Jumat, 24 Februari 2012

Mencari Nasionalisme dalam Industri Teknologi


Pada awal tahun 2012 publik Indonesia  dihebohkan dengan  oleh produksi mobil nasional yakni kiat esemka. Seluruh media massa baik cetak maupun elektronik menjadikan berita tersebut sebagai Headline pada setiap pemberitaannya. Banyak tanggapan dari masyarakat mulai dari yang optimis akan suksesnya produksi mobil nasional namun tidak jarang dari masyarakat yang pesimis akan kelangsungan produksi mobil nasional.

Rasa pesimis tersebut bukan tanpa alasan karena mobil ini hadir saat banyak slogan penggalakkan hemat energy dan ditambah isu pengurangan jatah BBM untuk mobil pribadi pada awal bulan April maupun isu kenaikkan harga BBM. Dilihat dari perjalannya memang cukup mengkhawatirkan.

“Kita merdeka sudah 66 tahun,masa membuat mobil saja tidak bisa. Ini saatnya Indonesia unjuk gigi dan kita harus mendukung penuh pembuatan mobil nasional” ujar Joko Widodo,Walikota Solo. Joko Widodo pula penggerak pertama pembelian mobil karya SMK dikalangan aparat pemerintahan. Langkah tersebut mengingatkan kita akan kurangnya pemimpin yang bangga dengan produksi dalam negeri yang salah satu indikator penilaian nasionalisme seseorang menurut Mahatma Gandhi.

Saat baru saja merdeka dimana Nasionalisme menggebu-gebu, pemerintah dengan gencar menyuarakan anti kolonialisme dan imperialisme. Langkah yang dilakukan pemerintah saat itu sangat berani dengan menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing yang ada di tanah Indonesia. Tindakan itu sangat jelas bahwa pemerintah ingin kekayaan alam yang ada di bumi Indonesia untuk kepentingan masyarakat.

Karena saat itu Indonesia sebagai negara yang baru merdeka memerlukan sarana infrastruktur pendukung untuk kelancaran akses ekonomi. PT.Caltex ingin “membantu” pemerintah dengan membuatkan jalan raya di Pulau Sumatera namun sebagai gantinya PT.Caltex diizinkan melakukan pengeboran minyak di Pulau Kalimantan. Namun,lagi-lagi usaha tersebut ditolak oleh Presiden Soekarno. Bukan hal aneh karena saat itu menerapkan sistem ekonomi yang disebut Berdikari (Berdiri di atas kaki sendiri)

Setelah krisis ekonomi menerpa Indonesia medio 1964-1965 yang mengakibatkan inflasi hampir 600% dan suasana politik yang mecekam saat itu akhirnya Presiden Soekarno lengser. Salah satu isi dari tuntutan mahasiswa yang dikenal dengan TRITURA adalah turunkan harga. Dijawab oleh pemerintahan baru di bawah naungan Soeharto yang berhasil menurunkan inflasi. Indonesia perlu infrastruktur untuk memajukan ekonomi tetapi Indonesia tidak dapat mendanainya sendiri. Dan akhirnya,dibuatlah penanaman modal asing yang pada era Soekarno dilarang.

Masuklah Pt.Freeport pada 1969 yang melakukan penambangan tembaga di tanah Papua. Indonesia menjadi pangsa besar investasi bagi pihak asing. Datanglah Jepang pada tahun 1973 yang ingin menanamkan modalnya Indonesia dan menjadikan Jepang investor terbesar di Indonesia. Hal tersebut di anggap mahasiswa bahwa Jepang ingin kembali menguasai Indonesia.Lalu PM jepang saat itu.Taanaka ingin ke Indonesia  dan mahasiswa menyambut dengan demo besar-besaran pada tagl 14-15 januari 1974 yang dikenal dengan peristiwa malari.

Mobil-mobil buatan Jepang di sweeping dan dibakar oleh mahasiswa. Lalu mahasiswa menuntut sikap Nasionalisme pemerintah dalam investasi otomotif Jepang pada saat itu. Dan jawaban dari pemerintah atas tuntutan mahasiswa adalah meluncurkan mobil dengan merk Kijang. “Sebenarnya saat itu pemerintah hanya menjual merk saja yang berbau Indonesia agar terlihat nasionalismenya” ungkap Ichsanuddin Noorsy,pengamat ekonomi.
Pada tahun 1980an ingin memproduksi mobil sendiri melalui anak sang Presiden yakni Tommy Soeharto dengan nama Timor nasional. Namun hal itu justru mendapat ancaman dari investor dan akhirnya  terhenti. Di periode tahun yang sama, Malaysia membuat langkah yang serupa dengan merk mobil Proton. Berbeda dengan Indonesia, pemerintah Malaysia mendukung hal tersebut dan memberikan kemudahan pembelian/kredit mobil tersebut bagi rakyatnya.
Hal yang sama dengan Malaysia tadi terjadi pula di Korea Selatan, dengan etos kerja yang tinggi dan semangat nasionalis dengan slogan saingi Jepang ! dan peran pemerintah Korea yakni membatasi  jumlah mobil yang masuk ke negaranya sebagai upaya menjadika mobil KIA sebagai tuan rumah di negeri sendiri.

Lalu bagai mana dengan nasib mobil kiat esemka Indonesia ? Negara yang mementingkan gengsi merk luar negeri dibanding kualitas ini masih harus mendapat banyak tantangan terutama pendanaan.  Sebagai contoh adalah gerbong kereta bekas dari Jepang oleh pemerintah padahal produksi kereta api PT.INKA diboyong oleh Iran dan Qatar “Lebih baik mobil esemka di kembangkan oleh pihak swasta dengan mengumpulkan konglomerat Indonesia seperti Ariefin Panigoro dll untuk mendukung produksi mobil Nasional” papar Ichsanuddin Noorsy.

Bukan tanpa alasan ini diberikan pihak swasta karenakalu pemerintah yang turun tangan bisa saja produksi mobil nasional di angkat sebagai janji kampanye,setelah terpilih bisa ditinggalkan. Peran pemerintah bisa lebih ditekankan pad contoh yang di Malaysia dan Korea tadi. Konsep Swadesi terlihat dapat memajukan taraf kehidupan negara terlebih sekarang ini produksi otomotif simbol kemajuan industri teknologi  sebuah bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar