Jumat, 29 November 2013

Gerakan Buruh Masa Kolonial

tangan_dan_kaki_terikat
Judul Buku : Tangan dan Kaki Terikat
Penulis : John Ingleson
Penerbit : Komunitas Bambu
Tahun Terbit : 2004
Jika dibanding dengan Negara lain seperti Cina dan India, perkembangan kajian sejarah kita belum mendalam, apalagi kita mengkaji sebuah sejarah perkotaan yang juga tidak memadai. Pada masa penjajahan, kebanyakan masyarakat bekerja sebagai birokrat dalam pemerintahan Belanda, sebagiannya menjadi dokter, pengacara, insinyur maupun guru. Dari situlah lahir para tokoh-tokoh nasionalis.
            Dalam buku ini kita memfokuskan tentang masa pekerja buruh pada tahun 1910-an dan 1920-an dimana terdapat tiga pelabuhan di pulau Jawa yaitu Jakarta, Semarang dan Surabaya sebagai pusat pekerja buruh. Mereka bekerja pada kapal-kapal asing milik Cina dan Eropa dengan upah yang telah ditentukan oleh majikan mereka. Berbagai rintangan yang dihadapi oleh buruh dalam system penggajian, kesehatan, dan lingkungan yang kurang sehat sehingga mendorong para buruh merasa di eksploitasi dan sering terjadi pemogokan-pemogokam kerja. Pada bulan November 1918 terjadi mogok yang cukup besar di semarang dikarenakan masalah upah yang tidak sesuai dengan tuntutan buruh dan terjadi PHK yang cukup banyak, sekitar 2000 pekerja. Tahun 1912 lahirlah Sarekat Islam yang tidak ada hubungannya dengan aksi mogok buruh. Beberapa lama kemudian tepatnya 1 tahun, partai ini mulai membentuk sarekat buruh di pelabuhan Semarang. Ketika PKI di bentuk pada taun 1921, mereka berhasil merekrut para buruh di Semarang yang sebelumnya Sarekat Islam. Pada tahun yang sama terjadi pemogokan kerja di Surabaya atas dasar masalah upah. Tahun 1925 terjadi lagi aksi mogok kerja di Semarang. Aksi mogok kerja yang dilakukan para buruh pada bulan Agustus 1925, memcerminkan rasa ketidakpuasaan para buruh upah yang mereka terima.
            Jadi segala bentuk aksi mogok yang dilakukan oleh buruh di Surabaya dan Semarang tak lain karena faktor ekonomi. Serikat-serikat buruh berada pada posisi yang sangat lemah, dimana mereka digaji bukan langsung dari majikannya tetapi melalui mandornya. Kelompok yang berada diantara majikan dan buruh yang jumlahnya lebih banyak. Para ketua serikat buruh pun mengakui hal ini.
            Bukan saja terjadi pemogokan oleh buruh pelabuhan, para buruh kereta api pun juga melakukan aksi pemogokan pada tahun 1923.aksi mogok ini dalah aksi mogok terbesar dalam masa kolonial. Pemogokan ini atas bentuk ketidakpuasan para buruh karena diabaikan oleh perusahan-perusahan maupun pemerintah selama bertahun-tahun. Pemogokan yang dilakukan bukan karena main-main semata dimana ada VSTP di dalamnya dan saling mendukung terhadap kaum buruh. Semaun merupakan pelopor kaum buruh dan juga sebagai ketua VSTP telah di asingkan keluar tanah air. Setelah ketua mereka tiada, VSTP pun hampir lenyap. Meskipun VSTP mulai berkembang pada tahun 1924 -1925 tetapi mereka tak sehebat dahulu yang bersama – sama denagan sarekat buruh di bawah pimpinan komunis. Seiring dengan hancurnya komunis pada tahun 1926 maka VSTP juga dilarang. Disitulah letak kegagalan kaum buruh dalam masa kolonial. Hal inilah mendorong banyak perubahan yang terjadi dalam masa akan datang.
            Setelah masa pemogokan berakhir masuklah pada masa depresi pada tahun 1930-an. Dimana saudara-saudara kita diambang kesullitan, banyak dari mereka telah pulang ke kampung tempat asal mereka, pemotongan gaji, kenaikan pangkat yang lambat membuat mereka depresi. Angka pengangguran pun sangat banyak dan bertambah. Jautuhnya industri gula dan pasar hasil bumi ekspor membuat perusahan industri gula dan logam memPHK banyak pekerjanya. Begitu juga yang dilakukan oleh perusahan kereta api, tsunami PHK juga melanda banyak perusahan pada saat itu.bukan hanya perusahan swasta, perusahan pemerintah juga mengalami depresi karena kurangnya pemasokan. Banyak orang-orang terdidik Indonesia juga kesulitan mencari pekerjaan. Mereka terpaksa mnecarri pekerjaan yang status dan gaji yang sangat rendah. Proses ini terjadi selama beberapa dasawarsa hingga perang dunia 1 terjadi. Para pekerja Indonesia digaji lebih murah dibanding dengan pekerja dari Eropa maupun Indo-Eropa (cina). Angka survei mengatakan angka pengangguran cukup banyak. Namun kebanyakan dari mereka juga sebagai pekerja buruh di dermaga-dermaga dan buruh pabrik. Semua pengngguran pada prateknya tergantung pada sumber-sumber dari keluarga-keluarga mereka, yang sedapat mungkin membantu dalam bertani. Yang lain terperangkap dalam kemalasan.
            Pemerintah kolonial merespon pengangguran di Indonesia baik dalam kota maupun luar jawa kemudian membuka tanah dan melakukan tranmigrasi. Pada tahun 1930, pemerintah membentuk Komite Pndukung Sentral di Batavia (jakarta), di bawah kontrol kantor tenaga kerja. Dua tahun keudian muncul 36 komite pendukung pengangguran lokal terutama di Jawa. Organisasi kemanusian di koloni juga memperhatikan nasib dan keaadan pra pengangguran Indonesia di perkotaan. Mereka terdiri dari Bala keselamatan, Gereja Katolik, Masyrakat Belanda untuk Kaum Muda (AMVJ). Mereka mendirikan asrama-asrama untuk kaum pengangguran Indonesia di Batavia (jakarta), Bandung, Surabaya, Malang, dan Medan. Komoite-komite Pendukung Pengangguran di dominsai oleh orang-orang Eropa. Namun mereka juga sempat kecewa atas kurangnya dukungan oleh masyrakat indonesia sendiri  dengan finansialnya. Tak kalah saing, munculah koperasi-koperasi di kampung dalam menciptakan lapangan kerja, dengan adanya Muhammaddiyah dan perserikatan buruh maka organnisasi-organisasi sukarela berkembang pesat pada saat itu. Contohnya seperti organisasi Peserikatan Pekerja Pengadaian Hindia (PPPH) merupakan organsasi buruh terbesar pada saat itu (1930). Serikat-serikat buruh pada saat itu di kota-kota besar seperti Batavia, bandung, semarang, dan surabaya dapat dikatakan organisasi yang cukup kuat dan modern. Seriktat buruh pada saat itu menjadi pegangan yang kuat mereka. Dengan demikian sudah ada peluang jaminan sosial bagi mereka. Serikat buruh tak dapat bertahan pada masa setelah tahun 1925, sedangkan serikat buruh yang dianggap dapat bertahan adalah mereka yang berada di antara kekuasaan pemerintahan dan swasta seperti kereta api. Mereka itu merupakan orang yang mempunyai ketrampilan dan pendidikan yang baik sehingga bayaran yang lebih tinggi dan dapat membiayai kesehatan dan pensiun. Sedangkan para buruh yang ketrampilannya kurang dipekerjakan sebagai buruh lepas dengan gaji harian. Kesulitan buruh lepas adalah banyak dari mereka yang buta huruf dan tak dapat membayar sumbangan keanggotaan. Sebagaiaan juga menyatakan bahwa daya tarik serikat buruh dengan dasar ketetapan jaminan sosial dan kesejahtraan, kurang menarik masyarakat yang mempertahankan hubungan yang kuat dengan dunia pedesaan. Selama msa depresi banyak sekali buruh yang berhenti dan pulang ke desa asal masing-masing.
            Serikat buruh dan partai politik pada saat itu di pulau jawa berada di tangan pekerja-pekrja yang terampil. Pada abad ke-20 funsi ekonomi di jawa mengalami perubahan dari tahun-tahun sebelumnya. Fungsi ekonomi yang dimaksud adalah memproduksi hasil bumi dan perdagangan seperti teh, kopi, dan gula, untuk dijual di pasar-pasar internasional contohnya pada tahun 1915  hanya sekitar 1823 pabrik milik buruh. Para buruh pabrik dan bengkel adalah golongan minoritas dari pekrjaan perkotaan, dengan proporsi yang relatif tinggi dari mereka adalah pekerja yang terlatih. Perbedaan pekerja yang terlatih dan tidak terlatih tentu saja bersifat arbitrasi. Pabrik-pabrik dan rumah produksi biasanya membagi para pekerja pribumi sebagai mandor, pekerja tangan yang ahli, pesonalia administrasi dan buruh. Pada saat itu ekonomi kolonial terpisah dari masa-masa depresi sehingga membuat para buru sulit bekerja dan di tempatkan lagi. Namun parah buruh dengan mudah mendapatkan pekerjaan pada kelompok di kampung-kampung dan hanya bayaran yang sangat murah. Seringkali dengan bayaran satu hari dan biasanyatanpa jaminan pekerjaan dan tunjangan tambahan. Didalam masyrakat, rumah tangga adalah unit perekonomian terkecil. Sudah merupakan hal yang biasa seorang laki-laki untuk menjadi seorang pekerja pabrik yang terampil, atau seorang pegawai pemerintahan, sedangkan sang istri menjual kue-kue, mengambil cuciaan atau menjadi seorang pembantu rumah tangga dengan upah harian atau bekerja di sektor formal. Dengan demikian masa depresi sangat mengakhawatirkan pekerja buruh pada saat itu. Keprihatinan membuat kaum buruh sangat tergantung pada mandor dan majikan.
            Perekonomian kolonial benar-benar kekurang pasar tenaga kerjayang sangat bebas, karena perusahan-perusahan pribadi dan industri negara mempekerjakan secara tidak  langsung seabgian besar buruh mereka. Mereka mempekerjakan buruh dari basis reguler desa-desa asal mereka sendiri atau keompok etnis mereka sendiri. Kenyataan itu membuat kesadaran pemerintah kolonial untuk mendirikan sekolah-sekolah dagang. Sebagai bagian dari pembangunan pendidikan umum dibawah politik etika. Sekolah-sekolah dagang tersebut kesulitan dalam meanrik para siswa, walaupun sekolah dagang tersebut menawarkan pekerjaan yang benar-benar terjamin bagi lulusannya. Hanya sedikit dari lulusan sekolah rakyat rendah yang mengingingkan pekerjaan kerajinan tangan. Nilai-nilai mereka merendahkan pekerjaan kerajinan tangan. Dalam masyrakat kolonial, nilai-nilai tersebut semakin diperkuat oleh sikap para penyelia berkembangsaan eropa terhadap para pekerja kerajinan tangan berkebangsaan Indonesia, bagaimanapun terampilnya pekerjaan tersebut.
            Para pekerja yang terampil sangat peduli terhadap stastus mereka di tempat kerja, dan dengan cepat membedakan dirinya dari para kuli lainnya. Usaha yang dilakukuan para pemimpin perserikatan buruh untuk meruntuhkan rasa hirarki dan status ini gagal. Butuh waktu bagi para pemilik tenaga kerja untuk menyadari pembagian fundamental diantara para pekerja Indonesia ini. Tetapi sekali mereka melakukannya maka mereka mengeksploitasinya dengan baik. Ketika peningkatan upah di dorong oleh aksi pemogokan kerja hampir selalu di ketuai oleh pekerja yang terampil. Para pemilik tenaga kerja menyuap pekerja yang terampil yang licik, dengan memberikan kenaikan gaji yang lebih tinggi dan menarik, dari pada menyerahkannya pada pekerja yang tidak terampil. Ini bukan satu-satunya alasan mengapa perserikatan buruh kehilangan pemimpin-pemimpin pribumi terutama mereka yang ahli yang bergabung dengan respon kuat terhadap pemerintahan kolonial.

Dalam mendefenisikan dan mengalisa masalah utama tenaga kerja di perkotaan kolonial di jawa, dapat di buat generalisasi tentang pemisahan yang lebar antara kaum proletar sengan buruh semiproletar. Kaum proletar adalah mereka yang dipekerjakan di sektor modern perekonomian, dan bergantung sebagai buruh upahan untuk pendapatan mereka. Mereka terbebas dari adari ikatan apapun dengan lahan di desanya, dan tidak terikat dalam migrasi sirkuler. Mereka sendiri merupakan penduduk tetap di kampung perkotaan.         
Perlawanan kaum buruh ternyata hanya merupakan dinamika yang nihil. Tidak ada kemenangan di tangan kaum pekerja buruh, kapaitalisme menguasai segala bentuk penindasan terhadp pribumi. Terlihat betapa sulitnya untuk melakukan pemogokan kerja dan pemberontakan terhadap kaum kapitalisme. Masalah ekonomi yang sangat mencekam membuat pekerja buruh kalang kabut. Tuntutan ekonomi membuat para pekerja harus menerima segala pekerjaan yang mengekpliotasikan tenaga mereka padahal dengan upah yang tak seimbang dan sangat minim, tak cukup untuk penunjang kesehatan yang semakin buruk pula. Diskriminasi kaum pribumi juga sangat menghantui para pekerja buruh sehingga membuat kreativitas dan kepercayadirian dari pribumi itu sendiri enggan menjadi dan maju dalam perekkrutan. Hanya sebagian kecil yang mendapat tempat yang layak.
Sulit menggambarkan kesulitan yang dialami kaum pekerja buruh, bagai di kunci dan kaki dan tangan mereka terikat dalam berjalan menjalani hidup. Setelah munculnya banyak partai-partai politik nasioanal dan organisasi-organisasi kemanusian yang dirintis oleh kaum pribumi untuk menjaga stabilitas perekonomian bangsa. Secara perlahan pekerja buruh terorganisir dengan baik dan dapat menjamin kesejahteran walaupun itu tidak dapat bertahan lama.

Minggu, 10 November 2013

Perang Dingin, Kup dan Pembantaian Rakyat



“Sejarah bukan sekedar ruang dan waktu. Tapi manusia dan nilai-nilai kemanusiaan” – Che Guevarra
Judul Buku : Akar dan Dalang (pembantaian manusia tak berdosa dan penggulingan Soekarno
Penulis : Suar Suroso
Tahun Terbit : September, 2013
Penerbit : Ultimus
Tebal : xxxvi + 264 halaman.

Pagi hari di beberapa kota besar di Indonesia suasana tidak seperti biasanya ayang begitu damai dan tenteram diusik oleh munculnya tulisan-tulisan berwarna merah darah : GANYANGPartai Komunis Indonesia (PKI), SATE AIDIT, GERWANI LONTE PKI banyak tercoret di tembok-tembok pagar tepi jalan, beton penyangga jembatan kereta-api, gardu-gardu listrik dan ditempat-tempat strategis lainnya. Siang hari datang beberapa kelompok massa berjumlah ratusan orang semua mengenakan penutup wajah dengan membawa beragam senjata tajam: bambu runcing, celurit, pedang, tombak. Berbaris di jalan-jalan kota dengan meneriakkan yel-yel yang membakar emosi. Mencari dan memburu orang-orang yang diduga anggota PKI. Sempat terjadi perlawanan dibeberapa tempat. Banyak jatuh korban pada saat itu. Insiden ini berlangsung sampai sore hari. Kejadian tersebut merupakan ekses dari gerakan 30 September (G 30S) 1965 di Jakarta. Enam jendral dibunuh, dan PKI tertuduh yang melakukannya. Beberapa kota yang merupakan basis pendukung PKI mengalami suasana penuh ketakutan dan mencekam. Paling tidak situasi ini berlangsung sampai tiga tahun ke depan.

Banyak pertanyaan-pertanyaan muncul. Ada apa dengan Indonesia, kenapa G 30S dapat terjadi, siapa sebenarnya dalang G30S? Dalam buku ini, penulis menjelaskan akar penyebab pemusnahan orang-orang PKI. Diawali sejak selesai perang dunia kedua, dimana dunia terbagi dalam dua kubu; Kapitalis (Amerika) dan Komunis (Uni Soviet). Ini yang disebut penulis sebagai akar permasalahannya. Indonesia sebagai negara pertama yang merdeka setelah perang berkecamuk terjebak dalam situasi yang dinamakan perang dingin. Soekarno, sebagai Presiden pertama tentu saja sudah sangat muak dengan kolonialisme atau yang disebut penulis sebagai kapitalisme kuno. Indonesia yang terkenal sejak zaman colonial akan hasil buminya membuat Amerika tergiur untuk memilikinya. Untuk itu selepas perang dunia, Amerika ingin menguasai politik,ekonomi maupun militer melalui intelijen-intelijennya.

Usaha-usaha pemberontakan terhadap Soekarno yang didomplengi Amerika selalu gagal. Hal ini bukan tanpa sebab, karena Soekarno sejak 1926 telah menuliskan pemikirannya yang anti kapitalisme dan imperialisme. Terlebih di Indonesia ada partai yang jelas-jelas musuh kaum Kaapitalis yakni PKI. PKI yang sangat erat dengan Soekarno yag menentang kolonialisme. Apalagi, PKI merupakan partai komunis terbesar ketiga dunia. Dan, akan membuat gentar siapapun yang berani melawan Soekarno-PKI. Namun, Amerika tak kehilangan akal. Mereka banyak mendekati akademisi untuk melanjutkan sekolah secara cuma-cuma di Universitas Barkeley. Tak cukup sampai disitu, Amerika melalui duta besarnya dan CIA mendekati kalangan militer untuk menumpas PKI. Sampai pada 1965 clash itu terjadi PKI dan Soekarno dianggap pihak yang mesti bertanggung jawab atas kejadian itu. Soekarno pun lengser sebagai presiden. Tanpa tedeng aling-aling Militer dengan sigap menumpas kader, simpatisan bahkan yang tertuduh PKI. Inilah yang disebut sebagai dalang oleh penulis. Sebanyak tiga juta rakyat terbunuh sia-sia dan tanpa peradilan. Banyak mayat yang dibuang ke sungai-sungai bahkan di sungai Brantas banyak ikan ketika hendak dimasak banyak daging manusia di dalamnya (hlm 52).

1965 Merupakan sejarah kelam bagi Indonesia. Karena, setelah pergantian rezim pemerintahan. Indonesia tak lagi menjadi pesaing negara-negara besar. Kini, Indonesia hanya menjadi negara pengekor negara-negara besar. Tak hanya itu, 1965 merupakan kelam dalam sejarah umat manusia. Pembantaian manusia membabi-buta tanpa sebab oleh bangsa sendiri menjadi penyebabnya. Bagi mereka yang tak terbunuh harus rela hidup penuh diskriminasi, dibuang ke Pulau Buru dan menjadi eksil di luar negeri. Buku ini menarik untuk dibaca karena banyak memakai dokumen-dokumen yang belum digunakan dalam pembahasan G 30S. terlebih, penulis membuat tulisan bantahan terkait penulisan sejarah G 30S yang ditulis oleh Nugroho Notosutanto dan Mantan Pangkopkamtib, Soedomo. Akan tetapi, buku ini lebih banyak memfokuskan pada kegiatan politik yang terjadi di dunia maupun Indonesia dibanding pembantaian yang dilakukan oleh militer. Yang merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat. Hingga kini, pemerintah masih enggan meminta maaf secara resmi kepada korban G 30S