Rabu, 11 Juli 2012

Resensi Buku : Ibunda. Perjuangan berat wanita

Judul: Ibunda
Pengarang: Maxim Gorky
Penerjemah: Pramoedya Ananta Toer , 1956
Penerbit: Kayalamitra Jakarta, 2000


“Peran Wanita sering dikesampingkan dalam kemerdekaan. Padahal wanita yang sangat berperan dalam menjalankan siasat perang yang sangat beresiko dibanding mengangkat senjata”. (Soekarno : Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat)





Novel yang berjudul Ibunda (Matt dalam bahasa Rusia) ditrjemahkan oleh Pramoedya Ananta Toer dan karya yang besar Maxim Gorki. Novel ini bercerita mengenai pengalaman Pelagia, janda seorang montir pabrik. Tokoh utama dalam novel ini tidak ditampilkan dalam sosok yang memiliki keindahan fisik. Badannya bongkok dan miring, wajahnya kerut marut, alisnya terbelah oleh bekas luka. Penampilannya lebih tua dari usianya yang empat puluh, bukan disebabkan akibat kerja yang sangat berat akan tetapi lebhi dikarnakan sepanjang pernikahannya ia hidup diantara pukulan dan caci maki suaminya. Pelagia mewakili sosok perempuan yang bukan saja tercabik-cabik oleh kemiskinan akan tetapi juga terkurung oleh tatanan yang tidak menghargai perempuan. Praktek kekerasan dalam rumah tangga digambarkan sebagai sesuatu kebiasaan yang sudah diterima sebagai kenyataan hidup.

Melalui sosok yang paling menderita, Maxim gorki memasuki dunia kaum buruh di kota industri di Uni Soviet dengan latar belakang awal abad ke-20, dimana ketika bibit-bibit revolusi mulai muncul. Di dalam novel ini digambarkan situasi kumuh yang mewarnai kehidupan kaum buruh. Seluruh hidup kaum buruh dikendalikan oleh peluit pabrik dan digilas oleh kemiskinan, sehingga banak para buruh yang lari pada minuman-minuman keras dan menyalurkan rasa getir dan marah kepada orang yang berada pada posisi lemah. Lingkaran hidup yang berawal dengan kelelahan, kejenuhan, kemiskinan dan berakhir pada jerat alkohol dan kekerasan terus berputar karna semua itu sudah diterima sebagai suatu hal yang lazim.

Dalam alur novel ini, lingkaran kepasrahan ini pada akhirnya dipatahkan oleh seorang pemuda buruh bernama Pavel Valssov seorang anak dari Pelagia Valssov. Pavel membenci sikap ayahnya yang telah dikuasai oleh alcohol, walaupun ia pada saat remaja ia sempat hanyut pada arus lingkungannya. Ia disadarkan oleh buku-buku yang ia baca, buku-buku sosialis ia berubah menjadi seorang pemuda yang secara serius mencari apa yang dianggapnya sebagai kebenaran, dan memikirkan usaha untuk merubah lingkungannya.

Walaupun Pelagia bergembira bahwa anak semata wayangnya itu tidak terjerumus oleh alkohol, akan tetapi ia juga merasa sangat khawatir dan bertanya-tanya akan perubahan yang telah terjadi pada diri anaknya. Apalagi pada saat anaknya menerima tamu yang membicarakan hal-hal yang berada diluar jangkauan pikirannya. Ketika kata-kata “Sosialis” dan “Komunis” didengarnya dari percakapan itu, tubuh sang ibupun gemetar karna hal ini disebabkan dari kehidupan sang ibu yang dibesarkan dalam tatanan yang mensosialisasikan dua kata itu sebagai momok yang menakutkan. Kaum sosialis adalah penjahat dan penghianat yang melawan dan ingin membunuh Tsar Nicholas II.

Alur cerita kemudian menggambarkan tahap demi tahap proses perubahan bukan pada diri Pavel, melainkan pada diri Ibunda. Cerita ini pada intinya disampaikan dengan teknik narrator orang ketiga melalui sudut pandang (terbatas pada) tokoh sang ibu. Narator masuk kedalam visi sang ibu yang tekun dan saleh pada agamanya. Melalui mata dan telinga sang ibulah proses menuju revolusi sosial disampaikan.perubahan pada diri ibu dari rasa kahwatir dan takut berubah menjadi pendukung setia gerakan anaknya, bahkan sampai menjadi aktifitas yang tak kalah bersemangat. Hal ini digambarkan secara realitas tahap demi tahap.

Perubahan itu bukan datang dari kesadaran pikiran, melainkan diawali kepekaan seorang ibu terhadap perasaan-perasaan positif yang dirasakan muncul pada pertemuan-pertemuan aneh yang dilakukan oleh kawan-kawan anaknya. Ia melihat bagaimana perdebatan-perdebatan yang sengit dalam rapat-rapat ang tidak pernah diakhiri oleh kekerasan, hal itu merupakan suatu hal yang asing dalam kehidupanna. Kemudian ia mulai menangkap dan merasakan semangat yang begitu berkobar pada diri anaknya. Kesetiakawanan para aktivis itu kemudian dirasakan sangat kontras dengan kehidupan para buruh yang tidak jauh dari kekerasan, keseweng-wenangan polisi, kelicikan para intel, kecurigaan pada tetangga dan ucapan makian dari orang-orang yang tak menginginkan perubahan.

Maka Ibunda yang buta huruf mulai tertarik untuk kembali belajar membaca, suatu hal yang tela lama ia tinggalkan semenjak menikah. Dorongan itu muncul karna sang ibu ingin mulai tergelitik untuk ingin tahu berbagai macam hal yang dibicarakan dengan penuh antusiasme oleh anaknya dan kawan-kawannya. Ia mulai membuka buku-buku tentang hewan, tumbuhan, negara-negara asing dan berbagai macam bacaan anaknya. Turning point penting yang terjadi dalam kehidupan ibunda terjadi ketika anaknya dijebloskan ke dalam penjara karna tuduhan menyebarkan pamflet gelap dipabrik. Inisiatif ibunda untuk membantu menyebarkan pamflet dipabrik dengan cara menyembuyikan di dalam keranjang makanan jualannya muncul pertama kali demi menyelamatkan anaknya. Jika penyebaran pamflet terus berjalan berarti tuduhan terhadap anaknya batal.

Ketika usaha tersebut berhasil, dan menyebabkan keonaran di pihak penguasa dan terjadi kegairahan dikalangan buruh, ibunda merasa bangga dan merasa dirinya begitu berarti. Ketika semangat perjuangan anaknya melalui pamflet, bacaan, pertemuan dengan berbagai kalangan aktifis membuatna semakin paham akan nilai-nilai yang diperjuangkan kaum revolusioner. Sang ibundapun sepenuhnya menjadi aktifis sejati. Dalam titik ini cintanya terhadap anak sematawayangnya telah mengalami trensedensi menjadi cinta bagi anak manusia.

Yang menarik dari novel ini adalah, perubahan “Ideologis” dalam diri ibunda yang tidak mengorbankan religiusitasnya yang sangat mendalam. Pelagia dapat mengaitkan faham persaudaraan kaum buruh dengan sosok yang diimaninya, yakni Kristus yang mengorbankan dirinya bagi orang kecil. Akan tetapi pada saat yang sama mata Pelagia mulai terbuka untuk membedakan ajaran untuk mencintai dengan praktek-praktek kaum pendeta dan gereja yang memanfaatkan kekuasaan diatas penderitaan orang miskin. Maka Pelagia tidak lagi menjadi sekedar seorang yang patuh pada ritual-ritual dan dogma agama, melainkan seorang yang menggali dasar-dasar kepercayaan dengan kritis tanpa tergoyahkan oleh kaum revolusioner sekitarnya yang umumnya tidak percaya lagi dengan Tuhan.

Novel ini tidak saja bisa menjadi inspirasi bagi para perempuan Indonesia untuk menolak bersikap pasrah diri terhadap kemandekan, kemiskinan dan ketidakberdayaan. Novel ini menunjukan bahwa keberanian dan keteguhan bisa mengubah posisinya dari sekedar mahkluk yang dianggap bagian dari isi rumah belaka, menjadi seorang tokoh yang diperhitungkan dalam perubahan masyarakat. Pada saat yang sama novel ini menunjukan bahwa perjuangan untuk merubah masyarakat tidak harus dilakukan dengan kebencian, kemarahan dan kekersan.

Gerakan yang diwakili oleh Pavel dan kawan-kawan adalah sebuah gerakan yang menitik beratkan pada perubahan kesadaran melalui bacaan, diskusi , penyebaran informasi dan perlawanan tanpa kekerasan melalui pemogokan dan cara-cara lainnya. Bahkan ketika pemogokan kaum buruh dihadang dengan senjata para polisi dan tentara, Pavel meminta para demonstran untuk terus maju tanpa senjata dan perlawanan atau yang lebih dikenal Ahimsa oleh Mahatma Gandhi. Itulah sebabnya, Pelagia sang ibu menjadi pahlawan utama novel ini, menghayati dan mendukung perjuangan si anak sepenuhnya, sebab sesuai dengan doktrin yang dianutnya yakni doktrin kashi saying. Novel Ibunda juga menyadarkan kita pada perbedaan antara perubahan untuk kepentingan sesaat dan perubahan tatanan yang mendasar.

Sebagai karya sastra, Ibunda mewakili suatu genre novel realism sosialis, dengan kekuatan dan kelemahannya. Novel ini secara gambling dan kuat mengandung unsure-unsur propaganda, dan gayanya yang mendeskripsikan keseharian dengan penuh detail untuk menekankan kedekatan dengan kenyataan yang seringkali dipisahkan oleh benang tipis dengan idialisme cita-cita revolusi dengan romantisme perjuangan. Tetapi pesan-pesan propaganda itu dibungkus oleh kekuatan si penulis dalam menghidupkan setiap sosok tokohnya secara individual, dan oleh jiwa yang menyalah dibalik tulisannya. Intensitas Gorki kita rasakan melalui intensitas dan penjiwaan Pramoeda ananta Toer sebagi penerjemahnya.

Buku ini terbit bersama dengan menjamurnya buku-buku “Kiri” lainnya yang booming, setelah selama 32 tahun dilarang untuk dibaca di negri ini. Akan tetapi ironisnya, disaat tatanan sosialisme komunis tidak lagi menjadi blok yang diperhitungkan. Membaca novel Ibunda mungkin membuat kita memahami mengapa tulisan-tulisan semacam ini ditakuti oleh penguasa. Tetapi lebhi dari itu, kita membaca novel yang menampilkan perempuan sebagai kekuatan perubahan itu sendiri, disaat perjuangan perempuan di Indonesia mencapai titik-titik yang menentukan.

tribute to MARSINAH 
:)

*kasus hukum marsinah tahun depan akan kadaluarsa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar