Seperti diera jamannya para penjajah
Di mana rakyat jelata tak bisa sekolah
Yang bisa hanyalah kelompok yang berduit saja
(Marjinal)
Pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Pendidikan juga merupakan tolok ukur kemajuan sebuah bangsa. Pendidikan di Indonesia mencapai puncaknya ketika politik etis yang diterapkan oleh pemerintah colonial Belanda di awal abad ke – 20. Akan tetapi pendidikan yang diselenggarakan oleh colonial hanya bisa dinikmati oleh kaum elite pribumi. Ki Hajar Dewantara melakukan perlawanan dengan membuat sekolah yang dapat dinikmati oleh kaum kecil. Pendidikan harus menyentuh seluruh lapisan masyarakat Indonesia itulah ucap sang bapak pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara.
Hingga masa kemerdekaan para founding father, menuliskan cita-cita bangsa Indonesia pada pembukaan konstitusi alinea ke-4. Tak cukup sampai disitu, mereka juga mencantumkan di dalam konstitusi pasal 31 ayat 1-5. Yang salah satunya berbunyi “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Kini, sudah 90 tahun Ki Hajar Dewantara memproklamirkan pernyataan tadi. Tapi, apa yang diharapkan oleh beliau jauh dari kenyataan. Mungkin Ki Hajar Dewantara menangis dalam kuburnya melihat wajah pendidikan Indonesia saat ini. Pendidikan Indonesia saat ini dipenuhi kepentingan para kaum pemilik modal. Pendidikan telah jauh dari hakikat dasarnya yakni memanusiakan manusia. Pemerintah Indonesia seolah ingin melepaskan tanggung jawab dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Ini bukan hanya isapan jempol belaka. Kasus ini terbukti dengan diberlakukannya sekolah bertaraf Internasional (RSBI). Program RSBI sangat diskriminatif, dimana yang hanya mampu bersekolah di sana hanya yang pintar saja dan yang biasa-biasa saja hanya bersekolah yang juga biasa-biasa saja. Program ini membuat dikotomi dikalangan masyarakat. Seharusnya pemerintah tidak boleh mendikotomikan antara yang pintar atau yang kurag pintar. Karena, tugas pemerintah mencerdaskan seluruh masyarakat Indonesia baik itu kurang pintar atau pun yang sudah pintar.
Selain itu, biaya sekolah di sekolah RSBI terbilang sangat mahal. Program ini membuat kastanisasi dimana yang dapat bersekolah hanyalah yang punya uang saja. Dan yang tidak cukup uangnya tidak dapat bersekolah di sekolah RSBI. Kurikulum pun dipertanyakan, karena yang membedakan sekolah RSBI dengan sekolah biasa hanyalah penggunaan bahasa asing di RSBI. Secara tidak langsung sekolah RSBI sedikit meninggalkan bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia.
Komersialisasi pendidikan tidak hanya terjadi di sekolah. Akan tetapi, Perguruan Tinggi Negeri pun tidak luput dari komersialisasi. Pemerintah sudah mengeluarkan RUU BHP pada tahun 2008, yang sarat akan komersialisasi dan kapitalisasi pendidikan dan ini terbukti dengan dibatalkannya RUU BHP oleh Mahkamah Konstitusi. Mati satu, tumbuh seribu. Itulah yang menggambaran regulasi untuk perguruan tinggi, regulasi itu dibernama PK-BLU. Dimana PTN dibebaskan untuk mencari sumber dana sendiri dengan dalih otonomi. Ini telah dilaksanakan UNJ sejak tahun 2010 dan baru berimbas pada tahun 2011 dimana uang kuliah naik sebesar 40%. Dan mahasiswa baru berjumlah 217 orang (Data: Didaktika) yang telah lolos SNMPTN tidak bisa melanjutkan kuliah karena biaya masuk kuliah UNJ mahal.
Ini belum selesai, ditengah peliknya pelaksanaan PK-BLU dipelbagai kampus termasuk UNJ. Pemerintah mengeluarkan RUU-PT, isi RUU versi 4 April 2012 pasal 89 ayat 3, pasal RUU PT yang merugikan, kampus dibebaskan mencari dana sendiri sebanyak mungkin. Karena pemerintah mengurangi dana alokasi APBN untuk PTN. Sangat mengenaskan ditengah program pemerintah mengentaskan kemiskinan melaliu pendidikan tetapi pendidikan itu sangat sulit untuk dijangakau si miskin. Selain itu pemerintah juga telah melanggar konstitusi dengan mmembuat Undang-undang pendidikan ang tidak pro pada rakyat miskin. Pemerintah seharusnya membuat PENDIDIKAN MURAH BERKUALITAS, BUKAN PENDIDIKAN SEBAGAI KOMODITAS !