah atau kurikulum yang kerap bongkar-pasang kah? Guru atau tenaga
pendidik yang kurang kompeten kah? Di mana ruh pendidikan selama ini?
Pertanyaan-pertanyaan
ini mengusik dan menggugah inspirasi dari koalisi pendidikan anti komersialisasi,
untuk menyelenggarakan sebuah diskusi pendidikan pada hari Jumat (01/02).
Diskusi pendidikan ini mengangkat tema “Menghadirkan kembali konsep
Pendidikan”. Hadir sebagai narasumber Jimmy Ph Paat , Lody F Paat serta Bambang
Wisudo dari koalisi pendidikan anti komersialisasi dan Darmaningtyas, praktisi
pendidikan dari perguruan Taman Siswa. “Konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara
dinilai mengalami kebekuan saat ini. Justru yang terjadi di Indonesia adalah
pengagungan pada konsep pendidikan negara barat yang cenderung eksploitatif dan
berorientasi pasar,” Ucap Bambang Wisudo. Hal ini berbanding terbalik dengan
konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional Indonesia. Ia
menerapkan memanusiakan manusia dengan tiga filosofi yang dikembangkan yakni
nasionalistik, naturalistik, dan spiritualistik. Demikian disampaikan Ketua Koalisi
Pendidikan Anti Komersialisis, Lody F Paat.
“Dunia
pendidikan di Indonesia pada akhir-akhir ini mulai mengalami kegamangan.
Pasalnya, pendidikan nasional masih mencari-cari model pendidikan kebangsaan
yang membangun karakter bangsa. Padahal karakter ini sudah kita miliki,” ujar Lody.
Kegamangan inilah, lanjutnya, yang menyebabkan cita-cita Indonesia untuk
membangun manusia yang merdeka jiwa dan pikirannya mulai kabur. Pendidikan pun
hanya dimaknai sebagai teknik managerial sekolah dan menitikberatkan
nilai-nilai kuantitatif akademik-kognitif semata. “Banyak lulusan yang tidak
sesuai dengan karakter bangsa. Di antaranya minim rasa kepekaan sosial, rasa
kebangsaan, tepa
slira,” tambah Lody.
Pengamat
Pendidikan dari Taman Siswa, Darmaningtyas pun tak menampik bila pendidikan di
Indonesia lebih berorientasi pada barat. Ia mengatakan bahwa konsep pendidikan
Ki Hadjar Dewantara perlu dimunculkan untuk mencapai pendidikan ideal sesuai
karakter bangsa. “Salah satu konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara
diaplikasikan lewat rumusan Pancasila. Mengamalkan Pancasila dengan baik dan
benar bisa menghasilan manusia berbudaya yang cocok dengan bangsa Indonesia,”
katanya. Bambang Wisudo yang juga menjadi moderator mengatakan, rekomendasi
yang diharapkan dalam konggres tersebut adalah filofosi pendidikan, ideologi,
kebijakan pendidikan, serta aplikasi pendidikan.
Hilangnya Identitas Keindonesiaan
Darmaningtyas
selaku salah satu orang yang terlibat dalam perumusan kurikulum 2013
mengatakan, pendidikan nasional saat ini mulai terkikis secara sistematis dari
sifat dan ciri keindonesiaan. “Saya menilai pendidikan yang mengindonesia akan
menjadi jawaban dialektis terhadap fenomena orientasi global yang sekarang
lebih dominan,” katanya. Pria yang berprofesi sebagai pengamat transportasi ini
juga menjelaskan, pendidikan yang mengindonesia akan semakin kuat jika terjadi
penyadaran oleh semua pihak meski fenomena pendidikan saat ini mulai terkikis
dari ciri keindonesiaan. Perlu analisis strategi dan politik pendidikan untuk
dijadikan pemikiran bersama dan mendasar dalam upaya membangun pendidikan
nasional,.
Dalam
makalah berjudul Strategi dan Politik Pendidikan yang Mengindonesia yang dia
tulis untuk harian kompas beberapa waktu lalu, dia menegaskan strategi
pendidikan nasional saat ini dihadapkan pada keragaman kualitas pendidikan
antardaerah, antarpenyelenggara pendidikan, dan antarjenjang pendidikan.
Wajib
belajar sembilan tahun masih belum tuntas karena terdapat perbedaan pemahaman
serta perbedaan perspektif antarpenyelenggara pendidikan, katanya. Kerja Sama
Pendidikan Darmaningtyas menambahkan, politik pendidikan yang diharapkan adalah
mengimplementasikan ajaran tokoh pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara dengan
menggunakan peluang kerja sama nasional dan internasional.
Kalau
konsep pendidikan nasional dibuat dengan benar maka kerja sama pendidikan juga
akan benar, katanya. Menurut dia, politik pendidikan yang akan digunakan untuk
membangun dunia pendidikan nasional harus memanfaatkan segala peluang positif
untuk mengurangi berbagai kelemahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar