Jumat, 09 Maret 2012

Pramoedya Ananta Toer (Pram) : Sastra untuk Rakyat Kecil


Bagi Pram sastra atau apapun bentuknya harus menegakkan keadilan, sastra bukan hanya untuk keindahan bagi diri sendiri tapi sastra harus membela pekerja dan rakyat kecil. Sastra perlu untuk perkembangan kehidupan masyarakat secara konkrit. Pram seorang sastrawan memiliki kepribadian yang kuat bahkan bagi orang yang belum mengenalnya ia dianggap seorang yang egois. Pram memiliki prinsip sejaln dengan bung Karno yaitu revolusi . Tulisan-tulisan Pram sangat meledakkan revolusi bahkan dapat membuat pembacanya bergelora.

Karena prinsip yang sejalan dengan Bung Karno, masuklah ia dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) sebuah ormas dibawah naungan Partai Komunis Indonesia (PKI). Tulisan-tulisan Pram di harian bintang timur melecut semangat revolusi dan mencerca sastrawan yang tidak sejalan dengan revolusi. Para sastrawan yang di menceraca karena tidak sajalan dengan revolusi mendeklarasikan Manifestasi Kebudayaan (Manikebu). Bagi manikebu sastra terletak pada keindahan isi bukan memperjuangkan kaum tertindas.

Hal tersebut makin membuat Pram berang ia makin mencerca Manikebu dalam harian Bintang Timur. Pram menyebut Manikebu ragu-ragu terhadap revolusi dan meminta Bung Karno melarang seniman Manikebu untuk menulis. Permintaan Pram bak gayung bersambut Bung Karno langsung melarang sastrawan Manikebu untuk menulis. Walaupun akhirnya para sastrawan manikebu tetap bias menulis dengan menggunakan nama samaran.
Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925. Ia lahir dari keluarga yang mengutamakan pendidikan. Ia sempat sekolah teknik di Surabaya walau akhirnya harus terhenti karena Perang Dunia II. Dalam masa revolusi perannya pun tidak dapat dipisahkan dengan hobi menulisnya. Pada agresi Militer Belanda I tahun 1947 ia menulis dan menyebarkan plakat-plakat perjuangan Indonesia lalu tertangkap oleh pihak Belanda dan masuk bui di penjara bukit duri.
Setelah terjadi G30S 1965 menjadi titik balik karir Pram yang dekat dengan pemerintah. Semua yang terlibat dengan PKI “dihabisi” tak terkecuali Pram, ia dianggap ikut merancang kudeta dengan pembunuhan 7 Jendral oleh pemerintahan yang baru. Pram di penjara selam 14 tahun selama pemerintahan Soeharto (13 Oktober 1965-Juli 1969 di P.Nusa Kambangan, P.Buru Agustus 1969- 12 November 1979, Magelang November-Desember 1979). Saat akan dibuang ke P.Buru Ia meminta pada pemerintah untuk mengizinkannnya membawa “hartanya” yakni mesin ketik.

10 tahun selama di P.Buru menjadi tahanan pulitik ia mendapat pengawalan yang sangat ketat oleh pemerintah. “Pram, sering dipindah-pindahkan tempat tahanannya” kata Diro Utomo,teman satu barak Pram saat di P.Buru. Pram hanya boleh menulis di depan para tentara dan hasil tulisannya harus diperlihatkan pada tentara.
Pram melihat kekejaman terjadi selama di P.Buru ia ingin para tahanan poltik untuk menulis dan menceritakannya kembali kepada public suatu saat nanti. Di sinilah karya terbaik Pram di mulai yakni tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca). Kumpulan tulisan para tahanan poltik disatukan oleh Pram menjadi buku yang diketik menggunakan bungkus semen.

Setelah bebas tahun 1979 tulisan-tulisan Pram mulai “berbeda” dilihat dari isinya. Pram tidak lagi mengelorakan semangat revolusi tapi ia lebih banyak menulis tentang kediktatoran militer dan pembangunan yang memihak kalangan tertentu. Tahun 1995 ia meraih Ramon Magsaysay Award dari Filipina untuk nominasi penjunjung Hak Asasi Manusia,kontan ini mendapat tentangan dari sastrawan Manikebu yakni Mochtar Lubis karena Pram tidak menjunjung HAM saat Pram meminnta Bung Karno melarang sastrawan Manikebu menulis. Dimasa tuanya ia masih tetap menulis seperti: Jalan Raya Pos,Jalan Deandles. Pram meninggal di Jakarta, 30 April 2006 satu cita-citanya yang belum terwujud yakni membuat Ensiklopedi Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar