Minggu, 05 Agustus 2012

Budaya Tanding : Ruang Ekonomi Baru



Berbeda itu unik dan menjual
                                                                                                    
Buku  The Rebel Sell ini sejak awal langsung menghentak dengan narasi kematian raja musik grunge Kurt Cobain. Sebagai pemusik beraliran grunge yang menjadi sisi lain terhadap hippies, kesuksesan tiba-tiba sekaligus aksi bunuh diri Cobain di puncak popularitasnya termasuk fenomena menarik. Banyak orang percaya Cobain depresi karena terus menerus dihantui tudingan dari dirinya sendiri sebagai pribadi yang menggadaikan idealisme musik grunge  yang seharusnya independen melawan jalur kapitalisme.

Tahu sepatu Vans, Doc Marten, Blundstone. Awalnya sepatu ini hadir sebagai perlawanan dari sepatu Nike. Perusahaan Nike bekerja dengan upah buruh murah. Oleh karena itu, untuk melawannya dimunculkan sepatu-sepatu tandingan tersebut. Pernah berbelanja di distro (distribution store). Awalnya distro ini sebagai perlawan atas merek sandang terkenal.

Hal-hal itulah yang disebut sebagai budaya tanding. Budaya tanding merupakan perlawanan terhadap budaya mainstream. Bagai dua kekuatan yang saling berlawanan tetapi tidak bisa dipisahkan, budaya tanding adalah antitesis bagi tesis budaya umum. Budaya mainstream mesti dilawan karena dianggap buruk, statis, menindas, dan perlu diperbaiki. Wujudnya macam-macam. Mengeluarkan produk baru, menciptakan musik berbeda, dan tawaran alternatif lainnya.   Bahkan kenyelenehan.

Namun, sebagai ideologi pembangkangan, budaya tanding justru menghasilkan membuka konsumerisme baru. Seperti kasus sepatu tadi. Sepatu-sepatu alternatif itu justru menjadi komoditas baru yang layak diperjualbelikan seperti Nike. Dengan harga yang tidak jauh pula. Kemunculan distro saat ini tidak ubahnya seperti toko bisa dengan berbagai barang. Bahkan harganya bisa lebih mahal dari toko pasaran biasa. Contoh lainnya ialah kemunculan Burger King sebagai tandingan McDonald yang telah menjamur. Tapi akhirnya Burger King menjadi tren baru dimasyarakat.

Budaya tanding memang banyak muncul untuk melawan kapitalisme. Uniknya pertemuan keduanya justru menghasilkan celah kapital baru. Yang tidak sekadar menjadi entitas ekonomi yang marjinal, tapi mampu meraksasa dan menjadi lokomotif habitus pemasaran baru.

Repotnya hasrat untuk melawan arus, untuk menjadi berbeda, termasuk mengeraskan hati untuk menjalani hidup alternatif yang unik bahkan cenderung sinting ini justru merupakan kekuatan utama pendorong kapitalisme dan konsumerime kontemporer. Penulis buku ini bahkan berhasil memeparkan bahwa ide bahwa pemberontakan gaya hidup individual yang diharpkan bisa mengguncang sistem, ternyata dalam tataran masif justru semakin memapankan masyarakat konsumen yang hendak ditentangnya. Dalam Hal ini, tak dapat dipungkiri budaya tanding turut mendukung sifat-sifat kapitalisme itu sendiri. Keberagaman, kreasi, inovasi itulah beberapa sifat kapitalisme. Jelas budaya tanding ini hanya menghasilkan heterogenitas produk dan jenis.

Kekeliruan lain ide budaya tanding yang ditunjukkan oleh buku ini, para pemberontak itu menuding bahwa konsumerisme melahirkan keseragaman. Padahal, kebalikannya, konsumerisme sebenarnya lebih didorong oleh hasrat untuk menjadi beda. Sehingga budaya tanding justru menegaskan kesadaran individu akan pentingnya berbeda. Dengan kata lain, gerakan antikonsumerisme pada akhirnya justru mendorong apa yang disebut sebagai konsumerisme (orang berlomba-lomba membeli sesuatu) untuk menjadi yang paling keren, paling beda. Karena, berbeda itu seksi, alias laku dijual.

Lebih parah lagi, ide-ide budaya tanding juga telah mempengaruhi politik progresif dan memelencengkannya dari cita-cita awal memperjuangkan keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat. Menariknya, pengusaha yang membaca buku ini akan semakin yakin bahwa untuk sukses pada jaman yang semakin mendatar ini harus berani menjalankan roda ekonomi dengan cara yang berbeda, radikal bahkan disebut radikal itu menjual.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar