Universitas telah menjadi magnet dan “supermarket” ilmu pengetahuan.
Ini terbukti dengan banyaknya siswa yang ingin melanjutkan studinya ke
universitas. Untuk menampung permintaan pasar pihak universitas membuka
kelas baru yang biasa disebut kelas non regular, walaupun untuk itu para
calon mahasiswa rela merogoh kocek cukup dalam untuk dapat berkuliah.
Akan tetapi, tidak semua siswa yang ingin melanjutkan studi ke
universitas berkeadaan ekonomi mampu. Dalam hal ini beasiswa menjadi
tumpuan sekaligus ekspektasi dari siswa yang kurang mampu untuk tetap
dapat kuliah tanpa mengeluarkan uang yang cukup besar.
Universitas Negeri Jakarta (UNJ) memulai sistem pembagian kelas
reguler dan non reguler pada tahun 2003. Pembagian ini juga menandai
dimulai diskriminasi pemberian beasiswa untuk kelas reguler dan non
reguler. Mahasiswa reguler adalah mereka yang lolos PMDK (sekarang
SNMPTN Undangan) dan SNMPTN tertulis, sedangkan mahasiswa non reguler
adalah yang lolos UMB tahun 2011 dan PENMABA.
Komposisi tersebut menguntungkan mahasiswa reguler karena mereka di
prioritaskan untuk menerima beasiswa dari jalur apapun. Perihal
mahasiswa regular yang mendapat prioritas utama untuk mendapat beasiswa
mendapat dukungan dari beberapa mahasiswa. “Wajarlah kalau mahasiswa
reguler lebih mendapatkan prioritas utama dalam hal penerimaan beasiswa.
Karena, untuk menjadi mahasiswa reguler tuh gak gampang dan harus
melalui seleksi ketat pada saat SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan
Tinggi Negeri) Undangan ataupun SNMPTN tertulis” ungkap Veni Mahasiswa
Pendidikan Geografi 2011. Sementara, stigma mahasiswa non reguler itu
berasal dari keluarga mampu sangat kuat, sehingga menjadi pewajaran
untuk tidak mendapatkan beasiswa.
Perihal pembedaan prioritas penerimaan beasiswa ini pun diamini oleh
Nariah, Sekretaris Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP). “Sebelum tahun
2010 mahasiswa non reguler di FIP tidak boleh mengajukan beasiswa, akan
tetapi dengan berbagai pertimbagan akhirnya mahasiswa non reguler boleh
mengajukan beasiswa dengan melampirkan SKTM (Surat Keterangan Tidak
Mampu),” ujarnya. Keluhan dari mahasiswa non reguler atas mahalnya biaya
kuliah menjadi pertimbangan FIP memperbolehkan mereka mengajukan
beasiswa. “Biaya kuliah mahal, gue ngarepin beasiswa tapi gue
kan non reg nggak akan di prioritasin untuk dapet besiswa,
padahal orang tua gue cuma pedagang buah di pasar” keluh adisty
mahasiswa PGSD 2010. Meski dalam proses pengajuan mahasiswa non reguler
masih harus bersaing melalui perhitungan Indeks Prestasi (IP), namun
FIP telah membuka akses yang dibutuhkan mahasiswa non reguler.
Diskriminasi beasiswa juga terjadi di Fakultas Bahasa dan Seni (FBS).
“Beasiswa di Jurusan Bahasa Sastra Indonesia (JBSI) masih sangat
kentara diskriminasinya. Khusus non reguler hanya dapat kesempatan
mengajukan beasiswa dari pamflet-pamflet beasiswa di mading aja yaitu
PPA dan BBM, itu pun sangat sedikit mahasiswa non reguler yang dapat
menerimanya atau bahkan hampir gak ada,” papar Ucu mahasiswa jurusan
JBSI 2010.
