Kamis, 08 November 2012

Pahlawan, Padamu Kami Mengadu




Pahlawan pasti menangis ketika melihat Indonesia saat ini bergantung pada pihak asing


Setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1942 yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang saka merah putih  dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut makin meluas ke segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Hotel Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranye pada zaman kolonial, sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.
Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. Ploegman pada sore hari tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.
Tak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Soedirman, pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawannya dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato. Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda dan menolak untuk mengakui kedaulatan Indonesia. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara Soedirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian pemuda berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Soedirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan bersama Koesno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.
Dilatar belakangi salah satu peristiwa yang terkenal adalah terbunuhnya Mallaby. Terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30. Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah. Kesalahpahaman menyebabkan terjadinya tembak-menembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tidak diketahui identitasnya, dan terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan granat yang menyebabkan jenazah Mallaby sulit dikenali.
Membangun dengan Modal Asing
Salah satu tujuan kemerdekaan itu adalah berhak menentukan arah kehidupan suatu bangsa. Tak terkecuali masalah pembangunan. Arah pembangunan Indonesia ketika baru merdeka dibawah rezim Soekarno yaitu berdiri di atas kaki sendiri. Artinya, segala sesuatu dalam kehidupan sehari-hari menggunakan produk dalam negeri. Tak hanya sampai disitu, Soekarno pun berani menasionalisasi perusahaan asing yang masih berdiri dibumi Indonesia tujuannya sudah pasti agar semua yang terkandung di dalam bumi Indonesia dapat dinikmati oleh rakyat Indonesia sendiri. 20 tahun memimpin Indonesia, Soekarno harus merelakan tampuk kekuasaan kepada Soeharto secara inkonstitusional.
Gaya kepemimpinan Soeharto sangat jauh berbeda dengan Soekano. Hal yang paling mencolok adalah Soeharto sangat kooperatif dengan barat sedangkan Soekarno yang anti barat. Menurut Soeharto Indonesia sangat memerlukan pembangunan dan untuk membangun diperlukan modal sangat besar akan tetapi menurut Soeharto, Indonesia tidak punya banyak uang untuk membangun. Akhirnya Soeharto memutuskan untuk membuka jalur investasi dari asing khususnya dari barat untuk menanamkan modalnya di Indonesia melalui regulasi UU PMA tahun 1967. Inilah awal bangkitnya kapitalisme di Indonesia. Dan, Freeport menjadi perusahaan asing pertama yang menancapkan cengkramannya di Indonesia dengan sekali kontrak mencapai 20 tahun. Di dalam salah satu perjanjiannya adalah Freeport berhak mengambil tembaga.
Setelah itu berbondong-bondonglah investor lain yang siap menanamkan modalnya di Indonesia. Melihat kesempatan ini, pemerintah kembali mengeluarkan RUU PMA tahun 1973 (yang kemudian disahkan tahun 1974) yang lebih memberi keleluasaan bagi investor asing. Mayoritas investor asing menanmkan modalnya di Sumber Daya Alam yang sangat vital, menyangkut hajat hidup orang banyak seperti BBM. Ini sangat jelas bertentangan dengan konstitusi. Untuk itu mahasiswa sangat menentang pemerintah dengan melakukan demonstrasi besar-besaran tahun 1974 yang lebih dikenal dengan peristiwa Malari.
Rezim Soeharto memang sudah berakhir, tetapi kapitalisnya justru masih sangat kuat. Ketika Soeharto lengser pun Indonesia kembali tunduk dengan kekuatan modal asing yang salah satunya adalah IMF yang memaksakan Indonesia untuk menyepakati Letter of Intents. Maksud hati, Soeharto mau memeluk gunung untuk menghemat devisa, tapi yang terjadi, justru celaka. Ekonomi Indonesia kacau. Indonesia urung tinggal landas dan kembali digiring ke titik nol dalam pelukan IMF . Soeharto yang sejak 1967 menopang pembangunan dari dana pinjaman IMF, seperti tak bisa mengelak. Dengan iming-iming umpan US$ 43 miliar, IMF lantas memaksa Soeharto menandatangani kesepakatan -terdiri 50 paragraf yang kemudian dikenal sebagai 50 point Letter of Intent (LoI)- dan ironisnya, kini jadi bumerang bagi siapa pun yang memimpin negeri ini. Kemudian langkah ini pun masih dijalankan pada masa pemerintahan SBY saat ini.
Padahal, kalau negeri ini masih dikelola dengan paradigma lama dengan "menyerahkan masa depan" bangsa ini kepada trinitas IMF (International Monetery Fund), World Trade Organization (WTO), dan Wordl Bank (Bank Dunia), bukan saja merupakan langkah tak bijak tapi juga membahayakan.
Melihat Indonesia saat ini sangat jelas sangat berbeda dengan apa yang diharapkan oleh pahlawan yang telah mengorbankan segalanya untuk Indonesia. Penodaan terhadap konstitusi bahkan pemimpin negara sampai berselingkuh dengan kekuatan modal asing . Masih banyak rakyat miskin yang tak mampu merasakan kekayaan Indonesia. Jika sudah begini, mewujudkan Indonesia yang adil dan makmur pun seolah hanya angan-angan terlebih mewujudkan Indonesia yang diharapkan Soekarno  yaitu tri sakti Indonesia. Walaupun kita tak mampu menyumbangkan apapun seperti para pahlawan dulu, setidaknya janganlah kita menjadi pencuri dan penghancur negeri ini, yang dibangun dengan tetesan darah yang tidak sedikit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar