“Sejarah bukan sekedar ruang dan waktu. Tapi manusia dan
nilai-nilai kemanusiaan” – Che Guevarra
Judul
Buku : Akar dan Dalang (pembantaian manusia tak berdosa dan penggulingan Soekarno Penulis : Suar Suroso Tahun Terbit : September, 2013 Penerbit : Ultimus Tebal : xxxvi + 264 halaman. |
Pagi hari di beberapa kota besar
di Indonesia suasana tidak seperti biasanya ayang begitu damai dan tenteram
diusik oleh munculnya tulisan-tulisan berwarna merah darah : GANYANGPartai
Komunis Indonesia (PKI), SATE AIDIT, GERWANI LONTE PKI banyak tercoret di
tembok-tembok pagar tepi jalan, beton penyangga jembatan kereta-api,
gardu-gardu listrik dan ditempat-tempat strategis
lainnya. Siang hari datang beberapa kelompok massa berjumlah
ratusan orang semua mengenakan penutup wajah dengan membawa beragam senjata
tajam: bambu runcing, celurit, pedang, tombak. Berbaris di jalan-jalan kota
dengan meneriakkan yel-yel yang membakar emosi. Mencari dan memburu orang-orang
yang diduga anggota PKI. Sempat terjadi perlawanan dibeberapa tempat. Banyak
jatuh korban pada saat itu. Insiden ini berlangsung sampai sore hari. Kejadian
tersebut merupakan ekses dari gerakan 30 September (G 30S) 1965 di Jakarta. Enam
jendral dibunuh, dan PKI tertuduh yang melakukannya. Beberapa kota yang
merupakan basis pendukung PKI mengalami suasana penuh ketakutan dan mencekam.
Paling tidak situasi ini berlangsung sampai tiga tahun ke depan.
Banyak pertanyaan-pertanyaan
muncul. Ada apa dengan Indonesia, kenapa G 30S dapat terjadi, siapa sebenarnya
dalang G30S? Dalam buku ini, penulis menjelaskan akar penyebab pemusnahan
orang-orang PKI. Diawali sejak selesai perang dunia kedua, dimana dunia terbagi
dalam dua kubu; Kapitalis (Amerika) dan Komunis (Uni Soviet). Ini yang disebut
penulis sebagai akar permasalahannya. Indonesia sebagai negara pertama yang
merdeka setelah perang berkecamuk terjebak dalam situasi yang dinamakan perang
dingin. Soekarno, sebagai Presiden pertama tentu saja sudah sangat muak dengan
kolonialisme atau yang disebut penulis sebagai kapitalisme kuno. Indonesia yang
terkenal sejak zaman colonial akan hasil buminya membuat Amerika tergiur untuk
memilikinya. Untuk itu selepas perang dunia, Amerika ingin menguasai
politik,ekonomi maupun militer melalui intelijen-intelijennya.
Usaha-usaha pemberontakan terhadap
Soekarno yang didomplengi Amerika selalu gagal. Hal ini bukan tanpa sebab,
karena Soekarno sejak 1926 telah menuliskan pemikirannya yang anti kapitalisme
dan imperialisme. Terlebih di Indonesia ada partai yang jelas-jelas musuh kaum
Kaapitalis yakni PKI. PKI yang sangat erat dengan Soekarno yag menentang
kolonialisme. Apalagi, PKI merupakan partai komunis terbesar ketiga dunia. Dan,
akan membuat gentar siapapun yang berani melawan Soekarno-PKI. Namun, Amerika
tak kehilangan akal. Mereka banyak mendekati akademisi untuk melanjutkan
sekolah secara cuma-cuma di Universitas Barkeley. Tak cukup sampai disitu,
Amerika melalui duta besarnya dan CIA mendekati kalangan militer untuk menumpas
PKI. Sampai pada 1965 clash itu
terjadi PKI dan Soekarno dianggap pihak yang mesti bertanggung jawab atas
kejadian itu. Soekarno pun lengser sebagai presiden. Tanpa tedeng aling-aling
Militer dengan sigap menumpas kader, simpatisan bahkan yang tertuduh PKI.
Inilah yang disebut sebagai dalang oleh penulis. Sebanyak tiga juta rakyat
terbunuh sia-sia dan tanpa peradilan. Banyak mayat yang dibuang ke
sungai-sungai bahkan di sungai Brantas banyak ikan ketika hendak dimasak banyak
daging manusia di dalamnya (hlm 52).
1965
Merupakan sejarah kelam bagi Indonesia. Karena, setelah pergantian rezim
pemerintahan. Indonesia tak lagi menjadi pesaing negara-negara besar. Kini,
Indonesia hanya menjadi negara pengekor negara-negara besar. Tak hanya itu,
1965 merupakan kelam dalam sejarah umat manusia. Pembantaian manusia membabi-buta
tanpa sebab oleh bangsa sendiri menjadi penyebabnya. Bagi mereka yang tak
terbunuh harus rela hidup penuh diskriminasi, dibuang ke Pulau Buru dan menjadi
eksil di luar negeri. Buku ini menarik untuk dibaca karena banyak memakai
dokumen-dokumen yang belum digunakan dalam pembahasan G 30S. terlebih, penulis
membuat tulisan bantahan terkait penulisan sejarah G 30S yang ditulis oleh
Nugroho Notosutanto dan Mantan Pangkopkamtib, Soedomo. Akan tetapi, buku ini lebih
banyak memfokuskan pada kegiatan politik yang terjadi di dunia maupun Indonesia
dibanding pembantaian yang dilakukan oleh militer. Yang merupakan pelanggaran
Hak Asasi Manusia (HAM) berat. Hingga kini, pemerintah masih enggan meminta
maaf secara resmi kepada korban G 30S
Tidak ada komentar:
Posting Komentar