Penulis : Ahmad Kusuma Djaya
Penerbit : Kreasi Wacana
Tahun : Cetakan Pertama, 2013
Tebal: 316 Halaman
“Tuhan menciptakan wanita penuh dengan keindahan yang tak tertandingi”, Soekarno
Sudah 68 tahun Indonesia
memproklamirkan diri sebagai sebuah bangsa dan negara yang merdeka. Namun, selama
tiga puluh dua tahun Orde Baru (orba) berkuasa. Selama itu pula kharisma sang
proklamator dilunturkan. Propaganda orba mengaitkanya dengan Partai Komunis
Indonesia (PKI) tak membuat namanya terkubur zaman. Entah berapa banyak
manipulasi sejarah orba untuk mengdeskreditkan
perannya. Tetapi, Si Bung justru menjadi ikon revolusi nasional. Presiden boleh
berganti tiap lima tahun. Layaknya Jesus, orang-orang masih memasang gambarnya
entah itu dalam bentuk sticker, pin,
kaos atau berupa lukisan. Tak peduli lukisan mahal ataupun hanya lukisan di
belakang truk.
Orang-orang menghormatinya
sebagai Founding Father. Pidatonya
yang menggelegar mengalahkan Adolf
Hitler, ketegasannya, kata-katanya yang selalu diingat, dan nasibnya
yang “ditakdirkan” jadi pembaca naskah proklamasi. Itu semua sisi baiknya, sisi
terang yang diketahui banyak manusia yang lahir setelah kematiannya, kemudian
menjadi pengagum barunya.
Buku berjudul “Soekarno,
Perempuan dan Revolusi” menjadi titik terang kehidupan terang juga gelapnya.
Ahmad Kusuma Djaya berpendapat buku terbitannya ini harfiahnya memang membedah
dua sisi Soekarno yakni Perempuan dan Revolusi. Namun, seolah justru mencoba
“mempopulerkan” sisi gelap pada kehidupan Sukarno yang kontroversial. Tak dapat
dipungkiri Soekarno sangat tergila-gila akan keindahan perempuan. Yang
menurutnya merupakan ciptaan Tuhan yang tak ada tandingannya. Ini bisa dimaklumi,
sisi baik pemimpin besar revolusi ini tentunya sudah banyak diketahui. Namun,
siapa yang tahu sisi paradoks dalam diri Sukarno. Kekagumannya terhadap
perempuan tak membuatnya menjadi lemah. Justru sebaliknya, sosok perempuan
menjadikannya kuat. Terutama pada masa pergerakan. Itulah yang dikemas dalam
buku setebal 316 halaman ini.
Koesno
Sosrodihardjo, begitu nama lahir Soekarno, ialah sang penakluk wanita
sejati. Siapa yang menyangka, semenjak mengenyam pendidikan sekolah menengah
(HBS) Surabaya, Soekarno sudah mahir “menjerat perempuan”. Mien Hassel
merupakan salah satu gadis Belanda, teman sekolah Soekarno, yang sempat membuat
Soekarno remaja tergila-gila. “Hanya inilah satu-satunya jalan yang kuketahui
untuk memeperoleh keunggulan terhadap bangsa kulit putih”, kilahnya kepada
Cindy Adams, penulis buku otobiografi “Soekarno, Penyambung Lidah Masyarakat”.
Penulis mengatakan, statement tersebut terilhami oleh novel Student Hijo yang
ditulis oleh mas Marco kartodikromo. Salah seorang tokoh gerakan Sarekat Islam
yang ia kenal saat masih menumpang di rumah Tjokroaminoto.
Kehidupan pribadinya, yang sangat
sederhana, tak banyak diketahui orang. Perkawinannya pun tak surut dari
teka-teki, ia menikah dengan sembilan wanita. Dari Inggit Ganarsih, janda yang
15 tahun lebih tua darinya, hingga kisah jalinan asmara layaknya kakek dan cucu
dengan anak gadis SMA, Yurike Sanger. Bahkan saat menikahi istri terakhirnya,
Heldy Jafar, dua mempelai ini terpaut usia 48 tahun. Dari semua perkawinyanya,
kecuali, Utari, istri pertamanya, dan Hartini, hampir semua perkawinnanya
berakhir pahit untuk wanita yang dinikahinya.
Si Bung mengakui sendiri bahwa
ia seorang yang keras kepala dan dibalik suara pidatonya yang meledak-ledak, ia
juga seorang yang rapuh dan kadang tak berpendirian. Sebelum menikahi Inggit
Ganarsih, istri yang setia menjenguknya saat dirinya di penjaran pemerintah
kolonial, Soekarno hanyalah harimau yang kehilangan taringnya. Wanita yang
lebih dulu mengilhami Soekarno adalah Sarinah. Sosok pembantu pada masa kanak-kanak
Soekarno, ia yang mengajari bagaimana harus menghormati perempuan. Tak seperti
raja-raja jawa yang menganggap perempuan hanya perhiasan rumah semata. Bahkan
secara khusus, Soekarno menulis pandangannya terhadap perempuan dalam sebuah
buku yang ia beri judul Sarinah pada 1947. Episode perjalanan politiknya
berliku, ia memlilih jalan yang bersebrangan dengan kawan-kawan politiknya, di
antara dua orientasi politik terkuat saat itu, islam dan marxisme, ia justru
lebih tertarik dengan paham yang dinamainya sendiri sebagai marhaenisme.
Putra sang fajar ini juga
dianggap kolabolator dengan penjajah, sangat berlawanan dengan rekan
politiknya, seperti Amir Syarifuddin, Sutan Syahrir atau Tan Malaka yang
memilih bergerak dengan perlawanan di bawah tanah. Namun pilihan politiknya
menyeretnya pada keterasingan, ia bahkan dianggap sebagai penyebab terbunuhnya
banyak romusha saat pendudukan Jepang, pidatonya di depan para pemuda untuk
membantu jepang dengan bergabung menjadi romusha, justru mengantar para romusha
berlayar ke gerbang pembantaian.
Pembawaanya yang menganggap
dirinya bagaikan Bima, dalam wayang mahabarata, yang mengantarkanya pada tabiat
yang baru, menempatkanya sebagai raja. Ia membubarkan dewan konstituate hasil
pemilihan umum 1955 dan mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup. Inilah
dua sisi Sukarno. Si lembut dan si keras kepala, seorang pemberontak yang mudah
takluk oleh wanita. Soekarno adalah Indonesia dan Indonesia adalah Sukarno,
begitulah cara ia membawa Indonesia medio 1960-an. Meski sebagai paradoks, ia membawa
Indonesia sebagai bangsa yang sejajar dengan bangsa-bangsa yang ada di dunia.