Matahari tepat di atas kepala. Dua orang perempuan tengah mencabuti rumput di sebuah villa. Dengan menggunakan arit kecil mereka
memotongi gulma yang berada di pekarangan villa. Topi jerami segitiga menutupi
kepala mereka. Keringat tak kunjung berhenti bercucuran dari dahi keduanya, meskipun telah
berkali-kali dibasuh dengan kain.
Nama mereka adalah
Imah dan Umi. Imah mengenakan baju
berwarna cokelat muda panjang dengan kain berwarna hijau yang ia lilitkan ke
bahunya. Perempuan berumur 70 tahun itu telah bekerja sebagai tukang kebun
dari tahun 1984. Di tengah usianya
yang telah senja dia hanya hidup sebatang kara.
“Dulu, saya sempat punya kios beras di pasar tetapi Cuma sebentar,” kata perempuan berbaju
coklat muda panjang. Di usianya
yang telah senja ini Imah hidup sebatang kara. “Tetapi, ketika kebakaran
melanda, kios dan suaminya ikut terbakar api,” katanya lirih.
Disampingnya umi Imah tidak sendiri, ia dibantu
oleh perempuan lain yang terlihat lebih muda dari dirinya yang mengenakan baju
putih yang sudah sangat kusam warnanya.
Setali tiga uang
dengan Imah, Umi juga telah bekerja menjadi tukang kebun cukup lama. Dia jadi tukang kebun dari tahun
1990. “Waktu itu villa belum
banyak seperti sekarang,” tuturnya. Mirip
dengan Imah, Umi pun seorang janda yang terpaksa menjalani pekerjaan sebagai
tukang kebun. “Suami saya
kerja sebagai TKI (Tenaga Kerja Indonesia)
di Arab tapi sudah 20 tahun lalu. Suami
saya sampai sekarang tidak pernah pulang lagi. Sementara itu, anak saya
satu-satunya bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta,” tutur Umi.
Mereka masing-masing dibayar Rp.10.000/hari. Jangankan untuk
memiliki rumah yang layak. Uang Rp.10.000/hari sudah pasti tidak cukup untuk
memenuhi kehidupan sehari-hari. “Cukup tidak cukup, duitnya untuk dipakai
sehari-hari belanja walaupun masih kurang. Apalagi mau lebaran kayak gini,
pasti barang-barang naik (harga
sembako-red),den ,” keluh Umi.
Masalah papan pun masih sangat menjadi kendala
bagi mereka. “Saya tinggal di gubuk yang dibangun atas rasa kasian warga
kepada saya,” kata Imah. Hal senada
pun dialami oleh Umi. ”Saya
tinggal di atas tanah yang saya sendiri tidak tahu tanah siapa,” tuturnya kepada Didaktika, 29 Juli lalu. Oleh karena itu,
keduanya bekerja tidak hanya di satu
villa. “Biasanya satu villa itu
dibersihkan 2 kali dalam seminggu,” tutur Imah.
Imah dan Umi merupakan sebagian kecil penduduk
yang berprofesi sebagai tukang kebun. Lokalitas Cilember dari yang dipenuhi
villa mendorong maraknya profesi sebagai tukang kebun, sekalipun hasilnya tidak
memadai.
Akhirnya, keadaan inilah yang banyak mengubah pola
kerja masyarakat sekitar. Dengan banyaknya villa, banyak yang beralih profesi.
“Dulu, sebelum jadi tukang kebun saya bekerja sebagai buruh tani di ladang,”
kata imah. Penyebabnya simpel, dahulu masyarakat di sini kerja jadi petani.
Setelah banyak villa tanah untuk bertani berkurang. Hasil pertanian jadi tidak
maksimal. Akhirnya, penduduk menjual tanahnya untuk dibikin villa. Melihat
2 kejadian tersebut memang sangat ironis. Dimana mereka tinggal di daerah yang subur tetapi tidak bisa
menikmati kekayaan daerahnya. Karena
ekspansi orang kota yang membuat villa, lapangan pekerjaan juga berubah. Terlepas
dari itu semua, mereka adalah cerminan rakyat Indonesia yang tetap bisa survive dalam menjalani kehidupan
walaupun telah dimakan usia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar