Menjadi mahasiswa
biasanya tidak lepas dari predikat-predikat turunan yang terlanjur melekat.
Idealis,kritis,penerus bangsa calon pemimpin, changemaker dst, yang membuat sosok “mahasiswa” memiliki
karakteristiknya sendiri.
Mungkin, menjadi mahasiswa adalah
tahapan paling seksi yang dilewati seseorang dalam hidupnya. Seperti petualang
yang mencari pulau-pulau tak berpenghuni, mahasiswa senantiasa mencari sebuah
petualangan. Tak pernah lelah menghisap tembakau, menghirup polusi, meminum
kafein dan membuang uang. Mungkin karena ini juga mereka lebih tinggal di kostan atawa pulang larut malam. Tapi
mencoba serius sedikit, menjadi mahasiswa adalah pengalaman sekali seumur hidup
yang sangat berharga. Tidak hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk
masyarakat.
Katanya, pada diri mahasiswa
dititipkan sebuah kesadaran. Kegelisahan yang menunggu untuk diasah menjadi
kearifan. Di dalam tubuh anak muda yang berapi-api itu terdapat jiwa yang
menggeliat. Itu juga mengapa pemuda selalu diperebutkan penguasa dan pasar.
Mahasiswa, juga anak muda dalam arti umum adalah kendaraan menuju masa depan,
entah dalam arti politis maupun ekonomis.
Dalam konteks Indonesia pasca
reformasi, mahasiswa menjadi individu yang terbelah. Mereka bingung dalam
mendefinisikan dirinya. Mahasiswa kini selalu ditakut-takuti oleh pelbagai
“pahlawan”. Mulai dari pahlawan STOVIA, pahlawan angkatan 1966, pahlawan Malari
1974, pahlawan NKK/BKK dan yang paling segar tentu saja pahlawan 1998. Maka
mahasiswa selalu digugat untuk berjuang, turun ke jalan dan mendampingi
masyarakat. Tetapi ketika mereka beraksi, mereka digugat lagi: sebagai tukang
onar dan biang kemacetan. Lantas, ketika mahasiswa gemar mengunjungi K-POP
sampai BUBBLEGUM POP, mereka lagi-lagi dihujat sebagai orang yang hanya “DOYAN
REKREASI TANPA PERNAH BERKREASI”.
Di antara peristiwa-peristiwa
tersebut mahasiswa selalu terombang-ambing statusnya antara tetap menjadi si proletar atawa mengakui dirinya
sebagai kaum borjuasi. Hal ini terkait dengan
posisi mahasiswa yang sebetulnya berada pada transisi untuk menemukan habitat
yang nyaman. Coba lihat nama-nama seperti Herman Hendrawan dan Petrus Bima
Anugrah yang saat ini seperti hilang ditelan bumi bersamaan dengan hilangnya
raga mereka.
Coba Melupakan Romantisme Gerakan
Selama 14 tahun terakhir, perubahan penting apa bisa
diharapkan dari mahasiswa melalui aksi unjuk rasa dan demonstrasi jalanan,
ketika semua lapisan masyarakat kini melakukan hal yang sama ?
Pertanyaan ini hadir dalam sekeliling
saya ketika menyaksikan aksi demonstrasi jalanan terjadi hampir ada setiap hari
diseluruh Indonesia dan dilakukan oleh semua lapisan masyarakat, semenjak rezim
Soeharto berakhir 1998 dan era keterbukaan melanda sampai sekarang. Di layar
tv, media cetak maupun on-line,
sangat sering diberitakan mengenai aksi demonstrasi jalanan dengan pelbagai
macam tuntutan, mulai dari kisruh pilkada samapi pemutaran film yang menghina
agama tertentu.
Di zaman Soeharto, aksi demonstrasi
terbuka melalui demonstrasi jalanan yang sebagian besar diprakarsai oleh
mahasiswa, begitu sangat berwibawa , mengundang simpati dan juga rasa haru bagi
mereka yang merasa nasibya diperjuangkan melalui aksi-aksi tersebut.
Permasalahan yang diangkat begitu dekat dan dirasakan oleh masyarakat, mulai
dari BBM, sembako hingga menuntut turunnya rezim otoriter. Upaya perubahan ke
kondisi yang lebih baik benar-benar dititipkan oleh masyarakat kepada aksi-aksi
tersebut, karena pada saat itu kepercayaan terhadap tangan penguasa untuk
mengubah keadan menjadi lebih laik telah pudar atawa memang mungkin tidak
pernah ada sama sekali. Tak lupa mereka menggunakan almamater sebagai
identitasnya dalam aksi, sangat berbeda makna penggunaan almamater mahasiswa
saat ini yang hanya digunakan pada saat menonton acara di stasiun televisi.
Lalu bagaimana dengan pertanyaan awal
yang diajukan di atas ? Menjawabnya memang tidak mudah, tidak semudah
menanggapi sebuah pernyataan atawa pertanyaan berkobar 140 karakter penuh
semangat di twitter mengenai kondisi
ekonomi,politik, social budaya. Setelah
1998, diperlukan perubahan cara pandang yang berarti untuk memahami dan
mengartikan ulang kembali aktivitas “melawan” dan “perlawanan”. Masalahnya,
kita masih terjebak dalam paradigma lama meski musuh tak lagi satu dan
semesta. Setiap generasi memerlukan logika perlawanan yang berbeda dalam
sebelumnya, sesuai kebutuhan dan kesadarannya sendiri. Namun, sebagian besar
dari kita tidak memahami perubahan ini. Apalagi mengakuinya.[1]
Tolok ukur kepahlawanan mahasiswa
pun berubah. Kita harus mengatakan selamat tinggal pada “heroisme” mahasiswa
yang bangga karena masuk hotel prodeo, menjahit mulut atawa dalam contoh yang
paling ekstrim yaitu membakar diri. Hal-hal yang seperti itu tidak lagi
menggugah masyarakat. Alih-alih, aksi seperti itu menjatuhkan martabat
mahasiswa bahwa mereka cenderung mengedepankan otot ketimbang otak, kekerasan
ketimbang dialog dan jalan pendek ketimbang visi panjang. Ada hal yang
bertentangan, antara hasrat menjadi heroic untuk memperjuangkan sesuatu dan
kondisi masyarakat yang telah sangat pecah dan apatis. Maka kematian saat
demonstrasi kini sangat mungkin dibilang konyol. Spanduk, coretan dan pekikan
perjunagan sangat mungkin tampak basi.
Secara relative, gerakan mahasiswa
memang tampak melembek. Harus diakui bahwa mereka jadi begitu manja dan
“wangi”. Hal ini terlihat ketika ada gerakan okupasi di pelbagai pelosok dunia,
mahasiswa tampat tenang dan terisolir dari wacana gerakannya. Dan yang terjadi,
kini mahasiswa Indonesia digiring pada banalnya budaya konsumsi yang
reaksioner dalam mewarnai rupa dan logika gerakan social pasca-reformasi. Kita
memang tidak seharusnya menghindari perdebatan ini. Pelajaran justru harus
diambil darinya, apa metode perlawanan yang paling efektif saat ini ? menurut
ukuran siapa?[2]
Kita tentu tak mudah melupakan
Sondang Hutagalung yang mengakhiri hidupnya karena menginginkan hidup yang
lebih laik bagi jutaan orang yang tak dikenalnya. Mungkin, ia terpengaruh oleh bouazizi
dari Tunisia yang rela membakar diri karena frustasi dengan negara yang tidak
lagi mempedulikan rakyatnya, yang setelah kematiannya menggerakan rakyat
Tunisia untuk turun ke jalan memperjuangkan hidupnya. Sondang rela menjadi
martir yang tidak diakui oleh banyak orang. Karena perlawanan selalu merupakan
sebuah usaha kolektif, Sondang seharusnya jadi momentum untuk mengartikan
kembali motif perlawanan tersebut. Sayangnya,
teman-teman seusianya justru lebih asik dengan dirinya sendiri, mengejar target
kelulusan, mencari pekerjaan yang mapan, bersosial media ria ,takjub akan
budaya luar termasuk menonton K-POP dan marah apabila budaya sendiri diklaim
negara tetangga. Namun apa yang salah dari itu semua? Mungkin tidak ada.
Sebab, mahasiswa kini adalah entitas yang tidak tunggal. Atawa jangan-jangan
memang tidak pernah tunggal. Dengan demikian akhirnya, keberadaan Sodang
menjadi penting sebagai manusia, tapi tidak melulu karena statusnya sebagai
mahasiswa.
Mahasiswa adalah individu yang akan
selesai, cepat atawa lambat. Mereka harus meninggalkan statusnya ketika toga
dan wisuda telah dikenakan pada tubuhnya. Setelah itu mereka berhadapan dengan
kemungkinan baru, tegangan, perubahan dan negosiasi. Disitulah identitas mereka
terbentuk. Dalam ragam ruang dan rupa. Namun
satu hal yang perlu diingat bahwa sebelum berkarya untuk orang lain, mahasiswa
bukanlah siapa-siapa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar