Spanduk berwarna putih, yang disita UNJ |
Kampus mestinya berani untuk dikritik sebagai bukti jalannya demokrasi
dalam dunia pendidikan
Komisi Pemberantasan korupsi (KPK) sangat gencar
melakukan sosialisasi tentang bahaya laten korupsi. Hal itu sudah mulai
direalisasikan oleh KPK sejak tahun 2009, bahkan materi anti korupsi serta
kejujuran sudah ditanamkan sejak bangku Sekolah Dasar (SD). KPK beranggapan
penanaman jiwa antikorupsi mesti ditanamkan dan disosialisasikan sedini mungkin
melalui lembaga pendidikan. Namun, hal itu terasa tercoreng ketika lembaga
pendidikan terbukti terlibat kasus korupsi. Dan, yang paling segar dalam
ingatan adalah kasus korupsi yang melibatkan 16 Perguruan Tinggi yang ada di
Indonesia. Ironisnya, Univeritas Negeri Jakarta (UNJ) yang notabene kampus
pencetak guru terlibat korupsi. Dua orang pejabat UNJ, yakni Fakhruddin (PR
III) dan Tri Mulyono (Dosen Fakulas Teknik) sudah ditetapkan sebagai tersangka
dalam kasus suap pengadaan alat laboraturium.
Untuk memberitahukan informasi tersebut
kepada seluruh civitas akademika UNJ. Sudah banyak tulisan dan mural yang
dibuat tentang adanya korupsi di UNJ. Tak terkecuali melalui spanduk sebagai
medianya. Namun, akhir-akhir ini marak aksi pencabutan spanduk-spanduk
bernafaskan anti korupsi yang dipasang oleh mahasiswa. Yang terhangat adalah
pencabutan spanduk yang dibuat oleh Solidaritas Mahasiswa Rawamangun (SPORA
UNJ). Ironisnya spanduk yang dibentangkan hari Kamis (21/03) hanya bertahan
sekitar tiga jam saja. “Kami pasang spanduk itu jam tiga sore, tapi menjelang
maghrib sudah tidak ada,” ungkap Bakti Paringgi, salah satu anggota SPORA.
Parahnya oknum yang mencabuti spanduk yang bertuliskan, TANGKAP, ADILI
PENCURI ANGGARAN PENDIDIKAN yang semula dipasang di depan gedung G (
gedung kemahasiswaan UNJ-red) berasal dari pihak kampus. Tepatnya satuan
pengamanan kampus (satpam) UNJ.
Aksi yang baru diketahui oleh anggota Spora lainnya
ini sekitar pukul 18:00 Wib Kamis Petang. Hal tersebut sontak membuat kaget
anggota Spora yang siang harinya menyuarakan usut tuntas korupsi UNJ di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (tipikor), Jakarta. Semula tidak ada yang tahu
siapa dan kapan ? Spanduk yang bertuliskan dengan warna merah itu lenyap secara
tiba-tiba. Namun ketika ditelusuri oleh didaktika, akhirnya
diketahui tim yang mencabuti spanduk yang mereka pasang berasal dari satpam dan
juru parkir UNJ. Seorang satpam yang tidak ingin disebutkan namanya ini
mengakui bahwa ia yang mencabut spanduk milik Spora, “bener mas, teman saya yang
cabut spanduk itu dibantu tukang parkir.” Namun ia juga menolak memberi tahu
keberadaan spanduk anti korupsi milik SPORA, “Saya cuma menjalankan perintah
dari rektorat, spanduk-spanduk lainnya yang nulis korupsi juga ada, tapi saya gak
berani kasih tahu tempatnya,” ucap satpam bertubuh gempal ini.
Menanggapi kejadian tersebut Syamsi, pihak
staff Pembantu rektor III tidak tahu menahu dan bungkam akan hal
tersebut, “saya tidak tahu mas, jadi tidak bisa kasih penjelasan.” Wakil ketua
BEM UNJ, Zulfikar menyesalkan sikap rektorat yang tidak mendukung gerakan UNJ
anti korupsi. “Saya sangat menyesalkan sikap rektorat yang tidak
mendukung gerakan anti korupsi yang diprakarsai teman-teman mahasiswa,” pungkas
Zulfikar. Laki-laki yang akrab disapa Zul ini menambahkan, “ Sebelumnya,
spanduk yang dibuat BEM UNJ juga dicabut. Ini menandakan masih banyak pejabat
UNJ sarang koruptor,” Kritiknya. Senada dengan hal tersebut, koordinator Spora,
Ahmad Faisal mengatakan ada semacam ketakutan dari UNJ. “Spanduk bernada dukungan
usut tuntas korupsi, tidak perlu izin, karena ini dilakukan secara spontan
dalam rangka upaya penyadaran situasi kampus kepada mahasiswa,” Ucap Faisal.
Jimmy Ph Paat, dosen Jurusan Bahasa Prancis juga
mengkiritisi aksi aparat UNJ tersebut. “Ini menjadi bukti UNJ tidak mendukung
semangat anti korupsi, ini merupakan pelecehan terhadap dunia pendidikan
Indonesia,” terangnya. Dosen yang tergabung dalam Koalisi Pendidikan ini
menambahkan, seharusnya UNJ tidak boleh seperti itu. Karena, sebagai kampus
pencipta guru UNJ mesti berani dikritik oleh mahasiswanya, sebagai bukti bahwa
UNJ siap menjalankan demokrasi. Bagaimana nantinya jika kampus ini tidak mau
dikritik, sudah barang tentu akan menciptakan guru yang tak mau dikritik pula.