Rabu, 01 Agustus 2012

Mengais Rumput di Villa yang Megah




“Saya tinggal di gubuk yang dibangun atas rasa kasihan warga kepada saya,” kata Imah.
Matahari tepat di atas kepala. Dua orang perempuan tengah mencabuti rumput di sebuah villa. Dengan menggunakan arit kecil mereka memotongi gulma yang berada di pekarangan villa. Topi jerami segitiga menutupi kepala mereka. Keringat tak kunjung berhenti bercucuran dari dahi keduanya, meskipun telah berkali-kali dibasuh dengan kain.
Nama mereka adalah Imah dan Umi. Imah mengenakan baju berwarna cokelat muda panjang dengan kain berwarna hijau yang ia lilitkan ke bahunya. Perempuan berumur 70 tahun itu telah bekerja sebagai tukang kebun dari tahun 1984. Di tengah usianya yang telah senja dia hanya hidup sebatang kara.  “Dulu, saya sempat punya kios beras di pasar tetapi Cuma sebentar,” kata perempuan berbaju coklat muda panjang.  Di usianya yang telah senja ini Imah hidup sebatang kara. “Tetapi, ketika kebakaran melanda, kios dan suaminya ikut terbakar api,” katanya lirih.
Disampingnya umi Imah tidak sendiri, ia dibantu oleh perempuan lain yang terlihat lebih muda dari dirinya yang mengenakan baju putih yang sudah sangat kusam warnanya.
Setali tiga uang dengan Imah, Umi juga telah bekerja menjadi tukang kebun cukup lama. Dia jadi tukang kebun dari tahun 1990. Waktu itu villa belum banyak seperti sekarang,” tuturnya. Mirip dengan Imah, Umi pun seorang janda yang terpaksa menjalani pekerjaan sebagai tukang kebun. “Suami saya kerja sebagai TKI (Tenaga Kerja Indonesia)  di Arab tapi sudah 20 tahun lalu. Suami saya sampai sekarang tidak pernah pulang lagi. Sementara itu, anak saya satu-satunya bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta,” tutur Umi.
Mereka masing-masing dibayar Rp.10.000/hari. Jangankan untuk memiliki rumah yang layak. Uang Rp.10.000/hari sudah pasti tidak cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. “Cukup tidak cukup, duitnya untuk dipakai sehari-hari belanja walaupun masih kurang. Apalagi mau lebaran kayak gini, pasti barang-barang naik (harga sembako-red),den ,” keluh Umi.
Masalah papan pun masih sangat menjadi kendala bagi mereka. “Saya tinggal di gubuk yang dibangun atas rasa kasian warga kepada saya,” kata Imah. Hal senada pun dialami oleh Umi. Saya tinggal di atas tanah yang saya sendiri tidak tahu tanah siapa,” tuturnya kepada Didaktika, 29 Juli lalu. Oleh karena itu, keduanya  bekerja tidak hanya di satu villa. “Biasanya satu villa itu dibersihkan 2 kali dalam seminggu,” tutur Imah.
Imah dan Umi merupakan sebagian kecil penduduk yang berprofesi sebagai tukang kebun. Lokalitas Cilember dari yang dipenuhi villa mendorong maraknya profesi sebagai tukang kebun, sekalipun hasilnya tidak memadai.
Akhirnya, keadaan inilah yang banyak mengubah pola kerja masyarakat sekitar. Dengan banyaknya villa, banyak yang beralih profesi. “Dulu, sebelum jadi tukang kebun saya bekerja sebagai buruh tani di ladang,” kata imah. Penyebabnya simpel, dahulu masyarakat di sini kerja jadi petani. Setelah banyak villa tanah untuk bertani berkurang. Hasil pertanian jadi tidak maksimal. Akhirnya, penduduk menjual tanahnya untuk dibikin villa. Melihat 2 kejadian tersebut memang sangat ironis. Dimana mereka tinggal di daerah yang subur tetapi tidak bisa menikmati kekayaan daerahnya. Karena ekspansi orang kota yang membuat villa, lapangan pekerjaan juga berubah. Terlepas dari itu semua, mereka adalah cerminan rakyat Indonesia yang tetap bisa survive dalam menjalani kehidupan walaupun telah dimakan usia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar