Judul : Mohammad Hatta ( Hati Nurani Bangsa)
Penulis : Dr. Deliar Noor
Penerbit : Kompas, April 2012
Tebal : xviii + 182 halaman
Pemikiran, hati, ucapan dan tindakan harus
selaras
Siapa yang tidak mengenal Mohammad
Hatta ? Ia sangat dikenal sebagai Salah satu proklamator kemerdekaan Indonesia
bersama Soekarno. Terlahir dengan nama Mohammad Athar di Bukit Tinggi , 12 Agustus
1902. Hatta berasal dari keluarga saudagar besar dan taat beragama di Sumatera
Barat sehingga ia dapat mengeyam pendidikan hingga ke negeri Belanda. Sewaktu
bersekolah, Hatta tidak hanya pintar dan banyak membaca buku. Tetapi, ia juga
sangat aktif berorganisasi berawal dari Jong Sumatera Bond bersama H. Agus
Salim.
Terlebih saat ia berkuliah di
negeri Belanda, ia dapat membandingkan kehidupan rakyat Belanda yang jauh lebih
sejahtera dibanding negara jajahannya yang kaya akan sumber daya baik itu
manusia maupun alamnya. Di Belanda tak hanya sekedar belajar, Hatta juga
mendirikan perkumpulan mahasiswa Indonesia yang bernama Indische Vereeniging,
kemudian berganti nama Indonesische Vereeniging atau Perhimpunan Indonesia bersama Ahmad Subardjo dkk.
Pergaulannya bersama tokoh-tokoh pergerakan membuat ia sadar akan kehidupan
bangsanya yang susah ditanah yang subur.
Hatta sadar tuntutannya untuk
Indonesia merdeka tidak mudah jika hanya melalui bentrok fisik. Ia menulis
tentang apa yang terjadi dengan bangsa Indonesia untuk itu Hatta membuat surat
kabar Hindia poetra dan kemudian berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Bagi
Hatta menulis adalah suara yang dapat menyadarkan dibanding hanya berpidato
mengumpulkan massa. Inilah yang membuat ia sering berselisih dengan Soekarno.
Tak cukup sampai disitu, Hatta pun sering mengikuti kongres internasional di
Eropa menentang bentuk Imperialis dan disana ia bertemu dengan Jawaharal Nehru.
Saat kembali ke Indonesia, hatta
bergabung dengan Pni bersama Soekarno. Akan tetapi, lagi-lagi Hatta berbeda
pendapat dengan Soekarno. Soekarno dianggap tokoh yang mengedepankan emosional
dari pada pemikiran yang mmatang seperti Hatta. Kegemarannya dalam menulis
berlanjut hingga ia di buang ke Boven Digul, Papua hingga Banda Neira. Masa
menjelang kemerdekaan Indonesia, Hatta banyak menyumbang pikiran dalam sistem
kenegaraan Indonesia. Yang paling menonjol adalah sistem perekonomian
Indonesia. Hatta sangat memikirkan perekonomian rakyat Indonesia. Untuk itulah
ia membuat koperasi dan juga mengatur perekonoian nasional seperti cabang-cabang yang menyangkut hajat hidup
orang banyak diatur oleh negara dan digunakan sebaik-baiknya untuk kehidupan
rakyat.
Masa-masa revolusi, menjadi bulan
madu yang sangat mesra bagi Soekarno dan Hatta sehingga dijuluki dwi tunggal. 2
kepribadian yang sangat bertolak belakang bisa menyatu. Hingga akhirnya, ia
merasa Soekarno sudah menjadi diktator dan tidak demokratis, sang dwi tunggal
pecah kongsi. Hatta memilih mundur, baginya jabatan
adalah amanan bukan kekuasaan. Sampai terpilihnya Soeharto sebagai presiden
ia harap bisa jauh lebih baik dari Soekarno tetapi kenyataan berkata lain.
Kehidupan sang proklamator dikekang karena dianggap ada rencana makar terhadap
pemerintah saat itu. Semua kegiatan Hatta dibatasi mulai dari kegiatannya untuk
mengajar sebagai doesn tamu di Universitas Andalas dan beberapa univeritas
lain. Hingga ajal menjempuntnya, kehidupan Hatta dalam kondisi memprihatinkan
yang tidak mampu membayar listrik, air dan telpon.
Pelajaran dari Hatta
Hatta selalu berpenampilan
sederhana meskipun ia menjabat sebagai wakil presiden. Gagasan dan Hatta
tentang perekonomian rakyat Indonesia yang berorientasisi untuk memajukan
rakyat. Saat ini sangat jauh dari itu. Contohnya, pemerintah menjual tanah
untuk freeport demi keuntungan segilintir orang. Sebagai pemimpin sosok Hatta
yang sangat lengkap dan jarang di negeri ini. Hatta selalu memikirkan apa yang
hendak diputuskan secara cermat dan cepat. Dan pantang mencabut keputusan yang
ia telah buat. Melihat sosok kepemimpinan politik saat ini, banyak pemimpin
yang berkolaborasi dengan pengusaha untuk kemajuan usahanya sendiri tanpa
memikirkan bangsa Indonesia (Kompas, 11 Agustus 2012). Karena itu harus ada
revolusi berpikir untuk menata recruitment kepemimpinan politik kita, jika
Indonesia tidak mau jadi seperti tikus putih yang bergerak memutar-mutar
kandangnya tanpa beranjak kemana-mana.