Tanggal 24 September merupakan
suatu hari yang sangat bersejarah karena diperingati sebagai hari tani
nasional. Menurut sejarahnya, penetapan hari tani ini didasarkan pada hari
kelahiran Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria (UUPA). Alasannya, karena salah satu isi UUPA adalah mengatur tentang
ketetapan hukum bagi pelaksanaan redistribusi tanah pertanian (reforma
agraria). Ditetapkan kelahiran UUPA sebagai hari tani dengan pemikiran bahwa tanpa
peletakan dasar keadilan bagi petani untuk menguasai sumber agraria, seperti
tanah, air, dan kekayaan alam, mustahil akan ada kedaulatan kaum petani.
Namun memasuki hari tani yang
ke-53 ini tentu masih banyak pertanyaan-pertanyaan pada pikiran kita. Karena
sudah lebih setengah abad lamanya hari tani diperingati, tapi kenyataannya
kehidupan para kaum tani tidak kunjung menampakkan kemerdekaannya yang sejati.
Malah sebaliknya, justru kaum tani tetap terpinggirkan dan tertinggal.
Sepertinya mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi kaum tani masih jauh
panggang dari api. Sejak zaman kerajaan Hindu, Indonesia terkenal sebagai
negara agraris, karena penduduknya lebih 60 persen beraktivitas di bidang
pertanian. Maka tidak bisa dipungkiri kalau bidang pertanian banyak memberikan
sumbangan untuk pelaksanaan pembangunan di negeri ini.
Namun menurut Dipa Nusantara
Aidit, seorang pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI), Indonesia adalah negri
agraris yang mengingkari agraria. Pendapat tersebut didasari bahwa pembangunan
pertanian Indonesia dilaksanakan tanpa melaksanakan terlebih dahulu reforma
agraria. Akibatnya, walaupun telah silih berganti pemerintahan di negeri ini
dengan berbagai macam program-program pertanian, tetapi tidak ada satupun
program diperuntukkan bagi kaum tani yang merupakan mayoritas. Sehingga kaum
tani tetap menjadi tidak berdaya.
Sebenarnya lahirnya UUPA sebagai
salah satu hasil dari kebijakan Soekarno pada masa Orde Lama (Orla) yang
merupakan jawaban dari sekian banyak permasalahan yang muncul akibat
penderitaan dan ketidakadilan yang dirasakan oleh kaum petani akibat
ketimpangan struktur penguasaan dan kepemilikan agraria akibat dampak dari
politik kebijakan kolonial Belanda yang sangat berpihak kepada modal asing. Tujuan
dibentuknya UUPA adalah untuk menghindari terjadinya konflik dan sengketa
pertanahan serta memudahkan melakukan pendistribusi tanah untuk kesejahteraan
rakyat, tetapi yang terjadi sekarang justru sebaliknya, seolah-olah dengan
adanya UUPA ini merupakan legalisasi pemerintah dengan pengusaha (pemodal)
melakukan perampasan tanah terhadap rakyat.
Agenda utama dari UUPA adalah
pembaharuan agraria yang berdiri di atas lima dasar yaitu Pembaharuan Hukum
Agraria, melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi nasional dan pemberian
jaminan kepastian hukum, penghapusan hak-hak asing dari konsesi-konsesi
kolonial atas tanah, mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur,
perombakan pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang
bersangkutan dengan pengusahaan tanah dalam mewujudkan pemerataan kemakmuran
dan keadilan (Landreform) dan perencanaan persediaan dan peruntukkan
bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta penggunaannya
secara terencana sesuai dengan daya dukung dan kemampuannya.
Lima dasar ini yang kemudian
dituangkan dalam bentuk program Reforma Agraria yang sejati ditujukan untuk
peningkatan taraf hidup kaum petani yang selama berabad-abad hidup tertindas
dan berada dalam jurang kemiskinan serta sekaligus meletakkan pondasi awal bagi
peningkatan ekonomi bagi sebuah bangsa yang memiliki corak agraris. Akan
tetapi, kenyataannya, program agenda Reforma Agraria sampai saat ini masih
tetap hanya sebatas mimpi yang belum bisa terwujud. Mungkin masih segar dalam
ingatakan kita pada tahun 2007 pemerintah menegaskan akan mengalokasikan lahan
seluas 8,15 juta hektare untuk dibagikan di 17 provinsi, 104 kabupaten. Lahan
itu berasal dari kawasan hutan produksi konversi. Dialokasikan pula tanah
seluas 1,1 juta hektare yang berasal dari sumber lainnya. Bahkan dalam pidato
politik Presiden SBY dicetuskan rencana pelaksanaan reforma agraria mulai
2007. Presiden menegaskan, reforma agraria akan dijalankan dengan prinsip
“tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat”.
Lalu pada 2012, Pemerintah
melalui menteri Pertanian (Mentan) Siswono menyampaikan keputusan untuk
mengimpor beras sebanyak 1 juta ton demi menambah cadangan beras nasional,
keputusuan diambil setelah Bulog memperkirakan stok beras di gudang Bulog pada
akhir tahun tersisa 1 juta ton. Keputusan tersebut membawa kita kembali
berpikir ke arah beberapa pertanyaan, apakah kebijakan pemerintah berupa impor
bahan pangan adalah pra-kondisi bagi pembentukan areal pangan skala luas dengan
konsentrasi pada segelintir pemilik lahan atau korporasi? Ataukah pemerintah seolah-olah
tidak memahami bahwa akar persoalan pembangunan sektor pertanian kita masih
dalam kubangan ketimpangan struktur penguasaan lahan yang semakin tinggi
sehingga kebijakan impor hanya merupakan kebijakan tambal sulam tanpa mengobati
jantung permasalahan? Ataukah pembangunan sektor pertanian telah melupakan
aktor utama atau soko guru kedaulatan pangan, yaitu petani yang sebagian besar
adalah petani gurem dan buruh tani yang semakin tidak berdaya menghadapi
gempuran tingginya biaya produksi pertanian. Pertanyaan-pertanyaan tersebut
dapat diuji secara materil dilihat dari tindak-tanduk kebijaksanaan pemerintah
yang cenderung semakin melupakan unsur “manusia” yang dalam hal ini adalah
masyarakat pedesaan berupa petani tak bertanah, petani gurem dan buruh tani.
Dalam sebuah acara televise perwakilan
Konsorsium Pembahauan Agraria (KPA), Henry Saragih dan Gunawan Wiradi mengungkapkan
bahwa dari tahun 1963 hingga 2003, rata-rata penguasaan lahan oleh petani dari
satu periode sensus ke periode sensus berikutnya relatif sangat kecil yaitu
antara 0,81 sampai 1,05 Ha. Sementara di Jawa, pulau yang tingkat kepadatan
penduduknya tinggi, rata-rata penguasaan lahan oleh petani selama lebih dari 40
tahun sekitar 0,45 Ha. Terjadinya juga peningkatan jumlah petani miskin yang
menguasai tanah kurang dari 0,5 Ha di seluruh daerah yang menjadikan kelas
petani gurem sebagai kelompok mayoritas rumah tangga petani di Indonesia selama
40 tahun, sejak tahun 60-an hingga awal 2000-an. Sejalan dengan itu data Profil
Kemiskinan di Indonesia (BPS) menerangkan bahwa Jumlah penduduk miskin di
Indonesia pada Maret 2010 sebesar 31,02 juta orang, sebagian besar penduduk
miskin berada pada daerah pedesaan yaitu sebesar 64,2%. Hal ini menunjukan
bahwa kemiskinan petani berbanding lurus dengan minimnya akses petani terhadap
tanah. Jika hal ini dibiarkan maka petani akan menjadi profesi yang paling
tidak menjanjikan dan terancamnya eksistensi profesi petani di dalam negeri
karena identik dengan kemelaratan.
Ketimpangan struktur agraria
yang mendorong kemiskinan masyarakat pedesaan tersebut bukannya menjadi daya
pendorong kuat urgensi pelaksanaan reforma agraria di tanah air. Dengan
“peluru” ancaman krisis pangan, pemerintah justru memberikan solusi instan
berupa impor beras. Dari Laporan Bulanan data sosial ekonomi BPS edisi MEI 2012
didapatkan nilai impor beras sepanjang 2011 mencapai 2.75 ton atau naik 2.06
juta ton dari tahun 2010, sementara dari bulan januari hingga maret angka impor
beras sudah mencapai 770.294 ton belum ditambah rencana impor beras sebanyak 1
juta ton yang baru diumumkan oleh mentan 20 september lalu. Dari data tersebut
dapat diindikasikan bahwa cara-cara pemerintah dalam membangun sektor pertanian
masih berprioritas pada cara reaksioner yaitu impor, Impor beras adalah upaya
menempatkan wacana krisis pangan kepada peluang bagi masuknya impor via para
pencari untung yaitu pedagang dan birokrat yang menyemai untung dari adanya
mekanisme impor beras.
Tak cukup sampai di situ,
pelaksanaan MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy) dapat dijadikan
contoh bahwa terjadi pemutusan hubungan erat antara rakyat dengan tanahnya dan
menggiring pada penghengkangan petani tak bertanah, petani gurem dan buruh tani
dari karakter agraris menuju penyediaan tenaga kerja bebas atau buruh sektor
pertanian atau non-pertanian (industri). krisis pangan dan energi global telah
menjadi entry point bagi peluang investasi di kedua sektor tersebut.
Elite pemerintah menanggapi peluang tersebut dengan memberi konsensi-konsensi
perkebunan skala raksasa. Hal tersebut mengingatkan kita pada pengelolaan
sumber daya alam era kolonial yang memakan banyak korban jiwa dengan tanam
paksa dan pembukaan pertanian/perkebunan skala luas.
Permasalahan-permasalahan
tersebut seakan memberi peringatan bagi pimpinan nasional untuk segera menyelesaikan
segala krisis agraria yang menyebabkan konflik-konflik agraria, ketimpangan
struktur agraria dan hancurnya tenaga produktif petani. Konflik agraria justru
akan semakin membakar radikalisasi gerakan kaum tani yang mendorong lahirnya
konflik-konflik agraria. Di tengah ancaman krisis pangan dunia, Indonesia harus
cermat menempatkan diri sebagai negeri agraris yaitu dengan memperbesar
kemungkinan dilakukannya produksi pertanian menuju gudang pangan dunia. Yang
tak kalah penting dari hal tersebut adalah memberikan akses bagi petani
terhadap sarana prosuksi berupa tanah dan air, hal tersebut tentu sinergis
dengan penyediaan lapangan kerja yang dapat menghidupkan gairah ekonomi
pedesaan.
Situasi-situasi tersebut menempatkan reforma
agraria sebagai sebuah tawaran jalan keluar, sebagai salah satu kebijaksanaan
dan menunjukan reforma agraria semakin relevan terhadap perkembangan zaman.
Perombakan struktur penguasaan dan kepemilikan agar lebih berpihak pada petani
penggarap, dengan disertakan program penunjang yang mendorong pembangunan
infrastruktur dan industrialisasi, akan menjadikan fondasi ekonomi nasional
menjadi kuat. Semoga dengan semangat hari tani 24 september kali ini Reforma
Agraria tidak hanya dijadikan selebrasi dan euphoria petani kemudian diabaikan.