Akhir-akhir
ini, demonstrasi yang dilakukan oleh buruh marak terjadi. Kadar massifnya
demonstrasi buruh terjadi medio Mei dan Desember. Tentu kita tahu bahwa pada
Mei buruh merayakan hari buruh Internasional. Sedangkan, di Akhir tahun seperti
November dan Desember buruh melakukan demonstrasi menuntut pemerintah untuk
menaikkan Upah Minimum.
Sebenarnya,
tak masalah buruh melakukan aksi demonstrasi menuntut haknya. Tetapi, yang
berkembang di media bukan hanya aksi buruh menuntut upah. Media juga menggiring
opini masyrakat bahwa upah yang dituntut buruh sangat besar. Hal ini dibuktikan
dengan disorotnya buruh yang sedang melakukan aksi dengan membawa motor besar.
Tak hanya itu,
media juga membandingkan buruh yang mayoritas lulusan Sekolah Menengah Atas
(SMA) dengan lulusan Strata satu (S-1). Akhirnya, gerakan buruh yang bertujuan
untuk memperbaiki taraf hidupnya mesti berhadapan bukan hanya dengan pemilik
modal, tetapi juga golongan rakyat lain.
Padahal, menurut Karl Marx ada nilai lebih
yang dihasilkan oleh buruh tetapi hasilnya dinikmati oleh pemilik modal
(kapitalis). Seperti kita ketahui, sebuah komoditas selalu bermula dari proses
yang melibatkan dua hal yakni alat produksi dan tenaga kerja. Komoditas selalu
dibeli pada nilai tukar mereka, tak kurang dan tak lebih, maka keuntungan
berasal dari proses produksi itu sendiri. Keuntungan mestinya diuntungan dari
dua variabel. Di sinilah keniscayaan eksploitasi kapitalisme terjadi. Kaum
buruh diwajibkan untuk bekerja lebih lama daripada rata-rata nilai tukar yang
sesungguhnya dalam kerja mereka.
Contohnya,
seorang teman yang bekerja di pabrik makanan cap Orang Tua mengaku bahwa jam kerja tambahan atau lembur, tak masuk
hitungan dalam gaji. Buruh di pabrik ini mesti bekerja selama 10 jam sehari
dengan upah yang dibayarkan hanya delapan jam kerja. Ini yang memungkinkan
kapitalis untuk menjual komoditasnya dengan nilai tukar yang di dalamnya
mengandung nilai kerja lebih daripada yang seharusnya dibayarkan untuk gaji,
Marx menyebutnya dengan nilai lebih.
Kemudian,
untuk mengeruk keuntungan sebanyak mungkin, kaum kapitalis harus menemukan
alat-alat untuk menaikan tingkat untuk memproduksi nilai lebih. Peningkatan
angka nilai lebih hanya didapat melalui reorganisasi proses produksi dan
pengenalan mesin serta teknologi baru dalam proses produksi.
Pertambahan
angka nilai lebih ini tentu saja akan menghasilkan peningkatan kualitas nilai
lebih, sebab hanya sedikit buruh yang dibutuhkan. Buruh bisa saja dipecat kapan
pun, sehingga lebih sedikit yang diberikan, pabrik memproduksi barang-barang
dalam waktu yang kian sedikit dan menjual barang-barang tersebut dengan
kompetitif. Semakin banyak orang yang membeli baramg-barang tersebut. Kaum
buruh kian tersingkir.
Hal-hal
semacam ini yang media tidak pernah beritakan kepada masyarakat. Alhasil, yang
terjadi buruh digambarkan hanya sekelompok orang yang tak tahu diri dengan pendidikan
rendah, pekerja kasar tetapi menuntut upah tinggi.
***
Aksi-aksi
yang dilakukan oleh Buruh saat ini hampir pasti berkaitan dengan tuntutan
menaikkan upah. Kemudian, jika upah dinaikkan apa masalah yang dialami akan
selesai? Jawabnya sudah pasti tidak. Sebab, dinaikkannya upah minimum daerah
setiap tahun tak menyelesaikan permasalahan kesejahteraan nasib buruh. Agak ironis memang jika gerakan buruh
hari ini hanya berdasarkan pada hal ekonomi.
Sejarah
gerakan buruh sudah sangat panjang. Namun, baru pada abad 19 timbul gerakan
kaum buruh yang sudah melarat hidupnya di bawah penindasan. Pada 1847 karl Marx
mengeluarkan sebuah manifes yang dinamai Manifesto Komunis. Isinya
menggembirakan hati buruh kala itu. Sebab, ia memberika harapan bagi kaum buruh
bahwa mereka tidak akan selamanya melarat.
Akan
tiba suatu waktu buruh akan hidup sempurna dalam suatu masyarakat baru. Marx
menggambarkan suatu alur yang besar bagi buruh. Buruh menjalankan kelas dengan
kaum majikan, sampai memperoleh kemenangan akhir yakni terciptanya masyarakat
baru dengan buruh sebagai pemimpinnya.
Tetapi
masalahnya, setelah revolusi Bolshevik pada 1917, pergerakan kaum buruh menjadi
melunak. Meski pun di negara Barat yang tingkat intelektualitas dan kesadaran
buruhnya cukup tinggi. Apa sebabnya pergerakan buruh menjadi lunak? Kaum buruh
terpecah menjadi empat golongan. Pertama,mereka yang masih bekerja. Kedua,
mereka yang menganggur dan mendapat tunjangan sederhana untuk hidup. Ketiga,
mereka yang uang tunjangannya tidak cukup untuk hidup. Keempat, buruh yang
menganngur sama sekali dan tidak mendapat tunjangan.
Kaum
pertama takut berjuang hebat, karena kalau mereka mengambil sikap radikal,
mereka akan diganti oleh golongan kedua. Hal itu seterusnya terjadi sampai
golongan keempat. Oleh sebab itu, golongan keempat yang berdarah panas,
berpikiran radikal bukan karena kesadaran tapi karena putus harapan, sampai
gelap mata.
Ucapan mereka
tidak lain, melainkan supaya timbul revolusi secepatnya. Timbulnyarevolusi bagi
mereka berharap akan mendapat nasib yang lebih baik. Sebab itu sikap mereka
paling revolusioner, cita-cita mereka tak lain hendak meruntuhkan masyarakat
yang ada. Oleh sebab itu, mereka tak terikat kepada paham atau asas politik.
Situasi ini pun terjadi di Indonesia. Oleh sebab itu, harus ada evaluasi
kembali gerakan buruh di Indonesia. Sebab, dalam sejarah gerakan buruh di dunia
atau Indonesia, gerakan buruh sangat politis. Meski pun, didasari hal ekonomi.
Kalau buruh belum
bisa memimpin masyarakat suatu negara, itu bukan suatu tanda bahwa apa yang diucapkan oleh Marx hanya omong
kosong atau utopia. Tetapi, menyatakan bahwa ha l itu suatu cita-cita paling
tinggi yang hanya bisa didapat jika buruh mendapatkan pendidikan serta
kesadaran dalam dirinya.
Virdika Rizky
Utama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar