Judul Buku : Tangan dan Kaki Terikat Penulis : John Ingleson Penerbit : Komunitas Bambu Tahun Terbit : 2004 |
Jika dibanding
dengan Negara lain seperti Cina dan India, perkembangan kajian sejarah kita
belum mendalam, apalagi kita mengkaji sebuah sejarah perkotaan yang juga tidak
memadai. Pada masa penjajahan, kebanyakan masyarakat bekerja sebagai birokrat
dalam pemerintahan Belanda, sebagiannya menjadi dokter, pengacara, insinyur
maupun guru. Dari situlah lahir para tokoh-tokoh nasionalis.
Dalam buku ini kita memfokuskan
tentang masa pekerja buruh pada tahun 1910-an dan 1920-an dimana terdapat tiga
pelabuhan di pulau Jawa yaitu Jakarta, Semarang dan Surabaya sebagai pusat
pekerja buruh. Mereka bekerja pada kapal-kapal asing milik Cina dan Eropa
dengan upah yang telah ditentukan oleh majikan mereka. Berbagai rintangan yang
dihadapi oleh buruh dalam system penggajian, kesehatan, dan lingkungan yang
kurang sehat sehingga mendorong para buruh merasa di eksploitasi dan sering
terjadi pemogokan-pemogokam kerja. Pada bulan November 1918 terjadi mogok yang
cukup besar di semarang dikarenakan masalah upah yang tidak sesuai dengan
tuntutan buruh dan terjadi PHK yang cukup banyak, sekitar 2000 pekerja. Tahun
1912 lahirlah Sarekat Islam yang tidak ada hubungannya dengan aksi mogok buruh.
Beberapa lama kemudian tepatnya 1 tahun, partai ini mulai membentuk sarekat
buruh di pelabuhan Semarang. Ketika PKI di bentuk pada taun 1921, mereka
berhasil merekrut para buruh di Semarang yang sebelumnya Sarekat Islam. Pada
tahun yang sama terjadi pemogokan kerja di Surabaya atas dasar masalah upah.
Tahun 1925 terjadi lagi aksi mogok kerja di Semarang. Aksi mogok kerja yang
dilakukan para buruh pada bulan Agustus 1925, memcerminkan rasa ketidakpuasaan
para buruh upah yang mereka terima.
Jadi segala bentuk aksi mogok yang
dilakukan oleh buruh di Surabaya dan Semarang tak lain karena faktor ekonomi.
Serikat-serikat buruh berada pada posisi yang sangat lemah, dimana mereka
digaji bukan langsung dari majikannya tetapi melalui mandornya. Kelompok yang
berada diantara majikan dan buruh yang jumlahnya lebih banyak. Para ketua
serikat buruh pun mengakui hal ini.
Bukan saja terjadi pemogokan oleh
buruh pelabuhan, para buruh kereta api pun juga melakukan aksi pemogokan pada
tahun 1923.aksi mogok ini dalah aksi mogok terbesar dalam masa kolonial.
Pemogokan ini atas bentuk ketidakpuasan para buruh karena diabaikan oleh
perusahan-perusahan maupun pemerintah selama bertahun-tahun. Pemogokan yang
dilakukan bukan karena main-main semata dimana ada VSTP di dalamnya dan saling
mendukung terhadap kaum buruh. Semaun merupakan pelopor kaum buruh dan juga
sebagai ketua VSTP telah di asingkan keluar tanah air. Setelah ketua mereka tiada,
VSTP pun hampir lenyap. Meskipun VSTP mulai berkembang pada tahun 1924 -1925
tetapi mereka tak sehebat dahulu yang bersama – sama denagan sarekat buruh di
bawah pimpinan komunis. Seiring dengan hancurnya komunis pada tahun 1926 maka
VSTP juga dilarang. Disitulah letak kegagalan kaum buruh dalam masa kolonial.
Hal inilah mendorong banyak perubahan yang terjadi dalam masa akan datang.
Setelah
masa pemogokan berakhir masuklah pada masa depresi pada tahun 1930-an. Dimana
saudara-saudara kita diambang kesullitan, banyak dari mereka telah pulang ke
kampung tempat asal mereka, pemotongan gaji, kenaikan pangkat yang lambat
membuat mereka depresi. Angka pengangguran pun sangat banyak dan bertambah.
Jautuhnya industri gula dan pasar hasil bumi ekspor membuat perusahan industri
gula dan logam memPHK banyak pekerjanya. Begitu juga yang dilakukan oleh
perusahan kereta api, tsunami PHK juga melanda banyak perusahan pada saat
itu.bukan hanya perusahan swasta, perusahan pemerintah juga mengalami depresi
karena kurangnya pemasokan. Banyak orang-orang terdidik Indonesia juga
kesulitan mencari pekerjaan. Mereka terpaksa mnecarri pekerjaan yang status dan
gaji yang sangat rendah. Proses ini terjadi selama beberapa dasawarsa hingga
perang dunia 1 terjadi. Para pekerja Indonesia digaji lebih murah dibanding
dengan pekerja dari Eropa maupun Indo-Eropa (cina). Angka survei mengatakan
angka pengangguran cukup banyak. Namun kebanyakan dari mereka juga sebagai pekerja
buruh di dermaga-dermaga dan buruh pabrik. Semua pengngguran pada prateknya
tergantung pada sumber-sumber dari keluarga-keluarga mereka, yang sedapat
mungkin membantu dalam bertani. Yang lain terperangkap dalam kemalasan.
Pemerintah
kolonial merespon pengangguran di Indonesia baik dalam kota maupun luar jawa
kemudian membuka tanah dan melakukan tranmigrasi. Pada tahun 1930, pemerintah
membentuk Komite Pndukung Sentral di Batavia (jakarta), di bawah kontrol kantor
tenaga kerja. Dua tahun keudian muncul 36 komite pendukung pengangguran lokal
terutama di Jawa. Organisasi kemanusian di koloni juga memperhatikan nasib dan
keaadan pra pengangguran Indonesia di perkotaan. Mereka terdiri dari Bala
keselamatan, Gereja Katolik, Masyrakat Belanda untuk Kaum Muda (AMVJ). Mereka
mendirikan asrama-asrama untuk kaum pengangguran Indonesia di Batavia
(jakarta), Bandung, Surabaya, Malang, dan Medan. Komoite-komite Pendukung
Pengangguran di dominsai oleh orang-orang Eropa. Namun mereka juga sempat
kecewa atas kurangnya dukungan oleh masyrakat indonesia sendiri dengan finansialnya. Tak kalah saing, munculah
koperasi-koperasi di kampung dalam menciptakan lapangan kerja, dengan adanya
Muhammaddiyah dan perserikatan buruh maka organnisasi-organisasi sukarela
berkembang pesat pada saat itu. Contohnya seperti organisasi Peserikatan
Pekerja Pengadaian Hindia (PPPH) merupakan organsasi buruh terbesar pada saat
itu (1930). Serikat-serikat buruh pada saat itu di kota-kota besar seperti
Batavia, bandung, semarang, dan surabaya dapat dikatakan organisasi yang cukup
kuat dan modern. Seriktat buruh pada saat itu menjadi pegangan yang kuat
mereka. Dengan demikian sudah ada peluang jaminan sosial bagi mereka. Serikat
buruh tak dapat bertahan pada masa setelah tahun 1925, sedangkan serikat buruh
yang dianggap dapat bertahan adalah mereka yang berada di antara kekuasaan
pemerintahan dan swasta seperti kereta api. Mereka itu merupakan orang yang
mempunyai ketrampilan dan pendidikan yang baik sehingga bayaran yang lebih
tinggi dan dapat membiayai kesehatan dan pensiun. Sedangkan para buruh yang
ketrampilannya kurang dipekerjakan sebagai buruh lepas dengan gaji harian.
Kesulitan buruh lepas adalah banyak dari mereka yang buta huruf dan tak dapat
membayar sumbangan keanggotaan. Sebagaiaan juga menyatakan bahwa daya tarik
serikat buruh dengan dasar ketetapan jaminan sosial dan kesejahtraan, kurang
menarik masyarakat yang mempertahankan hubungan yang kuat dengan dunia
pedesaan. Selama msa depresi banyak sekali buruh yang berhenti dan pulang ke desa
asal masing-masing.
Serikat
buruh dan partai politik pada saat itu di pulau jawa berada di tangan
pekerja-pekrja yang terampil. Pada abad ke-20 funsi ekonomi di jawa mengalami
perubahan dari tahun-tahun sebelumnya. Fungsi ekonomi yang dimaksud adalah
memproduksi hasil bumi dan perdagangan seperti teh, kopi, dan gula, untuk
dijual di pasar-pasar internasional contohnya pada tahun 1915 hanya sekitar 1823 pabrik milik buruh. Para
buruh pabrik dan bengkel adalah golongan minoritas dari pekrjaan perkotaan,
dengan proporsi yang relatif tinggi dari mereka adalah pekerja yang terlatih.
Perbedaan pekerja yang terlatih dan tidak terlatih tentu saja bersifat
arbitrasi. Pabrik-pabrik dan rumah produksi biasanya membagi para pekerja
pribumi sebagai mandor, pekerja tangan yang ahli, pesonalia administrasi dan
buruh. Pada saat itu ekonomi kolonial terpisah dari masa-masa depresi sehingga
membuat para buru sulit bekerja dan di tempatkan lagi. Namun parah buruh dengan
mudah mendapatkan pekerjaan pada kelompok di kampung-kampung dan hanya bayaran
yang sangat murah. Seringkali dengan bayaran satu hari dan biasanyatanpa
jaminan pekerjaan dan tunjangan tambahan. Didalam masyrakat, rumah tangga
adalah unit perekonomian terkecil. Sudah merupakan hal yang biasa seorang
laki-laki untuk menjadi seorang pekerja pabrik yang terampil, atau seorang
pegawai pemerintahan, sedangkan sang istri menjual kue-kue, mengambil cuciaan
atau menjadi seorang pembantu rumah tangga dengan upah harian atau bekerja di
sektor formal. Dengan demikian masa depresi sangat mengakhawatirkan pekerja
buruh pada saat itu. Keprihatinan membuat kaum buruh sangat tergantung pada
mandor dan majikan.
Perekonomian
kolonial benar-benar kekurang pasar tenaga kerjayang sangat bebas, karena
perusahan-perusahan pribadi dan industri negara mempekerjakan secara tidak langsung seabgian besar buruh mereka. Mereka
mempekerjakan buruh dari basis reguler desa-desa asal mereka sendiri atau keompok
etnis mereka sendiri. Kenyataan itu membuat kesadaran pemerintah kolonial untuk
mendirikan sekolah-sekolah dagang. Sebagai bagian dari pembangunan pendidikan
umum dibawah politik etika. Sekolah-sekolah dagang tersebut kesulitan dalam
meanrik para siswa, walaupun sekolah dagang tersebut menawarkan pekerjaan yang
benar-benar terjamin bagi lulusannya. Hanya sedikit dari lulusan sekolah rakyat
rendah yang mengingingkan pekerjaan kerajinan tangan. Nilai-nilai mereka
merendahkan pekerjaan kerajinan tangan. Dalam masyrakat kolonial, nilai-nilai
tersebut semakin diperkuat oleh sikap para penyelia berkembangsaan eropa
terhadap para pekerja kerajinan tangan berkebangsaan Indonesia, bagaimanapun
terampilnya pekerjaan tersebut.
Para
pekerja yang terampil sangat peduli terhadap stastus mereka di tempat kerja,
dan dengan cepat membedakan dirinya dari para kuli lainnya. Usaha yang
dilakukuan para pemimpin perserikatan buruh untuk meruntuhkan rasa hirarki dan
status ini gagal. Butuh waktu bagi para pemilik tenaga kerja untuk menyadari
pembagian fundamental diantara para pekerja Indonesia ini. Tetapi sekali mereka
melakukannya maka mereka mengeksploitasinya dengan baik. Ketika peningkatan
upah di dorong oleh aksi pemogokan kerja hampir selalu di ketuai oleh pekerja
yang terampil. Para pemilik tenaga kerja menyuap pekerja yang terampil yang
licik, dengan memberikan kenaikan gaji yang lebih tinggi dan menarik, dari pada
menyerahkannya pada pekerja yang tidak terampil. Ini bukan satu-satunya alasan
mengapa perserikatan buruh kehilangan pemimpin-pemimpin pribumi terutama mereka
yang ahli yang bergabung dengan respon kuat terhadap pemerintahan kolonial.
Dalam mendefenisikan dan mengalisa
masalah utama tenaga kerja di perkotaan kolonial di jawa, dapat di buat
generalisasi tentang pemisahan yang lebar antara kaum proletar sengan buruh semiproletar.
Kaum proletar adalah mereka yang dipekerjakan di sektor modern perekonomian,
dan bergantung sebagai buruh upahan untuk pendapatan mereka. Mereka terbebas
dari adari ikatan apapun dengan lahan di desanya, dan tidak terikat dalam
migrasi sirkuler. Mereka sendiri merupakan penduduk tetap di kampung perkotaan.
Perlawanan kaum buruh ternyata hanya
merupakan dinamika yang nihil. Tidak ada kemenangan di tangan kaum pekerja
buruh, kapaitalisme menguasai segala bentuk penindasan terhadp pribumi. Terlihat
betapa sulitnya untuk melakukan pemogokan kerja dan pemberontakan terhadap kaum
kapitalisme. Masalah ekonomi yang sangat mencekam membuat pekerja buruh kalang
kabut. Tuntutan ekonomi membuat para pekerja harus menerima segala pekerjaan
yang mengekpliotasikan tenaga mereka padahal dengan upah yang tak seimbang dan
sangat minim, tak cukup untuk penunjang kesehatan yang semakin buruk pula. Diskriminasi
kaum pribumi juga sangat menghantui para pekerja buruh sehingga membuat
kreativitas dan kepercayadirian dari pribumi itu sendiri enggan menjadi dan
maju dalam perekkrutan. Hanya sebagian kecil yang mendapat tempat yang layak.
Sulit menggambarkan kesulitan yang
dialami kaum pekerja buruh, bagai di kunci dan kaki dan tangan mereka terikat
dalam berjalan menjalani hidup. Setelah munculnya banyak partai-partai politik
nasioanal dan organisasi-organisasi kemanusian yang dirintis oleh kaum pribumi
untuk menjaga stabilitas perekonomian bangsa. Secara perlahan pekerja buruh
terorganisir dengan baik dan dapat menjamin kesejahteran walaupun itu tidak
dapat bertahan lama.