Pers dulu dibungkam, pers sekarang dibeli
Kamis (14/02), Setelah Pemutaran
perdana berlangsung Kamis, 24 Januari 2012, malam di Blitz Megaplex, Grand
Indonesia, Jakarta. Lembaga Pers Mahasiswa Didaktika memutar film yang diproduksi oleh rumah produksi Gambar
Bergerak akhirnya memutar film dokumenter berjudul Di Balik Frekuensi. Pemutaran
film yang dilaksanakan di ruang serba guna Fakultas Ilmu Sosial (FIS) UNJ,
turut dhadiri Ursula Tumiwa (Produser), Ignatius Haryanto (Pengamat Media) dan
Franz Magnis Suseno (Budayawan).Film ini bergenre feature documentary karya sutradara Ucu Agustin ini mengungkap
kondisi media, khususnya televisi pasca-reformasi. Film ini menyoroti
konglomerasi media dan penggunaan frekuensi publik di media televisi. Film
berdurasi 144 menit ini diproduksi hampir setahun, yakni sejak 15 Desember 2011
sampai 25 November 2012. Lokasi pengambilan gambar dilaksanakan di Jakarta,
Bandung, Indramayu, Malang, dan Porong, Sidoarjo.
Tema film ini diakui jarang disorot di dunia
perfilman Indonesia. Tama
film terutama membicarakan media, khususnya media televisi yang menggunakan
frekuensi publik. “Ada isu penting yang ingin saya angkat setelah reformasi
sekian lama. Bagaimana kondisi media kita, terutama pemilik media dan
kepentingan politik dengan frekuensi yang dipakai itu,” ujar produser film,
Ursula Tumiwa. Film ini menyorot konglomerasi media yang mewarnai industri
media Indonesia. Ursula melakukan riset yang cukup panjang menyajikan bagaimana
media Indonesia yang berada di tangan segelintir kelompok pengusaha. Grup
pengusaha ini memanfaatkan medianya dan frekuensi publik untuk menggolkan
kepentingan politik dan ekonominya.
Ucu bersama produser Ursula Tumiwa
menceritakan apa yang terjadi pada media televisi dan konglomerasi media
melalui kisah Luviana, jurnalis Metro TV, yang dipecat sepihak oleh Metro TV,
dan kisah Hari Suwandi-Harto Wiyono yang berjuang menuntut keadilan dalam kasus
ganti rugi lumpur Lapindo. Melalui kisah mereka yang panjang, Ucu bergantian
menyajikan bagaimana para jurnalis di lapangan memberitakan kasus-kasus itu.
Menyajikan bagaimana frekuensi publik yang secara serakah dipergunakan para
pemilik media untuk kepentingan politik dan ekonominya.
Film
ini sudah diputar di beberapa kota besar seperti Bandung, Yogyakarta, Malang,
Jakarta, Solo, Denpasar, layar tancap di Porong Sidoarjo. Pemutaran komersial
di bioskop mungkin belum, tapi kami putar di beberapa kota itu di jaringan AJI,
komunitas film dan kampus,” ucap Ursula.
Penyalahgunaan Frekuensi
Tanah, air dan udara, –merupakan sumber daya yang terbatas dan memiliki nilai yang sangat
berharga– harus dikuasai negara dan sebesar-besarnya digunakan untuk
kepentingan rakyat. Namun sayangnya di Indonesia, frekuensi publik sebagai
kekayaan udara dieksploitasi sedemikian rupa oleh para pemilik media (khususnya
televisi), dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan ekonomi dan politik
mereka sendiri tanpa memikirkan kepentingan publik.
“Setelah reformasi (1998), dengan cepat konglomerasi
media menjadi corak industri media di Indonesia dan semakin hari kita
menyaksikan pola itu berkembang semakin pesat,” ungkap Ignatius Haryanto.
Mencengkeram semakin dalam pada sistem operasi media di Indonesia. Ribuan media
dengan aneka format baik itu cetak, online, radio, televisi, yang informasinya
kita baca, kita lihat dan kita dengar setiap hari ternyata hanya dikendalikan oleh 12 group media saja.
12 group media dengan pemilik yang memiliki
kepentingannya sendiri-sendiri, membanjiri publik dengan tayangan-tayangan
dalam kanal-kanal media milik mereka yang me-manisfestasi-kan kepentingan yang
jelas bukan merupakan kepentingan publik. 12 grup media itu mengendalikan
ribuan media dengan aneka format. Untuk seluruh televisi di negeri ini hanya
dimiliki oleh 5 orang saja. Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie adalah
pemilik TVOne dan ANTV; Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh adalah pemilik
MetroTV; Ketua Dewan Pakar Partai Nasdem Harry Tanoesodibjo (sekarang sudah
keluar dari Nasdem) adalah pemilik RCTI, GlobalTV dan MNCTV; Chairul Tanjung
adalah pemilik TransTV dan Trans7. Yang akibatnya, televisi menjadi kerap
melakukan politisasi dalam sebuah berita antara lain dengan memilih narasumber
yang cenderung berpihak kepada mereka.
Jelas, masyarakat sebagai konsumen merupakan pihak yang
paling dirugikan akibat perilaku media yang menggunakan frekuensi untuk
kepentingan pribadi. ”Kanal-kanal yang seharusnya digunakan untuk memberikan
edukasi yang benar justru digunakan oleh pemilik media untuk melawan
musuh-musuhnya, Frekuensi publik digunakan untuk kepentingan mereka, aktivitas
kegiatan ketua parpol yang sekaligus pemilik media disiarkan selama
berjam-jam,” Ungkap Ignatius. Lebih lanjut ia menjelaskan, tidak hanya pada
kemasan berita, tapi juga kemasan lain seperti acara hiburan, talkshow, bahkan running text, “pesan politik” pemilik
televisi tersebut disisipkan.
Oligopoli
biasanya dilakukan oleh perusahaan – perusahaan bermodal besar. Saat perusahaan
media melakukan oligopoli mereka berdagang melalui frekwensi publik yang
tujuannya adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun kenyataannnya saat
ini sangat memprihatikan. Isu – isu politik yang kerap ditampilkan dalam
pemberitaan memang ada, namun kemudian tidak ada tanggapan berarti karena
lagi-lagi isu tersebut berhasil ditutupi dengan baik oleh media. Yang terjadi
di Indonesia kurang lebih sama dengan penelitian Noam Chomsky di buku “Politik
Kuasa Media” yang mempengaruhi pertelevisian di Amerika. Apa yang terjadi pada
pers Indonesia saat ini sangat tidak sehat. Franz mengatakan, “pers yang semestinya sebagai pilar demokrasi malah
tidak demokratis.”