Di UNJ setidaknya mahasiswa dapat mengakses 17 jenis beasiswa di
luar Bidik Misi (Beasiswa Pendidikan Miskin Berprestasi), diantaranya: PPA,
BBM, Jepang, PKPS-BBM, TPSD, The
Tempo Group, POM UNJ, Supersemar, Summitmas,
Toyota Astra, yayasan Salim, Gudang Garam,
Indofood, BMU, Bank Indonesia, Dikmenti dan
Beasiswa Jakarta. Kondisi ini sebenarnya memberi peluang bagi
mahasiswa non reguler untuk mendapat beasiswa.
Lagipula, stigma yang dituju kepada mahasiswa non reguler berasal
dari keluarga yang mampu tidak sepenuhnya terbukti. Sebagai contoh, Aji
mahasiswa non reguler jurusan pendidkan sejarah 2011, harus menunda
kuliahnya selama 3 tahun karena faktor ekonomi keluarganya yang kurang
mampu,untuk ke kampuspun ia hanya membawa uang untuk ongkos saja. “Saya
bekerja tiga tahun sebagai pegawai tata usaha di sebuah sekolah untuk
mengumpulkan uang kuliah, karena biaya kuliah mahal,” ujar Aji.
Sedikit berbeda dengan FIP dan FBS, Fakultas Ilmu Sosial (FIS)
mencanangkan pemerataan beasiswa kepada seluruh mahasiswanya mulai tahun
ajaran 2011/2012. Hal ini dinyatakan langsung oleh Dekan FIS Komarudin
di saat pembukaan Masa Pengenalan Akademik (MPA) FIS, beberapa bulan
yang lalu “Tahun ini peluang reguler dan non reguler untuk menerima
beasiswa sama,” tegasnya. Alasan Komarudin menyampaikan pernyataan
tersebut berdasar pada kesadaran bahwa mahasiswa non reguler tidak
selalu berasal dari keluarga mampu. Amanah Pembukaan UUD 1945 untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa juga manambah keyakinannya menentukan
sikap. Kontan, pernyataan ini membuat ekspektasi mahasiswa non reguler
untuk menerima beasiswa meningkat.
Pernyataan Dekan FIS tadi diperkuat kembali oleh Sarkadi Pembantu
Dekan III FIS. Sarkadi menjelaskan, “tidak akan ada diskriminasi
reguler dan non reguler dalam menerima beasiswa hal pertama yang sangat
di prioritaskan untuk mendapatkan beasiswa adalah penghasilan orang tua
mahasiswa. Sebagai contoh mahasiswa reguler dengan IP 3,5 sedangkan non
reguler 3,25 tetapi penghasilan orang tua mahasiswa non reguler lebih
rendah dari mahasiswa reguler. Maka yang berhak menerima beasiswa adalah
mahasiswa non reguler tadi.”
Menambah kuat pernyataan Komarudin dan Sarkadi, Lina Kasubag TU FIS
menambahkan bahwa mulai Januari nanti, peluang mendapatkan beasiswa bagi
mahasiswa FIS terbuka lebar. Komposisinya mencapai 50:50.
Penyeleksiannya pun akan dilakukan dengan sangat selektif, agar tepat
sasaran. Pemohon minimal berstatus mahasiswa semester III, dengan Indeks
Prestasi Komulatif (IPK) minimal 3,00 serta berasal dari keluarga yang
tidak mampu. Di dalam formulir tersebut tidak akan ada pernyataan
berasal dari kelas reguler atau non reguler.
Seharusnya pihak Universitas mengeluarkan keputusan kepada seluruh
Fakultas untuk tidak membedakan reguler dan non reguler dalam hal
menerima beasiswa. Karena secara konstitusional dipaparkan bahwa,
seluruh warga negara berhak mendapat pendidikan yang layak tanpa ada
diskriminasi apapun. Pendidikan bertujuan mencerdaskan kehidupan
bangsa,agar rakyat Indonesia pintar,tak mudah dibodohi dan ditipu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar