Hentikan jual-beli pendidikan
sekarang juga
Sejak munculnya UU BHP (Badan
Hukum Pendidikan) dalam perguruan tinggi pada tahun 2005 menuai banyak
kontroversi. UU BHP sendiri digagas karena negara dinilai lalai dalam mengatur
dan membiayai perguruan tinggi. Karena alokasi APBN tidak cukup menutupi biaya
operasional perguruan tinggi yang ada di Indonesia terutama perguruan tinggi
negeri. Untuk itulah dibutuhkan UU BHP yang di dalamnya mengedepankan otonomi
kampus terutama dalam hal keuangan.
Selama proses uji coba BHP, pemerintah justru menganggap alokasi pembiayaan kampus sangat menyedot banyak dana APBN. Pemerintah coba lepas tangan dalam mengelola perguruan tinggi dengan menandatangani perjanjian dengan WTO (World Trade Organization) tahun 2007, dan pendidikan masuk dalam ranah penyedia pelayanan jasa yang masuk dalam GATS (General Agreement on Trade in Services).
Pemerintah lalu membentenginya dengan regulasi yang cukup kuat yakni melalui UU No. 25 Tahun 2007. Dalam regulasi itu pihak asing bebas menanamkan investasinya ke perguruan tinggi dengan harapan mampu memberikan lulusan yang dapat memenuhi kebutuhan pasar. Kemudian UU BHP digagalkan oleh mahkamah konstitusi pada tahun 2009, karena dinilai sarat akan liberalisasi di bidang pendidikan dan melepaskan peran pemerintah dalam bidang pendidikan. Namun, perjanjian dengan WTO tetap berlangsung.
Bak pepatah aceh Anjing pergi, babi masuk. Digagalkannya UU BHP pemerintah justru mensosialiasikan sistem PK-BLU (Pengelolaan Keuangan – Badan Layanan Umum) pada setiap kampus. Dalam sistem BLU, kampus berhak mengatur dan mengelola keuangannya sendiri untuk membangun kampus, entah itu mendapat dana hibah ataupun berhutang. UNJ (Universitas Negeri Jakarta) sendiri secara resmi menerapkan PK-BLU sejak Desember 2009.
Kemudian dengan semangat PK-BLU, hadirlah Islamic Development Bank (IDB) di UNJ. Dengan memberikan hutang sebesar 20 milyar kepada UNJ untuk membangun gedung-gedung baru. Konsekuensi pemberlakuan BLU adalah membuka program studi baru yang menjual bagi kebutuhan pasar. Dengan ini banyak mahasiswa baru yang daftar di jurusan barunya dan UNJ dapat keuntungan dengan penambahan mahasiswa baru di jurusan yang baru pula. Konsekuensi lainnya ialah kampus diharuskan menutup jurusan yang sangat dikit diminati dan tidak menjual di pasar.
Dengan dibukanya
jurusan baru dan peminat yang sangat banyak UNJ tidak menyia-nyiakan kesempatan
ini untuk meraup keuntungan. Seperti yang terjadi di tahun 2011 dengan
mahasiswa baru yang mencapai 5100, UNJ menaikan iuran SPP mencapai 35%. Hingga
akhirnya sebanyak 217 mahasiswa baru di tahun 2011 mengundurkan diri dari UNJ
karena tidak mampu untuk membayar uang masuk sekitar 5 juta. Pada tahun 2012,
UNJ coba menyiasati uang bayaran yang mahal pada awal masuk dengan
memberlakukan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Sistem ini dinilai rektorat adalah
cara yang tepat untuk meminimalisir jumlah mahasiswa yang banyak mengundurkan
diri tahun lalu. Pemberlakuan UKT sendiri tidak menyelesaikan masalah buktinya
masih banyak mahasiswa yang mengundurkan diri. Bukan tanpa sebab karena UNJ
masih memberlakukan diskriminasi bagi yang lulus snmptn itu akan dibantu.
Sedangkan mereka yang lolos dijalur mandiri dianggap sebagai orang dari
kalangan mampu. Sistem bayaran tahun ini (UKT-red) adalah dengan menjumlahkan
total uang kuliah selama empat tahun lalu membaginya ke dalam delapan semester.
Namun, jika dikalkulasi hingga delapan semester sistem UKT ini jauh lebih mahal dari uang bayaran yang diberlakukan di tahun 2011. UNJ lagi-lagi melihat ini sebagai sebuah keuntungan. Untuk itu pada 2012 ini, UNJ menerima mahasiswa baru sebanyak 6200. Jumlah yang sangat tidak berbanding lurus dengan jumlah kelulusan mahasiswa UNJ yang tiap tahun hanya mencapai 4000.
Biaya kuliah yang membumbung tinggi tidak dibarengi dengan fasilitas yang baik kepada mahasiswa. Ini terbukti dengan banyaknya masalah di dalam kelas seperti kurangnya kursi hingga matinya pendingin udara. Padahal UNJ sedang giat melakukan pembangun sejak tahun 2009. Namun, seolah pembangunannya saat ini mangkrak. Karena UNJ membangun dengan cara berhutang kepada IDB, dan IDB sendiri belum lagi mencairkan dananya untuk UNJ. Hutang yang diberikan oleh IDB kepada UNJ nantinya akan dibayarkan oleh pemerintah dengan uang rakyat (pajak-red).
Contoh nyata pembangun yang mangkrak adalah gedung parkiran baru di UNJ. Gedung yang belum rampung ini dianggap solusi terbaik untuk mmengatasi sumpeknya UNJ. Namun yang terjadi saat ini, UNJ sedang melakukan lobi-lobi kepada pengelola parkir swasta untuk menggarap parkiran di UNJ. Dengan sistem parkiran layaknya di supermarket, UNJ berharap mendapat pemasukan lebih dari sektor parkiran selain dari uang SPP.
Dengan sistem yang
diberlakukan oleh UNJ sangat jelas bahwa UNJ melakukan logika pasar. Yakni
dengan menjual titel untuk mahasiswa dengan berharap mendapatkan keuntungan
sebesar-besarnya. Jumlah lulusan UNJ sendiri yang mencapai 4000 tiap tahunnya
belum menjamin dapat bekerja sebagai guru, karena lowongan pekerjaan untuk
menjadi guru tidak sampai 4000. Penetepan jumlah spp yang mebumbung tinggi juga tidak memberi kesempatan rakyat miskin untuk
berkuliah. Berarti dengan sangat jelas bahwa kampus telah mengkhianati
konstitusi negara yang di dalam tertuang tujuan negara yakni mencerdaskan
kehidupan bangsa yang kemudian diperkuat dalam pasal 31 ayat 1-5 UUD 1945.
Maka dari itu kami
SPORA (Solidaritas Pemuda Rawamangun) menuntut :
1.
Cabut
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
2.
Berhenti
berhutang
3.
Usut
tuntas kasus korupsi di kampus sampai ke akarnya
4.
Laksanakan
pembangunan kampus yang berorientasi kepada mahasiswa
5.
Terapkan
pendidikan murah berkualitas sesuai amanat konstitusi
6.
Tolak
segala bentuk kapitalisasi dan komersialisasi pendidikan
7.
Membuka
kesempatan beasiswa tanpa adanya diskriminasi
8.
Tolak Sistem
Parkir Berbayar Yang Merugikan Mahasiswa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar