Gustavo
Gutierrez terkenal sebagai teolog pembebasan. Pengalaman tinggal bersama
orang-orang kecil yang tertindas mendorongnya untuk melakukan kontekstualisasi
dalam berteologi. Menurut Gutierrez pendekatan teologi Barat yang dia pelajari
tidak dapat diaplikasikan dalam situasi masyarakat di Amerika Latin. Menurut
dia, butuh pendekatan khas untuk berteologi dalam situasi yang sangat
memprihatinkan di Amerika Latin waktu itu. Namun, teologi pembebasan tidak
selalu mendapat dukungan dari pihak Gereja sendiri. Di Amerika Latin sempat
terjadi perpecahan antara kelompok yang menyatakan bahwa “Gereja harus netral
terhadap pilihan politik” dengan para teolog pembebasan. Perlawanan yang muncul
terhadap teologi pembebasan tidak lain menunjukkan betapa Gereja waktu itu
berada dalam ketakutan terhadap suatu kekuatan politik yang menindas. Pendapat
Gutierrez benar bahwa Gereja dari dulu sampai sekarang banyak berhubungan dan
bersahabat dengan mereka yang mengendalikan ekonomi dan politik. Dalam hal ini
dapat dikatakan bahwa Gereja berada di pihak golongan penindas. Memang,
sekarang kondisinya sudah agak berubah, yakni ketika muncul kelompok
pembaharuan dalam Gereja, khususnya para penegak teologi pembebasan. Lantas,
bagaimana metode teologi pembebasan yang dianggap sebagai sebuah pendekatan
baru dalam berteologi?
Biografi Singkat Gustavo Gutierres
Gustavo
Gutierrez Merino Lahir pada tanggal 8 Juni 1928 di Monserat, sebuah kawasan
miskin di Lima, Ibu kota Peru. Ia berasal dari keluarga sederhana yang berdarah
Mestizo, keturunan campuran Hispanic (Spanyol) dan Indian. Gutierrez adalah
satu-satunya anak laki-laki dari tiga bersaudara. Meskipun ada
kesulitan-kesulitan ekonomi, ia tidak mengalami kekurangan cinta dari
keluarganya.
Ketika
berada di bangku sekolah menengah, Gutierrez diserang penyakit Osteomiletis.
Penyakit ini menyebabkan kepincangan permanen pada kakinya. Penyakit ini
pulalah yang menuntun dia memilih jurusan farmasi pada Universitas San Marcos,
Lima. Tetapi, kemudian ia memutuskan untuk masuk seminari dan belajar
filsafat-teologi di Seminari Santiago de Chile.
Pada tahun
1951-1955, ia melakukan tugas belajar pada Universitas Katolik Louvain, Belgia.
Ia memperoleh gelar master dalam bidang filsafat dan psikologi dengan tesis Konflik
Psikis dalam Freud. Di Louvain, ia bersahabat baik dngan Francois Houtart,
yang kelak menjadi teolog sosial garda depan Gereja Katolik. Ia juga bersahabat
baik dengan Camilo Torres, yang kelak menjadi Pastor gerilyawan di Amerika
Latin. Pada tahun 1955-1959, ia melanjutkan kuliah teologi di Universitas
Katolik Lyon, Prancis, dan memperoleh master Teologi dengan tesis Kebebasan
Religius. Di Lyon, ia diperkenalkan dengan “la nouvelle theologie”,
yakni upaya beberapa pemikir Katolik Prancis menghubungkan secara nyata iman
dengan masalah-masalah abad ke-20, di antaranya Henri de Lubac, Jean Daniellou,
Yves Congar. Mereka adalah teolog-teolog barat yang cukup berpengaruh dalam
pemikiran Gutierrez selain Karl Rahner dan G. von Rad.
Gutierrez
sempat belajar teologi di Universitas Katolik Gregoriana, Roma pada tahun
1959-1960. Di Roma pula, ia ditahbiskan imam pada tanggal 6 Januari 1959.
Setelah itu pada tahun 1960, ia kembali ke Amerika Latin dan mengajar di
Universitas Katolik Lima, Peru. Namun, tugas utama yang dilakukan Gutierrez adalah
menjadi pastor yang hidup dan berkarya di antara kaum miskin di Rimac, Lima. Di
sini, ia memperoleh landasan dan arah baru dalam pemikiran teologinya.
Dalam
keterlibatannya di tengah-tengah kaum miskin, Gutierrez merasakan bahwa
perjalanan studi di Eropa selama ini tidak memberikan dasar kokoh baginya untuk
memahami dan menghayati situasi Amerika Latin. Ia menemukan ketidakcocokkan
antara teologi Barat yang dipelajari dengan kenyataan konkret yang ada. Karena
itu, ia mulai mempelajari dengan serius sejarah bangsanya sendiri. Ia membaca
lagi Injil dan Teologi dalam konteks Amerika Latin, yakni situasi kaum miskin
dan tertindas.
Hal ini
memperkenalkan ia dengan pemikir-pemikir besar Amerika Latin. Salah satu tokoh
yang berpengaruh besar terhadap Gutierrez adalah Bartolome de Las Casas
(1474-1566). Las Casas adalah imam Dominikan yang menjadi pembela orang-orang
Indian Amerika terhadap penjajahan Spanyol. Gutierrez melihat kesamaan besar
antar apa yang ditemukan oleh de Las Casas pada abad ke-16 dan kenyataan
Amerika Latin pada abad ke-20 ini: kenyataan orang-orang mati sebelum waktunya
(people died before their time). Penjajahan Spanyol mengakibatkan begitu
banyak orang Indian mati secara prematur dan tidak adil. Karena itu,
evangelisasi gereja di Amerika Latin menurut de Las Casas bukan terutama
menginisasi orang kafir masuk ke dalam kebudayaan Kristiani Barat, tetapi
melakukan advokasi terhadap kaum miskin yang tertindas
Selain de
Las Casas, pemikir Amerika Latin yang memberikan banyak inspirasi kepada Gutierrez
adalah Jose Carlos Mariategui (1895-1930). Ia adalah seorang pemikir marxis
dari peru. Menurut Michael Candelaria, Mariategui memberikan tiga sumbangan
penting bagi pemikiran Gutierrez. Tokoh lainnya adalah Jose Maria Arguedas
(1911-1969). Ia adalah seorang antropolog, penyair dan Novelis. Arguedas
sungguh menyadari situasi konflik sosial di Peru antara golongan kaya dan
golongan miskin. Hal ini yang mempertalikan mereka secara pribadi, yakni dalam
keprihatinan dasar yang sama untuk memahami dan bersuara bagi kaum miskin
Pada tahun
1971, Gutierrez menerbitkan karya monumentalnya A Theology of Liberation
(terjemahan dalam bahasa Inggris tahun 1973). Sebuah buku yang menguraikan
secara sistematis dan komprehensif refleksi teologis Gutierrez dalam konfrontasi
dengan dunia kaum miskin di Amerika Latin yang ia hidupi selama ini. Dalam
tahun-tahun berikutnya terbit beberapa buku lainnya dari Gutierrez yang
bertolak dari keprihatinan dasar yang sama, yaitu bagaimana menyuarakan jeritan
kaum miskin Amerika Latin dalam bahasa Teologis.
Sejarah Munculnya Teologi Pembebasan
Permulaan
teologi pembebasan ditetapkan Erique Dussel pada tahun 1564 ketika Bartolome de
Las Casas, sebagai cikal bakal teologi pembebasan, mengatakan bahwa dia merasa
dipilih Tuhan menjadi pelayan untuk mengangkat martabat orang-orang Indian yang
telah dirampas kebebasannya dengan tidak adil. Dussel juga memberi nama
“teologi kenabian” pada teologi dari zaman de Las Casas tersebut yang
memperjuangkan hak hidup orang Indian.
Cikal bakal teologi pembebasan tersebut tenggelam pada masa kolonialisasi
(1553-1808). Pada masa ini, “teologi Kerajaan Kristiani” mulai memberi
pengaruhnya. Teologi tersebut bercirikan “menutupi dan menyembunyikan praktik
ketidakadilan.” Tahap perkembangan selanjutnya adalah “teologi emansipasi
politik” (1808-1831) yang timbul sebelum kemerdekaan dan memperjuangkan
persamaan dalam politik dan kehidupan kemasyarakatan. Kemudian teologi tersebut
digantikan oleh “teologi konservatif” yang mempertahankan neokolonial. “Teologi
Kerajaan Kristiani Baru” (1930-1962) muncul kembali dengan memusatkan perhatian
pada keprihatinan sosial. Teologi pada masa ini masih menggunakan cara
berteologi rasioanilistis spekulatif sebagaimana teologi klasik barat.
Munculnya teologi tersebut ditandai dengan timbulnya gerakan sosial Prancis dan
Amerika Latin, pusat studi sosial Centro Belarmino di Santiago,
terbentuknya Konferensi para Uskup Amerika Latin (CELAM), dan pembaharuan studi
Kitab Suci di mana-mana.
Bagi
Segundo dan Dussel, tahap perkembangan teologi pembebasan selanjutnya
diperkirakan kurang lebih “sebelum gelombang pertama Konsili Vatikan II”
(1962). Sedangkan, Vidales mengatakan bahwa pembentukan refleksi teologi
pembebasan ditempatkan pada tahun 1965, tahun terbitnya konstitusi pastoral Gaudium
et Spes.
Pada tahap ini masih dibagi lagi menjadi tiga bagian perkembangan. Pertama,
berlangsung dari tahun 1962 sampai konferensi para uskup Amerika Latin di
Medellin, tahun 1968. Pada kurung waktu ini teologi pembebasan masih mempunyai
ciri tinjauan kemasyarakatan yang dipengaruhi oleh aliran ilmu sosial,
“pertumbuhan ekonomi” atau “pembangunan” (development).
Kedua, berlangsung dari tahun 1968 sampai tahun 1972. Pada masa
ini refleksi teologi pembebasan mengalami pembakuan. Konferensi dan simposium
mengenai teologi pembebasan dalam kurun waktu ini sudah menjadi umum di Amerika
Latin. Misalnya, simposium internasional di Bogota, Colombia, tanggal 2 sampai
7 Maret 1970; pertemuan para ahli Kitab Suci yang membahas tema “Eksodus dan
Pembebasan” di Buenos Aires, Argentina; dan lain sebagainya. Menjadi semakin
tersebar luas dan umum ketika terbit buku A Theology of Liberation dari
Gustavo Gutierrez, seorang Pastor Peru, pada tahun 1972. Praksis revolusioner
diakui sebagai kerangka, peta kegiatan masyarakat, yang menelurkan
tindakan-tindakan refleksi teologi.
Ketiga, pada waktu “penjeblosan ke dalam penjara” dan “pembuangan”
oleh rezim militer di kebanyakan negara-negara Amerika Latin. Kemudian, teologi
pembebasan menyebar ke Dunia Ketiga lainnya yakni Afrika dan Asia. Hal ini
salah satunya disebabkan oleh keadaan keamanan di Amerika Latin yang tidak
kondusif. Cara berteologi Dunia Ketiga tersebut memiliki dua ciri pokok:
- Menginterpretasi kehendak Tuhan untuk masyarakat Dunia
Ketiga secara bermutu, maksudnya dengan menggali akar “ke Dunia Ketiga-an
(the Third Worldness)”. Dalam berteologi orang harus membuat
analisis sosio-ekonomi, politik, dan budaya Dunia Ketiga.
- Berteologi di Dunia Ketiga menuntut prasyarat yang
berupa komitmen dan keterlibatan pelaku teologi dalam perjuangan dan hidup
rakyat bagian Dunia Ketiga tersebut.
Metode Teologi Pembebasan
Teologi
pembebasan adalah sebuah gebrakan baru dalam teologi. Gebrakan itu pertama-tama
bukan terletak pada obyek kajian dan isi melainkan pada metodologinya, pada
cara berteologi. Cara berteologinya adalah transformatif, bertolak dari praksis
atau iman yang dialami dalam sejarah tertentu. Cara demikian berbeda dengan
metode berteologi di Barat (Eropa dan Amerika Utara). Metode teologi barat,
atau teologi tradisional, atau teologi dominan, bertolak dari teori, dari iman
yang diajarkan dan dipikirkan. Oleh karena itu, seringkali kritik atas teologi
pembebasan datang dari tradisi teologi barat. Menurut Hans Urs von Balthasar,
teologi pembebasan bukan asli berasal dari Amerika Latin, melainkan masih
menjadi bagian dari teologi Kerajaan Allah.
Antara
teologi barat dan teologi pembebasan terdapat perbedaan-perbedaan mendasar
terutama dalam hal metodologi, pelaku kegiatan berteologi, analisis,
kemasyarakatannya, dan locus-theologicus-nya. Pelaku teologi pembebasan
adalah rakyat yang tertindas sendiri. Para teolog (salah satunya Gutierrez)
berperan menyintesiskan kutipan-kutipan yang diedarkan oleh rakyat jelata di
banyak umat basis, juga dari kelompok-kelompok studi Kitab Suci dan
diskusi-diskusi sosial politik, bahkan dari omongan dan tindakan di
perkampungan-perkampungan yang miskin dan kotor. Metodologi teologi pembebasan
betolak dari reaksi terhadap sistem masyarakat yang tidak adil. Teologi
pembebasan menangani orang yang dianggap bukan orang lagi (non person). Locus
theologicus teologi pembebasan adalah orang yang menghayati religiositasnya
dalam tantangan konflik kelas di Dunia Ketiga. Dari segi isi dan obyeknya,
tidak ada perbedaan dengan teologi Barat. Keduanya berbicara mengenai citra
Allah, kedosaan manusia, Kerajaan Allah, kristologi, eklesiologi, eskatologi,
dan sebagainya. Perbedaan keduanya terletak dari pendekatan yang dipakai,
sebagaimana telah ditulis sebelumnya.
Pendekatan
teologi pembebasan yang dipakai tentu merupakan sebuah perubahan yang radikal
dalam berteologi. Dalam teologi pembebasan terjadi perubahan yang sangat
mendasar mengenai metodologi, yakni berteologi dengan titik pangkal tantangan
zaman. Dalam menginterpretasi Injil dan Magisterium, teologi pembebasan
dipengaruhi oleh komitmen untuk pembebasan.
Teologi Pembebasan Gutierrez
Bagi
Gutierrez ada tiga cara berteologi. Pertama, teologi sebagai sumber
hidup rohani. Kedua, teologi sebagai pengetahuan rasional. Ketiga,
teologi sebagai refleksi kritis dalam terang Sabda Allah atas praksis hidup
orang Kristen. Gutierrez menekankan fungsi yang ketiga, meskipun fungsi ini
tidak dapat dipisahkan dari kedua fungsi lainnya. Maka, teologi pembebasan
Gutierrez adalah refleksi kritis dalam terang Sabda Allah atas praktis hidup
orang Kristen, yang ikut melibatkan diri dalam usaha pembebasan. Motivasi
dasarnya adalah keyakinan bahwa masyarakat yang tidak adil sama sekali tidak
sesuai dengan tuntutan injil. Mereka merasa tidak pantas disebut orang Kristen
jika tidak ikut berjuang melakukan pembebasan, meskipun kesadaran ini masih
dalam taraf intuisi serta meraba-raba. Tugas teologi adalah menunjukkan dengan
jelas hubungan antara iman dan perjuangan pembebasan. Namun, bukan berarti
bahwa refleksi teologi dimaksudkan sebagai iustifikasi praksis yang sudah ada.
Sebaliknya, refleksi teologi, menurut Gutierrez, harus menunjukkan nilai
positif dan nilai negatif yang ada dalam praksis pembebasan. Bahkan, dari
refleksi teologi diharapkan ada koreksi-koreksi atas kesalahan-kesalahan yang
mungkin ada, misalnya ada aspek hidup Kristen yang dilupakan karena orang
terlalu tergesa-gesa mengambil tindakan politik. Inilah yang dimaksud dengan
teologi sebagai refleksi kritis.
Teologi
pembebasan Gutierrez dapat dikatakan bukan hanya bersifat orthodoxy
(memantapkan ajaran) dan bukan pula hanya orthopraxis (menuntut
dijalankan dalam tindakan mendunia dan menuju Allah), tetapi bersifat heteropraxis
yakni orthodoxy sejauh bersumber pada orthopraxis (rumusan ajaran
sejauh berpangkal dari pengalaman konkret dan kembali secara baru kepada
tindakan yang dituntut oleh rumusan ajaran tersebut).
Gutierrez
melihat bahwa orang Kristen yang ikut melibatkan diri dalam usaha pembebasan
telah yakin, meski secara samar-samar dan intuitif, keterlibatannya merupakan
tuntutan iman. Itu berarti bahwa refleksi teologi atas praksis pembebasan
diharapkan memperjelas hubungan antara iman dan praksis pembebasan. Refleksi
teologi diharapkan menjawab soal hubungan antara iman dan eksistensi manusia,
soal-soal sosial, aksi politik atau hubungan antara Kerajaan Allah dan bangunan
dunia. Ringkasnya, bagaimana hubungan antara iman dan penciptaan manusia baru
yang merupakan tujuan perjuangan pembebasan. Memahami kembali iman berarti
mengajak orang untuk kembali memahami misi Gereja di dunia ini. Maka, dua
pertanyaan fundamental yang diajukan Gutierrez adalah Apa arti perjuangan
pembebasan bagi iman Kristen? Apa misi Gereja dalam rangka perjuangan
pembebasan?
Teologi Pembebasan dan Gereja
Indonesia
Apakah kesan
kita terhadap Amerika Latin? Penuh dengan pertumpahan darah. Di negara dengan
mayoritas penduduk Katolik, terjadi peristiwa-peristiwa yang mengerikan.
Kekerasan dan ketidakadilan terjadi di berbagai tempat di negara yang memiliki
norma cinta kasih. Banyak peristiwa berdarah yang tidak akan saya sebut di sini
yang terjadi di Amerika Latin. Pembantaian menimpa banyak pastor, suster, dan
masyarakat sipil yang dianggap sebagai musuh kepentingan kapitalis Amerika
Serikat dan birokrat-militer beserta tuan tanah setempat.
Praksis
mereka adalah praksis untuk pembebasan manusia. Bukan saja pembebasan dari
kendala sosial, ekonomi, dan politik di dunia, melainkan pembebasan yang utuh
dan menyeluruh sebagaimana manusia dicintai Tuhan Allah untuk berpartisipasi
dalam citra-Nya. Bagi Gutierrez, “pembebasa” bukan saja sebuah proses,
melainkan juga sebuah kerangka berbagai tataran arti yang saling bertautan:
- Pembebasan ekonomi, sosial, dan politik
- Pembebasan manusiawi, yang menciptakan manusia baru
dalam masyarakat solidaritas yang baru
- Pembebasan dari dosa dan masuk dalam persekutuan dengan
Tuhan Allah dan semua manusia
Dari refleksi kritis Gutierrez,
jelas bahwa yang diperjuangkan oleh para teolog pembebasan Amerika Latin bukan
saja kepentingan dunia semata, melainkan pembebasan dalam arti sebagai
peziarahan seluruh manusia dalam segala keutuhan dan kedalaman hidupnya serta
sekaligus pembebasan dalam arti penyelamatan manusia dari dosa.
Penggunaan kekerasan subversif,
bergabung dengan kelompok gerilya, memanggul senjata simbol kekerasan, terpaksa
dipakai karena tidak tersedia alternatif lain lagi. Pemerintah dan aparat
militer tidak dapat diajak berbicara lagi. Para aktivis dan gerilyawan tidak
ada pilihan lagi selain mempertahankan hidup.
Memang pada akhirnya, praksis pembebasan
manusia tidak otomatis menjadi keprihatinan di seluruh warga Gereja Katolik,
termasuk di Indonesia. Tentu dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini,
teologi pembebasan dapat diterapkan untuk Indonesia. Bahkan radikalitas dalam
arti melakukan tindakan subversif dengan mengangkat senjata atau dengan
kekerasan bisa dipakai untuk melawan pemangku jabatan yang bebal. Kondisi
masyarakat Indonesia butuh pembebasan dari segala kesulitan ekonomi, masalah
sosial, dan politik. Jerat kapitalisme, kemiskinan, dan ketidakadilan yang
ditandai dengan pejabat yang korup, dan kurangnya tanggung jawab terhadap
lingkungan dari para kapitalis yang menyengsarakan rakyat kecil, menandai bahwa
bangsa Indonesia sekarang menuntut adanya revolusi sosial segera. Usaha pembebasan
itu menurut Gutierrez harus dilakukan oleh rakyat yang tertindas sendiri agar
usaha pembebasan itu otentik dan konkret.
Francis Wahono, Teologi Pembebasa: Sejarah, Metode,
Praksis, dan Isinya (Yogyakarta: LKIS, 2000), hlm. 18.
Suryawasita, Teologi Pembebasan Gustavo Gutierrez,
(Yogyakarta: Jendela, 2001), hlm. 19.