Senin, 28 Oktober 2013

Sumpah Pemuda : Kebanggaan Berbahasa dalam Proses Menjadi Bangsa



“Bahasa itu ada untuk menyampaikan buah pikiran manusia”
Memperingati hari sumpah pemuda ke -85 Majalah Prisma menyelenggarakan seminar sehari Bangga Berbahasa Indonesia. Seminar ini didasari atas perkembangan bahasa Indonesia yang mulai terkikis di era globalisasi.  Seminar bertema "Ekonomi Politik Bahasa Indonesia & Identitas Bangsa: Bangga Berbahasa Indonesia" ini menghadirkan pembicara Rocky Gerung (FIB-UI), Ignas kleden (KID), Daniel Dhakidae (Prisma) dan Gita Wirjawan (Menteri Perdagangan RI) sebagai pembicara pembuka. Seminar  diadakan di Auditorium Adhiyana, Wisma Antara, Jakarta, Senin, (28/10).
Sebagai pembicara pembuka, Gita menjelaskan untuk menjadikan peringatan Sumpah Pemuda kali ini sebagai momentum membangun kesadaran untuk bangga berbahasa Indonesia. ''Karena itu, melalui sumpah pemuda ini, saya mengajak semua masyarakat untuk memulai menggunakan bahasa Indonesia dengan benar,'' tutur Gita. Gita menambahkan, sudah sepatutnya jika bangsa ini merasa bangga memiliki bahasa Indonesia sebagai salah satu identitas nasional yang sangat penting.
Sangat patut bila bangsa ini juga merasa bangga terhadap generasi muda di era pergerakkan nasional yang dengan sadar dan visioner telah menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. ''Saat ini adalah tugas sejarah generasi kita untuk mempertahankan warisan mereka itu sebagai sarana peneguh identitas bangsa. Dalam mempertahankan eksistensi bahasa Indonesia itu, kita dituntut untuk ikut memperkaya dan memperluas penggunaannya secara baik di berbagai bidang kehidupan,'' jelas Gita.
Gita mengemukakan, Bangsa Indonesia harus bisa sejajar dengan Bangsa lain untuk bisa bersaing pada Era Globalisasi. Gita juga berharap pada masa mendatang, Bangsa Indonesia diakui Dunia dan Bahasa Indonesia juga diakui sebagai Bahasa Internasional, layaknya bahasa asing lain di Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). “Bahasa Indonesia dan bahasa Asing dalam penggunaannya seharusnya dapat saling melengkapi dan mendukung dalam menghadapi tantangan dunia, layaknya dua sisi mata uang yang sama.
 “Konteksnya jelas, bagaimana caranya menjadikan Bahasa Indonesia bisa beragumentasi dan bernegosiasi bukan hanya dalam konteks nasional,  tetapi juga internasional,” ucap Gita. Hal tersebut untuk mengingat,  bahwa kebesaran bangsa Indonesia ini sudah jauh lebih besar. Unsur, ekonomi, dan lainnya bisa nyambung dengan Bahasa Indonesia.   Poinnya  adalah bagaimana menjadikan Bahasa Indonesia bisa menjadi Lingua Franca di Asia Tenggara, layaknya di PBB dengan lima bahasa resmi yang terdaftar. Gita mengajak ,agar bekerja sama untuk bisa mewujudkan kepentingan Bangsa Indonesia yaitu menjadikan Bahasa Indonesia  diakui sebagai Bahasa Internasional, layaknya bahasa asing lain di PBB.
Bahasa sebagai Proses Berpikir dan Proses Menjadi Bangsa
"Tak terasa pada tahun ini Sumpah Pemuda telah memasuki usia ke 85 tahun. Dapat diartikan seumur itulah kita telah ‘menjadi’ Indonesia,'' ujar Daniel Dhakidae, mantan Pemimpin Redaksi Harian Kompas. Ia melanjutkan bahwa bila dianalisis, salah satu konstruksi keindonesiaan yang ditemukan dan dibangun angkatan 1928 adalah bahasa Indonesia.  "Namun sayangnya kini sebagian besar dari kita menganggap bahasa Indonesia sebagai sesuatu yang natural. Sesuatu yang given (sudah ada sejak dulu dan tumbuh secara alamiah-Red). Sehingga penghormatan kita pada penggunaan bahasa Indonesia yang benar tidak lagi disikapi secara serius," papar Daniel.
Namun, Banyak orang seringkali "membunuh" bahasa Indonesia agar tampak canggih, intelek, unik, ataupun mengonstruksinya menjadi sebuah identitas kelompok tertentu yang semuanya mengaburkan identitas bahasa Indonesia. Menanggapi hal tersebut Rocky Gerung mengatakan, “Bahasa bukan hanya proses menjadi sebuah bangsa.” Tapi, lanjut Rocky, bahasa adalah proses berpikir. “Pada dasarnya, bahasa itu ada untuk menyampaikan buah pikiran manusia. Bila dalam hal berbahasa saja kita kacau, sudah sangat jelas bagaimana kacaunya pikiran kita,” Seloroh dosen Filsafat Universitas Indonesia.
Padahal angkatan 1928 menyadari sepenuhnya bahwa pembentukan Indonesia tidak mungkin dapat dilakukan tanpa mengikutsertakan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia merupakan salah satu elemen penting dari konsepsi keindonesiaan konsepsi kita sebagai sebuah bangsa yang merupakan buah pemikiran dari pemuda kala itu.

Minggu, 13 Oktober 2013

Gagal dan Digagalkannya Gerakan kiri



Judul Buku : Malapetaka di Indonesia
Penulis : Max Lane
Penerbit : Djaman Baroe, 2012
Tebal : xiv + 144 halaman


Gerakan 30 September 1965 memang sangat sensitive untuk dibahas dalam perjalanan bangsa Indonesia. Namun saat ini, karena sensitifitasnya itulah banyak buku yang membahas tentang gerakan tersebut. Tak terkecuali Max Lane, dalam buku yang berisi esai ini, ia tidak begitu banyak membahas nilai-nilai kemanusiaan seperti banyak buku yang telah ada. Max lane justru memfokuskan pada kondisi perpolitikan Indonesia maupun Internasional kala itu.
Sebagai orang yang pro terhadap indonesia yang menaruh perhatian pada gerakan kiri, di buku ini Max sejak awal menegaskan keberpihakannya kepada gerakan kiri yang diakili oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Ada dua alasan yang mendasari keberpihakannya. Pertama, Max  melihat penghancuran gerakan kiri di Indonesia dengan genosida kecil seperti pembantaian, penyiksaan, penangkapan,pembuangan, pelarangan berpolitik terhadap ratusan ribu warga negara Indonesia, hingga pemutusan perkembangan keilmuannya, merupakan ‘kriminalitas yang tidak berperikemanusiaan atau perbuatan barbar’ (halaman. viii). Kedua, Max adalah orang yang berideologi kiri. Dalam artikel ‘Soekarno: Pemersatu atau Pembelah’ di Bagian II buku ini, Max menegaskan, ‘Baik sebagai seorang akademisi yang ‘indonesianis’ maupun sebagai warga dunia yang berkewajiban berideologi, saya menyatakan sebelumnya bahwa saya termasuk orang yang sangat menghargai kepemimpinan Soekarno serta pikirannya, meskipun saya juga berpendapat dia bukan manusia sempurna: pernah juga melakukan kekeliruan dan kadang-kadang analisa yang salah’ (halaman. 83–84).
Max tidak menghindarkan kritiknya atas beragam kontradiksi yang dialami oleh gerakan kiri itu sendiri. Dapat dikatakan, sebagian besar ulasan buku ini berisi kritik tajam terhadap strategi-strategi politik Soekarno dan PKI yang kontrapoduktif. Terdapat dua poin utama yang dicacat Max Lane di sini: taktik demokrasi terpimpin beserta jebakan retuling. Keduanya berkaitan. Kegagalan Badan Konstituante untuk memperoleh dukungan penuh parlemen dalam membahas undang-undang baru dimanfaatkan Soekarno untuk memberlakukan demokrasi terpimpin melalui dekritnya 5 Juli 1959. Dengan strategi ‘sentralistis’ ini, Soekarno memang berhasil mengkompromikan pelbagai partai politik di parlemen sekaligus memobilisasi kekuatan-kekuatan massa dengan tujuan organisasi politik, nasional dan tunggal dalam rencana kerja sosialisme bisa cepat terbangun. Dan yang paling mendasar adalah melalui pendidikan pancawardhana.
Namun, ada masalah dalam strategi tersebut. Pertama, kebijakan ini harus membayar bahwa diakuinya militer untuk terlibat langsung dalam politik. Padahal sebagaimana diketahui, militer kerap menjadi alat kapitalisme dan negara, untuk menghancurkan sosialis-komunisme. Soekarno seolah melupakan usaha militer untuk membunuhnya beberapa kali pada tahun-tahun sebelumnya. Begitu juga Aidit sebagai pimpinan PKI yang masih mempercayai bahwa anasir dari kekuasaan negara masih didominasi oleh kekuatan-kekuatan anti-rakyat, bukan militer sebagaimana diyakini Karl Marx.
Kedua, demokrasi terpimpin menggiring Soekarno dan PKI mengingkari prinsip demokrasi yang melekat dalam sosialis-komunisme yang relevan dengan pandangan politik Indonesia, yakni dilupakannya tuntutan penggelaran pemilu setahun setelah demokrasi terpimpin; pelarangan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Masyumi juga Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Padahal, jika melihat mobilisasi massa dan radikalisasi kaum intelektual dalam paket Nasionalis-Agama-Komunis (Nasakom) di bawah koalisi Soekarno-PNI-PKI, Max Lane berpendapat antara proses pemilu dan demokrasi terpimpin tak perlu dikontradiksikan. Karena kalau pemilu digelar, bisa dipastikan koalisi akan menang sehingga cita-cita marxisme bisa lebih mudah dicapai.
Dengan demokrasi termpimpin sekaligus melupakan pemilu, Soekarno lantas memilih retuling sebagai strategi memenangi kekuasaan. Retuling adalah kebijakan penggantian para aparatur negara yang dinilai reaksioner dan merugikan (mungkin juga anti-komunis) dengan pengganti yang lebih progressif. Max Lane menyangka usul retuling datang dari Angakatan Darat (bersamaan dengan ini, semakin banyak perwira Angkatan Darat yang masuk ke PKI dan koalisi setelah direkrut oleh Biro Khusus). Terlepas dari itu, yang jelas retuling bersifat top down; segala penunjukan aparatur negara dilakukan oleh Soekarno, bukan atas partisipasi rakyat.
Sebagai intelektual yang memihak gerakan kiri, secara tegas kritik Max atas strategi-strategi yang kontraproduktif itu bisa dibilang konstruktif. Secara dialektis, ia tetap mengemukakan keberhasilan-keberhasilan gerakan kiri di tengah strategi-strategi yang kontraproduktif. Meski tidak demokratis, Max tetap mencatat, selama demokrasi terpimpin terjadi mobilisasi massa dan radikalisasi kaum intelektual dalam Front Nasional yang efektif. ‘Sejumlah kampanye nasional paling penting adalah kampanye melawan keberlanjutan kolonialisme Belanda di Papua Barat, kampanye penyatuan Papua Barat ke Indonesia dan kampanye melawan pembentukan negara bagian Malaysia serta kampanye melawan pengaruh-pengaruh budaya Amerika. Bahkan, ada sejumlah kampanye yang menyerukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Amerika, Inggris, dan Belgia’ (halaman. 35–36). Selain itu, perjuangan reforma agraria dan kenaikan upah buruh juga massif.
Meski dinilai sebagai jebakan, retuling pun tidak sepenuhnya dituduhkan sebagai kesalahan Soekarno dan PKI, yang menyebabkan gerakannya gagal total. Di luar itu, Max tetap menekankan latennya usaha militer dan kelompok kanan dalam memanfaatkan jebakan itu untuk melawan politik kiri. Dalam bab ‘Jebakan Retuling,’ Max mengatakan, ‘Satu rintangan penting yang dihadapi PKI adala keberadaan angkatan bersenjata yang sudah siap secara fisik untuk menyingkirkan PKI dan Soekarno dari alur politik’ (halman. 45). Dan, ‘Strategi retuling dari atas ke bawah ini, khususnya di kabinet, tidak bisa membantu menghindari isu konfrontasi dengan tentara’ (halaman. 46). Menghindari pemilu sekaligus membuka lebar partisipasi militer dalam politik adalah jebakan bagi Soekarno dan PKI, sehingga penculikan beberapa perwira pada 30 September 1965 bak senjata makan tuan.
Membicarakan pergolakan gerakan kiri tentu saja tak bisa lepas dari kondisi perpolitikan internasional. Max pun menyodorkan fakta intervensi poros kapitalis, terutama Amerika, dalam usaha kup 1965. Dengan mengutip Audrey R. Kahin dan George Mc T. Kahin (Subversion as Foreign Policy: The Secret Eisenhower and Dulles Debacle in Indonesia, 1995), Max mengungkapkan, ‘pada 1950-an, pemerintahan Eisenhower –Presiden Amerika Serikat- bahkan memutuskan bahwa, jika diperlukan, mereka akan mendukung terbelahnya Indonesia dan terpisahnya Jawa (yang merupakan basis golongan kiri) dari wilayah lain di negara ini’ (halaman. 60). Max juga mengutip John Roosa yang banyak menyodorkan bukti pembicaraan di lingkaran-lingkaran diplomatik Amerika Serikat, Inggris, dan Sekutu sebagai poros yang membenci perkembangan politik di Indonesia beserta solusinya.
Sebagai esai, tentu saja buku ini tidak memaparkan analisis mendalam berdasarkan data tentang latar belakang, momen, dan akibat dari hancurnya gerakan kiri di Indonesia (semua itu tentu saja tidak cukup dibahas dalam 114 halaman). Hanya saja, titik-titik penting perlawanan militer dan kelompok kanan terhadap Soekarno dan PKI yang konspiratif tidak disertai dengan data-data kecil seperti di atas.
Max tetap memaparkan bahwa ada pihak yang memang berusaha menggagalkan gerakan kiri itu. Keberpihakan Max bisa kian tegas ketika mengganti kata ‘gagal’ dengan ‘digagalkan’ sembari memberikan pembabakan lebih menyeluruh tentang usaha penggagalan total itu. Dengan begitu, kegagalan total gerakan kiri yang bukan lantaran kesalahan strategi di dalamnya semata tetapi memang ada usaha penggagalan dari pihak lain, tidak terkesan spekulatif dan desas-desus. Bahwa kegagalan total gerakan kiri bukan sebuah ketaksengajaan, melainkan ada pihak yang sengaja menggagalkannya. Karena, sebagaimana bangsa ini yang dinilai Max Lane adalah bangsa yang belum selesai.

Minggu, 06 Oktober 2013

Seni Mencintai



Judul Buku : The Art of Loving
Penulis : Erich Fromm
Penerbit : Fresh Book
Tahun Terbit : Januari 2005
Tebal : 218 Halaman



Apakah cinta itu seni? Ataukah hanya sebentuk perasaan menyenangkan yang dialami secara kebetulan saja, sesuatu yang membuat kita tercebur ke dalamnya jika sedang beruntung??



Cinta adalah sebuah seni, yang harus dimengerti dan diperjuangkan… Dalam masalah cinta, kebanyakan orang pertama-tama melihatnya sebagai persoalan ‘dicintai’ ketimbang ‘mencintai’ atau kemampuan mencintai. Hal kedua yang mendasari sikap aneh masyarakat sekarang dalam soal cinta adalah anggapan bahwa cinta adalah persoalan ‘obyek’ bukan persoalan ‘kemampuan’.



Frasa itulah yang muncul diawal buku The Art of Loving. The Art of Loving adalah sebuah buku yang membahas tentang cinta, teori, obyek dan aplikasi. Di antara banyak referensi tentang cinta, buku karangan Erich Fromm ini lebih sering menjadi referensi utama psikologi ketika ingin membahas tema tentang cinta. Erich Fromm adalah seorang Psikoanalis yang banyak menaruh perhatian pada karakter sosial masyarakat modern. Erich Fromm adalah warga Jerman yang mempelajari psikologi, filsafat, dan sosiologi. Ia dikenal sebagai salah satu tokoh psikoanalisis bersama Freud. Yang membedakan di antara keduanya adalah Erich Fromm menekankan kepada peran sosio-ekonomi dalam pembentukan kecenderungan-kecenderungan yang membangun karakteristik kepribadian seorang individu. Tak dapat dipungkiri bahwa tulisan dan pemikiran Erich Fromm dipengaruhi oleh seorang ideolog yang memberikan ‘antitesis’ terhadap wajah Barat, yaitu Karl Marx.

Orang-orang memberdayakan diri mereka, memproduktifkan diri mereka untuk memperoleh jabatan dan kekayaan material, supaya mereka dicintai. Inilah salah satu ‘penyakit’ yang sedang menjadi virus tanpa wujud, ketika orang-orang tergila-gila untuk dicintai, dan lupa bagaimana mencintai seseorang. Padahal mencintai akan memberikan kita suatu ‘keuntungan’ yang bukan hanya bersifat material sesaat, tapi juga memberikan ‘keuntungan’ terhadap jiwa kita. Tindakan mencintai bukan hanya dilakukan dengan melakukan sesuatu atau menggerakkan tubuh untuk melakukan sesuatu. Bukan demikian. Justru, tindakan yang merupakan kegiatan tertinggi adalah kontemplasi menuju yang transedental.

Ada salah satu dasar bagi Fromm dalam memandang cinta. Bagi Fromm, seluruh cinta yang ada di alam semesta merupakan representasi cinta Tuhan dan menjadi ‘wujud’ cinta terhadap Tuhan. Fromm menyatakan bahwa cinta tak akan mengerdilkan diri kita, pasangan kita, atau siapapun yang ada di sekitar kita. Cara kita mencintai justru diupayakan untuk mengembangkan seseorang yang kita cintai, menjadi dirinya sendiri, seutuhnya. Inilah pentingnya mencintai berdasakan keberadaan Tuhan. Ketika kita dan seseorang yang kita cintai menyadari bahwa diri masing-masing merupakan bagian dari ciptaan Tuhan; keduanya pun akan menyadari sepenuhnya bahwa diri masing-masing adalah satu walaupun nyatanya tetap ada dua, sebagai representasi keutuhan diri. Menurutnya, setiap teori tentang cinta harus dimulai dengan teori tentang manusia, tentang eksistensi manusia. Dan salah satu eskistensi tersebut adalah bahwa manusia mempunyai kehidupan yang sadar akan dirinya.

Manusia memiliki kesadaran akan dirinya, akan diri sesamanya, akan masa silam, serta kemungkinan-kemungkinan masa depannya. Manusia juga mempunyai kesadaran akan jangka hidupnya yang pendek, akan fakta bahwa ia dilahirkan diluar kemauannya dan akan mati diluar keinginannya. Juga kesadaran bahwa dia akan mati mendahului orang-orang yang dicintai atau mereka yang dia cintailah yang akan mendahuluinya. Erich Fromm menjabarkan obyek-obyek cinta yang berbeda yang ada pada manusia, yaitu: Cinta persaudaraan, cinta keibuan, cinta erotik, cinta diri dan cinta Tuhan. Cinta persaudaraan berbeda dengan cinta keibuan, begitu juga berbeda dengan cinta erotik, diri atau Tuhan.

Sebuah karya penting yang menunjukkan kepada Anda bagaimana menumbuh kembangkan hubungan kasih sayang Anda dan memperkaya hidup Anda.The Art of Loving telah membantu ratusan ribu pria dan wanita mencapai kehidupan yang bermakna dan produktif dengan mengembangkan kapasitas mereka yang tersembunyi untuk cinta. Sebuah buku yang sangat menggemparkan dan tak memihak oleh seorang psikoanalis terkenal Erich Fromm, yang mengupas tuntas cara-cara di mana emosi yang sangat luar biasa itu dapat mengubah arah kehidupan seseorang.Kebanyakan dari kita tidak dapat mengembangkan kemampuan kita untuk mencintai pada satu-satunya tataran yang benar-benar bermakna - sebuah cinta yang penuh dengan kedewasaaan, pemahaman diri, dan keberanian. Belajar mencintai memerlukan latihan dan konsentrasi. Lebih dari seni apa pun, belajar mencintai membutuhkan wawasan dan pengetahuan tulus. Fromm mengupas soal cinta dalam semua aspeknya: bukan hanya cinta romantis, yang begitu terselubung oleh konsepsi-konsepsi palsu, tetapi juga cinta orangtua terhadap anaknya, cinta kepada saudara, cinta erotis, dan cinta kepada Tuhan.



*Cinta merupakan seni



Premis yang pertama, yakni bahwa cinta adalah sebuah seni yang harus dimengerti dan diperjuangkan. premis kedua adalah kecenderungan sikap yang diidap oleh masyarakat zaman sekarang sama sekali bukan mereka menganggap remeh soal cinta. justru kenyataan yang terjadi adalah sekarang selalu haus akan cinta. Persoalan terpenting bagi kebanyakan orang adalah bagaimana agar dicintai, atau bagaimana agar bisa dicapai. tindakan yang ditempuh oleh kaum lelaki adalah bagaimana agar sukses, kaya, berkuasa, dengan tanpa melanggar batas-batas sosial yang ada. ditempuh oleh kaum perempuan adalah dengan membuat semenarik mungkin, dengan cara merawat tubuh, pakaian dan penampilan. Langkah pertama yang harus diambil dalam hal menghentikan cinta-mencintai adalah dengan menyadari bahwa cinta adalah suatu seni; sama seperti hidup. proses mempelajari seni dapat dibagi menjadi 2 bagian; menguasai teori dan menguasai prakteknya.



* Teori Cinta



Hanya ada satu kepastian, yaitu kepastian tentang masa lampau, sedangkan tentang masa depan, yang ada hanyalah kepastian tentang kematian. Manusia terlepas di zaman dan kebudayaan tempat ia hidup telah dihadapkan pada pertanyaan yang sama, yaitu bagaimana cara mengatasi keterpisahan, meraih kesatuan, mentransendensikan kehidupan serta memperoleh penebusan. Menurut filsafat abad pencerahan (Emmanuel Kant), tak seorang pun manusia yang lebih dijadikan alat bagi tujuan manusia lainnya. Semua manusia adalah sama. Manusia adalah tujuan, dan sampai kapan pun ia tetap tujuan. Manusia tak lebih menjadi alat bagi yang lainnya.

Cinta yang matang adalah kesatuan dengan sesuatu atau seseorang dibawah kondisi saling tetap mempertahankan integritas. Cinta adalah kekuatan aktif yang bersemayam dalam diri manusia. Cinta selalu memuat elemen-elemen dasar tertentu, yakni perhatian, tanggung jawab, penghargaan serta pemahan. Bukti bahwa cinta memuat perhatian (care) nampak jelas dalam cinta seorang ibu terhadap anaknya. Perhatian dan kepedulian memuat aspek lain dari cinta, yaitu tanggung jawab. Tanggung jawab bisa dengan mudah berubah menjadi dominasi dan kepemilikan jika tidak sesuai komponen ketiga, yaitu penghormatan atau penghargaan. Tanggung jawab akan buta jika tidak dituntun oleh pemahaman atau pengetahuan.



* Cinta dan disintagrasinya dalam masyarakat.



Cinta adalah sebentuk kapasitas yang terakhir yang terlahir dari karakter yang matang dan produktif. Kedudukan dari cinta yang tersebut telah digantikan oleh sederetan cinta semu yang mencermikan terjadinya disintegrasi cinta dalam kehidupan masyarakat kontemporer.



* Praktek cinta



Setelah membicarakan aspek teorirk dari seni mencintai, sekarang kita dihadapkan pada persoalan yang jauh lebih sulit, yaitu praktek seni mencintai. Mempelajari praktek seni tidak akan mungkin tanpa melatihnya secara langsung. Mencintai adalah pengalaman personal yang hanya dapat dimiliki oleh dan untuk orang yang bersangkutan. Praktek suatu seni memiliki syarat-syarat umum tertentu, yaitu kedisiplinan, mood, kesabaran, serta perhatian penuh untuk menguasai seni tersebut. Cinta adalah suatu tindakan yang disertai keyakinan dan kepercayaan, dan orang yang hanya memiliki sedikit keyakinan akan sedikit pula cintanya. Dasar pokok dari praktek seni mencintai, yaitu aktivitas. Oleh karenanya keyakinan bahwa cinta bisa terwujud sebagai fenomena sosial dan bukan sekedar fenomena individual merupakan keyakinan yang rasional, yang bersumber pada wawasan tentang hakekat manusia itu sendiri.

Inilah yang menarik dari pembahasan psikologi tentang cinta oleh Erich Fromm. Ia tidak memukul rata pemahaman tentang cinta, tetapi mengkalisifikasikannya berdasarkan obyek yang mana mempunyai arti berbeda pada masing-masing obyek. Cinta persaudaraan adalah cinta pada sesama manusia, cinta keibuan adalah cinta ibu pada anaknya, cinta diri adalah cinta pada diri sendiri; dan sebagainya. Sementara elemen-elemen cinta menurut Fromm adalah yakni perhatian, tanggungjawab, penghargaan serta pemahaman.



Buku The Art of Loving karya Erich Fromm ini bagaikan suatu ‘oase di gurun pasir’ akan tergesernya nilai cinta di zaman ini; zaman yang begitu menggemborkan peranan cinta sebagai perasaan pasif, peranan cinta yang ingin dipuja-puji oleh sesama manusia, peranan cinta yang melupakan makna mencintai. Bahkan Fromm pun menyatakan bahwa yang patut dipuja hanyalah Tuhan yang memiliki seluruh alam semesta. Perasaan yang muncul dan kegiatan dalam mencintai adalah bentuk kebahagiaan cinta seutuhnya yang mestilah transedental. Dalam buku 218 halaman ini, Fromm juga mengutip pendapat tokoh-tokoh besar tentang cinta, seperti Karl Marx, Jalaludin Rumi, Sigmund Freud dan Spinoza. Tetapi selain mengutip pendapatnya tentu Fromm juga mengutarakan kritiknya atas pendapat tokoh-tokoh tersebut yang menurutnya kurang tepat. Menurut Karl Marx cinta adalah kekuatan yang menghasilkan cinta, dan impotensi adalah ketidakmampuan untuk menghasilkan cinta