Judul Buku : Melawan Liberalisme Pendidikan Penulis : Darmaningtyas, Edi Subkhan dan Fahmi Panimbang Penerbit : Intrans Malang Tahun Terbit : Cetakan Pertama, April 2014 Tebal : xxvi + 342 Halaman |
Apa guna pendidikan jika terlepas dari masalah kehidupan – WS Rendra
Beberapa hari
terakhir, media cetak atau pun elektronik banyak mengiklankan perguruan tinggi
membuka pendaftaran mahasiswa baru. Banyak yang ditawarkan oleh perguruan
tinggi tersebut mulai dari sarana prasarana yang memadai, lulus cepat, jaminan
mendapat pekerjaan, program dual degree
hingga label World Class University.
Yang paling mencengangkan adalah kurikulum yang digunakan selama perkuliahan
merupakan adopsi kurikulum dari universitas luar negeri seperti Cambridge University, Queensland University dan
Rotterdam Business School.
Menurut
penulis, fenomena ini terjadi setelah reformasi 1998. Indonesia yang kala itu
mengalami krisis politik dan ekonomi memutuskan untuk mengikuti konsensus yang
ditawarkan oleh International Monetary Fund (IMF) untuk meliberalkan sektor
jasa, termasuk jasa pendidikan. Konsensus tersebut dibuat dengan Worlds Trade
Organization (WTO). WTO membagi liberalisasi perdagangan dunia menjadi dua
kategori yakni General Agreement on
Tariff and Trade (GATT) yakni Kesepakatan umum tentang tarif dan
perdagangan dan General Agreement on
Trade in Services (GATS) yakni kesepakatan umum perdagangan sektor jasa.
Melalui GATS semua transaksi pendidikan dapat diperjual belikan dalam pasar
global (hlm.33). Lingkup usaha bidang pendidikan menurut WTO mencakup :
pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, pendididkan dewasa
dan pendidikan lainnya (hlm.35).
Dengan
diliberalkannya sektor pendidikan satu per satu perguruan tinggi asing maupun
sekolah asing dapat masuk di Indonesia. Untuk meningkatkan daya saing
pendidikan di dalam negeri, pemerintah membuat peraturan. Peraturan yang
pertama adalah PP No.61 Tahun 1999 tentang penetapan perguruan tinggi negeri
sebagai badan hukum. Perguruan tinggi tersebut adalah UI, UGM, IPB dan ITB.
Badan hukum yang dimaksud bukanlah otonomi dalam hal akademik. Akan tetapi,
yang dilakukan adalah otonomi dalam hal pencarian dana untuk mengelola kampus.
Sontak, perubahan status tersebut menimbulkan goncangan di masyarakat. Karena,
PTN-PTN tersebut semula dapat diakses oleh kelompok manapun, tiba-tiba menjadi
eksklusif dan hanya dapat diakses oleh masyarakat kelas atas saja. Ini
merupakan era baru perguruan tinggi negeri menjadi komoditas yang diperdagangkan.
Negara seolah-olah lepas tangan dan menyerahkan masalahnya kepada mekanisme
pasar. Ini merupakan pengkhianatan pada konstitusi pasal 31.
Untuk menarik
lebih banyak peminat, perguruan tinggi negeri juga menawarkan program dual degree. Dual degree merupakan praktek lain dari liberalisasi pendidikan
(hlm.96). Bagi masyarakat awam, dual
degree diasosiasikan bentuk pengakuan mutu dalam negeri, setara dengan mutu
pendidikan luar negeri. Mereka tidak tahu bahwa itu merupakan bagian dari
bisnis jasa pendidikan. Bagi mereka yang terbiasa berpikir tentang substansi
penjualan program dual degree mengesankan perguruan tinggi negeri semakin
tidak percaya diri pada kemampuan yang dimiliki (hlm.98).
Hal yang sama
dilakukan pada sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Berdasarkan hasil The Trends in Internattional Mathematics and
Science Study (TIMSS) peringkat pendidikan Indonesia selalu menempati
posisi terendah. Ironisnya, hasil
tes tersebut dijadikan rujukan untuk mengukur kualitas pendidikan nasional.
Bahkan, penyusunan kurikulum 2013 menyesuaikan hasil TIMSS. Menjadikan hasil
tes seperti TIMSS untuk mengukur pendidikan nasional bahkan mengubah kurikulum
nasional menunjukkan bahwa kita terjebak oleh lembaga standardisasi pendidikan
Internasional. Karena, negara dengan peringkat pendidikan rendah akan
mendapatkan dana hutang dari IMF untuk membenahi kualitas pendidikan.
Dengan kurikulum merujuk pada negara
maju yang mengutamakan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Sesungguhnya,
pemerintah mengalami sesat pemikiran. Karena, kita tidak bisa mencontek
Finlandia sebagai negara dengan posisi pertama di bidang pendidikan. Pendidikan
harus kontekstual dengan permasalahan masyarakat yang ada. Kondisi Finlandia
dan Indonesia sangat berbeda baik masalah geografis, ekonomi, sosial mau pun
budaya. Sebab pada hakekatnya pendidikan berguna untuk mengatasi permasalahan
kehidupan.
Hal yang paling
tidak memanusiakan dalam bidang pendidikan adalah diterapkannya International Standard Organization (ISO).
Dalam dunia bisnis terdapat keinginan dari konsumen pasar global untuk
mendapatkan produk dan pelayanan yang memuaskan bagi konsumen. Berdasarkan
tuntutan tersebut dibuatlah standar produksi sampai dengan pelayanan dan
manajemen mutu. Yang dipakai dalam dunia pendidikan adalah ISO 9001:2000.
Mendefinisikan mutu dalam nalar industri yakni kepuasan pelanggan. Ironisnya
adalah logika industri itu diadopsi begitu saja dalam sistem pendidikan
nasional dan dijadikan sebagai salah satu kriteria mengukur kemajuan suatu
sekolah (hlm.135).
Dalam buku
yang dibagi dalam 6 bab ini kita dapat melihat kesamaan pola penerapan
kapitalisasi dan liberalisasi di perguruan tinggi dan sekolah. Dengan memakai
bahasa inggris sebagai pengantar dan kurikulum sesuai yang dicontek dari negara
maju membuat tesis bahwa pendidikan di Indonesia hanya dipersiapkan untuk
menjadi pekerja dalam era globalisasi semakin nyata. Buku ini menjadi wajib
dibaca untuk siapa saja terutama bagi mereka yang menggeluti dunia pendidikan.
Karena, buku ini menjelaskan secara komprehensif kebijakan pendidikan dari
reformasi hingga saat ini. Untuk itu, setiap kebijakan pendidikan yang
mengkhianati konstitusi dan tidak berpihak kepada rakyat miskin harus dilawan.