“aku katakan bahwa kaum tani adalah sokoguru daripada Revolusi
Indonesia..." - Soekarno
Petani, kata inilah yang seolah
akrab dari bumi Indonesia. Bukan tanpa sebab, karena sejak awal abad ketujuh
gugusan kepulauan nusantara dikenal mempunyai tanah yang subur. Tanah yang
subur ini tidak begitu saja dilewatkan oleh penduduk. Untuk memenuhi kebuuhan
hidupnya mereka bercocok tanam. Hasilnya tidak tanggung-tanggung Nusantara
sebelum kedatangan VOC dikenal sebagai penghasil beras terbesar tepatnya di
pulau jawa. Lebih-lebih, ketika VOC datang dan ingin memonopoli rempah-rempah
yang tumbuh subur di bumi nusantara ketika itu.
Akan tetapi, peran petani sering
dikesampingkan dalam kehidupan bahkan kesejahteraannya pun ejauh dari kata
laik. Mulai dari zaman colonial sampai kemerdekaan petani masih tertindas
dengan pelbagai aturan yang diterapkan oleh pemerintah. Untuk memperjuangkan
nasibnya petani pun coba membuat serikat dan melakukan aksi.
Jakarta, (24/09/12) Dalam rangka
memperingati Hari Tani Nasional yang jatuh pada hari ini, pelbagai lapisan
masyarakat menggelar aksi unjuk rasa di depan Istana Merdeka Jakarta. Peserta
aksi berasal dari anggota Petani, Nelayan, lembaga swadaya (LSM), mahasiswa
bahkan siswa Sekolah Menengah Atas (SMA).
Sebelum menggelar aksi unjuk rasa
didepan Istana Merdeka, pengunjuk rasa pada senin (24/9) pagi hari juga
menggelar aksi serupa di gedung Badan Pertahanan Nasional (BPN) di Jalan
Sisimangaraja, Jakarta Selatan. Massa dengan membawa bendera organisasi,
membentangkan spanduk berisikan tuntutan Petani dan Nelayan seperti pemerintah
harus menjalankan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960. Orasi membakar
semangat massa silih berganti.
Peserta Aksi dari Serikat Tani Indramayu (STI) Syaifuddin
mengatakan masyarakat kecewa dengan kepemimpinan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyo-Boediono yang dianggap tidak berpihak kepada pentingan rakyat kecil. “Kami
kecewa dengan rezim kapitalis SBY –Boediono karena mereka tidak berpihak kepada
Petani, Nelayan, warga miskin,” kata pria yang akrab disapa Udin ini,
disela-sela aksi unjuk rasa.
Ditambahkan masalah utama agraria
yang meliputi tanah, air, dan kekayaan alam di Indonesia adalah
konsentrasi kepemilikan, pengusaan dan pengusahaan sumber-sumber agraria
baik tanah, hutan, tambang dan perairan ditangan segelintir orang. Belum
lagi pelbagai bentuk perampasan tanah skala luas yang sedang berjalan saat ini
pada hakekatnya adalah skema dari imperalis dan ditopang oleh kekuatan
neoliberal. Perampasan tanah, kata Udin, berjalan dengan mudah dikarenakan
pemerintah pusat dan daerah serta pihak swasta tidak segan-segan mengerahkan
aparat kepolisian dan pam swakarsa.
Selain menuntut kesejahteraan,
massa pengunjuk rasa juga menuntut menghentikan segala bentuk perampasan tanah
rakyat dan mengembalikan tanah-tanah rakyat yang dirampas. Berdasarkan data
milik Serikat Petani Indonesia mencatat pada 2011 telah terjadi 114 kasus
pelanggaran hak asasi Petani terhadap kepemilikan lahan. Selain itu,
sebanyak 18 orang petani meninggal dunia dan 35 orang didakwa dan berujung pada
penahanan. “Laksanakan pembaruan agraria sejati sesuai dengan konstitusi 1945
dan UUPA 1960. Tarik TNI/Polri dari konflik agraria, membebaskan para pejuang
rakyat yang ditahan dalam melawan perampasan tanah,” ujarnya.
Bukankah cita-cita Revolusi Indonesia
ini hanyalah bisa terlaksana dengan keringatnya kaum tani pula. Jikalau tidak
dengan keringat kaum tani, mana bisa kita mencapai satu masyarakat adil dan
makmur, cukup sandang, cukup pandang, gemah-ripah loh-jinawi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar