Judul | : | Seri Buku TEMPO: Orang Kiri Indonesia Aidit |
Pengarang | : | TEMPO |
| : |
|
Tahun Terbit | : | 2011 |
Ukuran | : | 230 x 160 mm |
Halaman | : | 157 halaman |
Memahami peranan D.N Aidit, dalam konstelasi politik Orde Soekarno
tidaklah sulit. Aidit dapat kita kenal dalam lembaran sejarah Orde
Soeharto sebagai seorang tokoh penting dalam PKI. Selain itu ia dikenal
dekat Sukarno dan juga diduga menjadi otak intelektual terjadinya
peristiwa G 30 S. Akan tetapi pemaparan Aidit sebagai bagian konstruksi
sejarah politik di Indonesia, tentunya agak sedikit menyulitkan.
Terutama karena tokoh Aidit selama kurun 32 tahun telah sedemikian rupa
didistorsikan sebagai simbolisme negativa ketokohan politik di
Indonesia. Sehingga terjadi kesulitan menjelaskan mengenai peran sejarah
tokoh ini pada “apa yang ada pada realita historisnya sendiri”.
Walaupun ia adalah tokoh penting dalam kesejarahan Indonesia, seluruh
kehidupan D.N Aidit tampak, masih sebagai sebuah teka-teki yang urung
terselesaikan. Aidit memulai karir politiknya sejak awal bersama
ideology komunis yang diyakininya. Aidit pun mati ditembak oleh
sekawanan tentara “Pancasilais”, karena ideologinya yang komunis serta
tuduhan makar tanpa adanya proses peradilan.
Tulisan ini sedikitnya ingin berupaya memberi gambaran selintas
mengenai sang tokoh. Terutama mengenai perjalanan sejarah tokoh Aidit
secara ideologis. Dalam hal ini Aidit dilihat sebagai seorang tokoh
penting PKI yang menjalankan arah kebijakan Partai Komunis itu hingga
dihancurkan dalam tragedy Gestok.
Masa Muda Aidit
Soegiarso Soerojo menyebutkan bahwa nama lengkap D.N Aidit sebenarnya
bukanlah Dipa Nusantara Aidit yang sebagaimana kita kenal luas.
Melainkan nama sebenarnya adalah Djafar Nawawi, anak haji Aidid dari
bangka. Tak begitu jelas bagaimana Aidit menghabiskan masa kecilnya,
yang pasti sebagaimana anak desa kebanyakan ia bergaul dengan teman
sebayanya, setiap sore pergi mengaji dan ketika malam tidur di Surau.
Latar belakang demikian, justru memberi jejak asal-muasal yang kontras
bagi pribadinya, ketika kelak ia menjadi petinggi partai komunis, yang
justru sering dianggap anti-Tuhan.
Ketika menginjak usia remaja, pemuda Aidit pergi merantau ke Jawa. Di
Jawa ia berguru kepada tokoh pergerakan islam terkemuka, H.O.S
Tjokrominoto. Tjokro, banyak mengajarkan sebuah hal-hal yang selama ini
jauh dari ia bayangkan. Kesenjangan antara kelompok kaya-miskin,
persoalan kolonialisme dan cita-cita kemerdekaan secara utuh adalah
tema-tema pelajaran yang cukup mempengaruhi Aidit. Konon, dari
Tjokro-lah Aidit mengenal dan meyakini komunis sebagai ideology politik
yang cocok baginya. Patut diingat bahwa dari Tjokro juga lahir cabang
gerakan ideology lainnya: Soekarno yang nasionalis dan Kartosuwiryo yang
islamis. Sehingga kita dapat saksikan bahwa antara, Soekarno,
Kartosuwiryo dan Aidit (baca: Nasakom), sesungguhnya bermuara kepada
satu sumber yang sama (?).
Menjelang pecahnya revolusi agustus 1945, Aidit adalah salah seorang
tokoh terkemuka pemuda menteng 31. Bersama Chaerul Saleh, Adam Malik,
Wikana, A.M Hanafi dan Soekarni, ia adalah tokoh yang cukup aktif dalam
menekan tokoh-tokoh angkatan tua untuk mendeklarasikan proklamasi.
Seusai proklamasi, sehubungan dengan anjuran berdirinya partai-partai
akibat maklumat X Hatta maka berdirilah Partai Komunis Indonesia (PKI).
sifat kepemudaan yang revolusioner serta ideology partai yang dianggap
sepaham dengan keyakinan individualnya, membawa Aidit memasuki Partai
Komunis Indonesia tersebut. Peran Aidit dalam partai, antara 1945 hingga
dihancurkannya PKI dalam peristiwa Madiun 1948 tidaklah begitu banyak.
Tak begitu dikenal bagaimana kehidupan Aidit antara masa-masa ini,
selain daripada ia dicatat sering menghadiri rapat-rapat yang diadakan
PKI. Yang pasti, ketika PKI dihancurkan pada 1948, Aidit berhasil lolos
dari kejaran tentara Hatta dan kemudian menyingkir keluar negeri guna
menimba ilmu (Peking?).
Aidit, PKI dan Demokrasi Terpimpin
Ketika kembali ke Indonesia pada awal 1950-an. Situasi Indonesia sudah
sejak jauh berbeda. Sukarno membuka pemahaman rekonsiliasi terhadap
seluruh komponen yang ada dalam kehidupan bernegara dari kelompok
ideology manapun, untuk mempertahankan bersama keutuhan dan kemerdekaan
negeri ini dari rongrongan neo-kolonialisme dan imperialisme (Nekolim).
Anjuran Sukarno tersebut, membuka ruang bagi tokoh-tokoh PKI muda untuk
membangun kembali organisasinya. PKI yang sempat dibangun oleh tokoh
tua, Alimin dan Pono. Kemudian berhasil direbut oleh tokoh yang lebih
muda: Aidit, Nyono, Waluyo dan lain lain. Jabatan tertinggi dalam
kepartaian yaitu Sekretaris Djendral dipegang oleh D.N Aidit.
Dibawah pimpinan D.N Aidit, PKI mulai menggalakkan kembali membangun
kinerja organisasinya. PKI menjelaskan kepada komponen bangsa lainnya
bahwa partainya adalah partai kader yang mengedepankan Indonesia yang
bermartabat. Aidit amat rajin membangun organisasinya secara sistematis,
dengan masa garapannya meliputi masa tani dan buruh terutama yang
berasal dari status sosial menengah-kebawah. Secara khusus Aidit
menyebut partainya sebagai partai ploretariat, partainya rakyat banyak.
Untuk membela partainya terhadap cemoohan peristiwa madiun 1948. Aidit
kemudian menulis pembelaan partainya lewat tulisan Menggugat peristiwa
Madiun, sebuah tulisan yang isinya menyebutkan bahwa saat itu PKI adalah
pihak yang diprovokasi oleh Hatta dan menjadi korban (bukan pelaku!).
Lewat pola pengorganisasian yang rapi dan terkoordinasi, PKI dengan
cepat dapat memperluas keanggotaannya. Terlebih, ketika itu PKI adalah
satu-satunya partai yang selalu mengambil bagian terdepan untuk membela
kepentingan masyarakat yang termarjinalkan, sebagaimana issue land
reform yang menjadi issue utamanya pada era 60-an. Selain itu dukungan
secara tidak langsung Sukarno terhadap partai ini, membuat daya tarik
sendiri bagi masyarakat luas. Secara garis besar dukungan atau simpati
Sukarno tampak, karena PKI lah satu-satunya partai yang terdepan dalam
mendukung setiap kebijakan presiden.
Aidit, pada akhirnya terbujuk untuk berpartisipasi melakukan kolaborasi
dengan Sukarno. Ada kesan bahwa Aidit telah terbentur kepada kepentingan
pragmatis (yang tergesa-gesa) untuk membangun partai. Secara ideologis,
Soekarno atau PNI merepresentasikan basis kepentingan borjuasi nasional
yaitu kelompok priyayi jawa-abangan, yang dalam teoritisi marx termasuk
dalam kelompok lawan yang harus dihantam. Dengan demikian, terjadi
perselingkungan ideologis Aidit terhadap Marx, karena Aidit bertindak
bersekutu dengan kelompok non-ploretar. Aidit tentu saja memiliki
sandaran argumentasi ideologis pada basis teori Lenin mengenai revolusi
dua tahap yaitu melawan imperialisme dan kapitalisme. Untuk sementara
dalam melawan kekuatan Nekolim maka kompromi dengan kekuatan borjuasi
nasional dibolehkan, demikian interpretasi Aidit.
Secara meyakinkan apa yang dilakukan Aidit menuai keberhasilan dalam
PEMILU 1955. PKI dibawah Aidit telah membuktikan bahwa partainya menjadi
salah satu dari empat kekuatan besar di Indonesia, mengalahkan PSI
Sjahrir, IPKI-nya Nasution atau Murba warisan Tan Malaka. Hasil ini
secara meyakinkan kembali meningkat dalam PEMILU 57, dimana didaerah
jawa PKI mendapat suara peringkat pertama mengalahkan PNI, NU dan.
Masjumi.
Hasil ini membuat Sukarno memaksa partai lain bahwa diperlukannya
strategi pembangunan tiga kaki yang berlandaskan pada ajaran Nasakom.
Untuk itu PKI sebagai bagian kekuatan empat besar, kiranya berhak untuk
menduduki kursi dalam pemerintahan. Sebuah tawaran yang kemudian
mendapat tanggapan sengit dari pihak islam (NU dan Masyumi). Padahal
maksud Sukarno untuk memasukkan PKI dalam pemerintahan, justru secara
ekonomis, sangat tidak menguntungkan partai. Sukarno ingin memaksa PKI
turut bertanggung-jawab dalam pemerintahan. Sehingga PKI kelak tidak
memiliki alasan untuk melakukan aksi makar atau aksi pemogokan buruh,
yang dapat merugikan atau mengurangi kewibawaaan pemerintah. Ketika pada
akhirnya PKI dimasukkan dalam struktur kabinet, hasil ini terlihat,
karena PKI tidak diberikan kursi kabinet yang singnifikan atau
menguntungkan secara ekonomi.
Menjelang 65, kekuatan PKI dan Aidit, bisa dikatakan sudah berada
diatas angin. Musuh ideologis yang non-kompromis terhadap mereka yaitu
PSI, Masyumi dan Murba sudah dibubarkan. Dengan demikian jalan perebutan
kekuasaan secara kompromis lewat parlemen yang legal, amat terbuka
lebar bagi PKI. Apalagi saat itu Presiden Soekarno bertindak seakan-akan
pelindung bagi PKI. Baik itu lewat konsepsi revolusi dua tahapnya,
ataupula lewat proyek Dwikora dan konfrontasi dengan blok kapitalis yang
semakin menjadi-jadi.
Posisi PKI yang saat itu sudah amat diuntungkan, akhirnya berakhir
dengan peristiwa G 30 S. Peristiwa G 30 S yang diduga atau dituduhkan
dilakukan oleh PKI, anehnya justru berdampak buruk bagi perkembangan PKI
sendiri. Peristiwa ini menjadi alasan bagi penghancuran serta
pembunuhan terorganisir kader dan simpatisan PKI oleh tentara. Dan
terbesar tentunya bagi pemarjinalan secara politis PKI dari panggung
politik di Indonesia untuk selamanya.
Aidit sebagai tokoh nomer wahid PKI, tak lepas dari proses
penghancuran itu. Walau keterlibatannya tidak secara jelas dapat
dibuktikan oleh lembaga peradilan -karena semuanya masih samar-. Tokoh
kemerdekaan dan pembangunan Indonesia yang demokratis-kerakyatan itu,
akhirnya harus merelakan darahnya menjadi tumbal bangsanya ditangan
tentara pancasila. Aidit harus rela menyusul amir Syarifuddin, Maruto
Darusman, Musso, orang-orang yang menjadi panutan dan telah
mendahuluinya ditangan tentara. Ada orang yang bergembira atas
kematiannya, ada juga yang menangisinya.