Judul : Mafia Berkeley dan Krisis Ekonomi Indonesia
Penulis: Revrisond Baswir
Penerbit : Pustaka Pelajar
Tahun terbit : Cetakan kedua, 2012
Masih ingat dengan Mafia Berkeley? Istilah yang sangat populis di masa
pemerintahan Soekarno. Mafia Berkeley didefinisikan sebagai sekelompok ekonom yang dibina
pemerintah Amerika untuk membelokkan arah perekonomian Indonesia ke jalan
ekonomi pasar neoliberal. Padahal menurutnya, mempercayakan pemulihan ekonomi
kepada para ekonom Berkeley akan sia-sia saja
bahkan akan mengundang bahaya. Karena sebenarnya mereka tak mempunyai kesaktian
mumpuni kecuali keadaan yang memungkinkan mereka untuk “berprestasi”.
Lebih dari satu dasawarsa sudah bangsa ini diterpa badai
krisis dan meskipun telah berganti-ganti presiden, tetap saja terpuruk dalam
jurang krisis. Boleh jadi krisis ekonomi yang tak kunjung usai ini akibat ulah
mafia-mafia tersebut sejak orde sebelumnya. Satu dekade lalu kita masih menepuk
dada ketika tingkat pertumbuhan Indonesia dianggap keajaiban. Namun sekarang,
jangankan menepuk dada mengucapkan kata “tidak” terhadap pihak asing pun lidah
terasa kelu. Indonesia, sebuah negeri yang penuh ironi. Mempunyai undang-undang
dasar yang “dahsyat” untuk kesejahteraan rakyatnya, tapi justru bingung
menerjemahkannya. Negeri yang mempunyai aset luar biasa melimpah, tapi tidak
sedikit rakyatnya yang pingsan dan mati terinjak gara-gara berebut dana 300
ribu rupiah.
Pun demikian di penjuru nusantara banyak bayi-bayi yang
mati kelaparan dan kurang gizi. Sementara banyak pejabat pembuat kebijakan dan
pemodal yang dekat kekuasaan terus menggelumbungkan pundi-pundinya, membuat
agenda-agenda tersendiri untuk mengeruk keuntungan dengan menggadaikan aset
bangsa, dengan dalih privatisasi maupun ketidakmampuan anak bangsa dalam
mengelola aset bangsa. Ekonomi neoliberal, jurus ampuh untuk menyingkirkan kedaulatan
rakyat di bidang ekonomi. Pengusungnya adalah mereka yang disebut Mafia
Berkeley—orang-orang binaan Universitas California di Berkeley Amerika. Emil
Salim, Mohammad Sadli, dan Frans Seda adalah generasi tua golongan ini.
Sedangkan duet Dorodjatun dan Budiono merupakan Mafia Berkeley generasi kedua.
Sepak terjang mereka kerap
menjadi buah bibir media massa. Mafia Berkeley dianggap telah berhasil
menyelamatkan ekonomi Indonesia dari jurang kehancuran. Dengan bantuan tangan
besi Soeharto dan pihak asing mereka menyemai benih kapitalisme di Indonesia.
Berpuluh tahun kemudian benih yang mereka tanam menyebabkan resesi ekonomi yang
belum terselesaikan hingga kini. Setelah sempat tersingkir dan tidak dipercaya
pada masa kabinet Gus Dur, Dorodjatun dan Budiono menduduki pos Menko
Perekonomian dan Menko Keuangan pada pemerintahan Megawati. Ditambah Rini M.
Suwandi dan Laksamana Sukardi, mereka berempat dijuluki the
Dream Team—atau the Dreaming Team (tim pemimpi) menurut penulis buku
ini. Tak beda dengan seniornya, Dorojatun-Budiono pun lebih suka mengambil
kebijakan yang berpihak pada pasar daripada rakyat banyak. Privatisasi BUMN
dilakukan. Kebijakan-kebijakan turunannya seperti penghapusan subsidi,
liberalisasi sektor keuangan dan perdagangan pun tak bisa dihindarkan.
Alih-alih memperbaiki ekonomi
Indonesia, para ‘Mafia’ justru merampok Sumber Daya Alam dari penduduk
Indonesia melalui privatisasi. Tindakan tersebut lebih layak disebut sebagai
rampokisasi, seperti judul bab 7 buku ini. Penulis pun sampai pada pendapatnya
bahwa privatisasi adalah jalan menuju neokolonialisme, penjajahan oleh
negara-negara kaya dan perusahaan transnasional (Multi National Corporation). Buku ini merupakan kumpulan artikel di
berbagai surat kabar yang ditulis Revrisond Baswir ini mencoba mengkritisi
keterpurukan bangunan ekonomi bangsa akibat kebijakan yang tidak tepat. Di
awal-awal tulisannya, penulis menguraikan tentang kegagalan pembangunan yang
diawali dengan pengadopsian konsep-konsep pembangunan, dimana konsep tersebut
diterapkan secara mentah-mentah. Orientasi dari konsep tersebut adalah
pertumbuhan ekonomi tanpa mewaspadai ancaman rezim modal internasional semacam
IMF dan Bank Dunia. Akibatnya Indonesia berada pada posisi yang terdikte.
Kondisi ini juga didukung dengan keterlenaan para pembuat dan pemikir kebijakan
yang berkiblat pada “madzab” Berkeley yang cenderung meliberalkan
perekonomian.
Kerja sama Indonesia-IMF menjadi salah satu catatan
menarik dalam buku ini. Salah satu yang patut diperhatikan adalah kebijakan
dalam melakukan privatisasi BUMN. Privatisasi sengaja dipaksakan IMF seolah
sebagai jalan lurus menuju neoliberalisme dan neokolonialisme. Pelaksanaan
privatisasi di Indonesia tampak dilakukan secara manipulatif dan menyederhanakan
pengertiannya sehingga berdampak pada peranan negara yang terbatas sebagai
penyelenggara perekonomian. Mengaburkan kaitannya dengan agenda-agenda ekonomi
neoliberal yang lain dan transformasi besar perekonomian Indonesia menuju
sistem ekonomi neoliberal (hal. 151). Tak dapat disangkal, kebijakan ini hanya
akan dimanfaatkan oleh pemodal asing serta para konglomerat yang telah berhasil
mengamankan kekayaan pribadinya, meskipun perusahaan yang go pubic telah
dinyatakan kolaps.
Poin yang dapat dipetik
dari buku ini adalah bahwa pemerintah harus segera “putus hubungan” dengan IMF.
Kenapa? Karena jeratan IMF telah menurunkan kedaulatan ekonomi, berjalan lamban
dengan hasil minimal, menelan biaya sosial-ekonomi yang mahal. Sementara Korea
Selatan dan Thailand, tidak sampai dua tahun telah melepaskan diri dari IMF.
Bahkan, Malaysia pada awal krisis secara tegas menolak untuk dibantu IMF.
Mereka tidak ingin di bawah cengkeraman “tangan” IMF, karena tak ingin
kedaulatan ekonominya dikendalikan lembaga internasional tersebut. Mereka tak
ingin menggadaikan nasionalisme ekonominya. Namun Indonesia, yang –katanya–
punya sistem ekonomi Pancasila, justru terjebak dalam jaring-jaring IMF, dan
ternyata gagal memulihkan kondisi perekonomian. Sampai
kini peran IMF dengan filosofi yang dipegangnya tak selalu cocok untuk negara
berkembang seperti Indonesia. Kebijakan-kebijakan IMF yang meliberalkan
perekonomian dengan membuka pasar barang dan modal seluas-luasnya, sistem kurs
bebas, mengetatkan APBN, menjual BUMN, dan membatasi intervensi pemerintah,
tidak jarang justru bersifat kontra produktif bagi perbaikan ekonomi. Kita
lihat saja sekarang bagaimana penghapusan subsidi listrik dan BBM yang
merupakan kebutuhan vital, menyebabkan harga-harga barang lain ikut naik,
rakyat pun semakin tercekik.
Tak kurang, peraih Nobel Ekonomi 2001,
Stiglitz, dan penulis buku Globalization and Its Discontent, yang juga pernah
menjadi Wakil Presiden Bank Dunia memberikan kritik bahwa kebijakan IMF dengan
model ekonominya yang diterapkan di negara-negara miskin, dibuat tanpa
memperhatikan kesiapan sosial, politik, dan kelembagaan sebuah negara. Deretan
kejadian yang kita rasakan sehari-hari, mulai dari maraknya gula impor hingga
mahalnya BBM, adalah sebagian hasil kebijakan pasar bebas ala IMF. Dalam konteks model
ekonomi pun Leontief (1972) yang juga pernah memperoleh hadiah Nobel Ekonomi,
mengatakan bahwa banyak model ekonomi yang tidak mampu menyajikan pengertian
yang sistematik tentang struktur dan operasi dari realitas sistem ekonomi,
melainkan hanya berdasar pada seperangkat asumsi yang akhirnya menghasilkan
kesimpulan yang precisely stated namun tak relevan.
Sepertinya hal ini sejalan dengan
pemikiran Bung Hatta yang diangkat kembali oleh penulis buku ini bahwa
penjelasan teori ekonomi hanya mengandung kebenaran sejauh diterapkan berdasar
pada asumsinya. Namun karena asumsi teori ekonomi tidak ditemukan dalam
realitas ekonomi, penjelasan teori ekonomi itu harus dilihat sebagai tools dalam memahami realitas ekonomi (hal. 249). Dari
sinilah maka diperlukan juga politik ekonomi dan politik perekonomian. Masih banyak kritikan Revrisond yang terkandung dalam
buku ini. Bagaimana dia memotret masalah pendidikan nasional yang
di-“privatisasi” dengan BHMN-nya, pemerintah sepertinya tertekan agar menukar
sistem pendidikan nasional dengan pertumbuhan ekonomi. Hak-hak anak-anak
negeripun terbengkelai, sebab biaya pendidikan terlalu mahal dan tak
terjangkau. Padahal satu dari sedikit harapan kita untuk memperbaiki ekonomi
adalah dengan memperbaiki sistem pendidikannya. Juga potret korupsi dimana
tingkat perkembangannya sangat luar biasa dan dalam melakukan korupsi para
penguasa dan pengusaha cenderung bersaudara (hal 223). Di akhir-akhir buku ini,
Revrisond memotret pemikiran Bung Hatta yang salah satunya tentang koperasi
dimana cita koperasi jauh panggang dari api dengan realitas penyelenggaraannya
saat ini. Penulis menutupnya dengan pernyataan, "Selama pendidikan ekonomi di Indonesia masih menggunakan buku berpaham liberal seperti Adam Smith, J.M Keynes. Selama itu juga Mafia Berkeley di Indonesia akan beregenerasi."