Senin, 22 Juli 2013

Jalan Panjang Mafia Berkeley di Indonesia







Judul : Mafia Berkeley dan Krisis Ekonomi Indonesia
Penulis: Revrisond Baswir
Penerbit : Pustaka Pelajar
Tahun terbit : Cetakan kedua, 2012


Masih ingat dengan Mafia Berkeley? Istilah yang sangat populis di masa pemerintahan Soekarno. Mafia Berkeley didefinisikan sebagai sekelompok ekonom yang dibina pemerintah Amerika untuk membelokkan arah perekonomian Indonesia ke jalan ekonomi pasar neoliberal. Padahal menurutnya, mempercayakan pemulihan ekonomi kepada para ekonom Berkeley akan sia-sia saja bahkan akan mengundang bahaya. Karena sebenarnya mereka tak mempunyai kesaktian mumpuni kecuali keadaan yang memungkinkan mereka untuk “berprestasi”.
Lebih dari satu dasawarsa sudah bangsa ini diterpa badai krisis dan meskipun telah berganti-ganti presiden, tetap saja terpuruk dalam jurang krisis. Boleh jadi krisis ekonomi yang tak kunjung usai ini akibat ulah mafia-mafia tersebut sejak orde sebelumnya. Satu dekade lalu kita masih menepuk dada ketika tingkat pertumbuhan Indonesia dianggap keajaiban. Namun sekarang, jangankan menepuk dada mengucapkan kata “tidak” terhadap pihak asing pun lidah terasa kelu. Indonesia, sebuah negeri yang penuh ironi. Mempunyai undang-undang dasar yang “dahsyat” untuk kesejahteraan rakyatnya, tapi justru bingung menerjemahkannya. Negeri yang mempunyai aset luar biasa melimpah, tapi tidak sedikit rakyatnya yang pingsan dan mati terinjak gara-gara berebut dana 300 ribu rupiah.
Pun demikian di penjuru nusantara banyak bayi-bayi yang mati kelaparan dan kurang gizi. Sementara banyak pejabat pembuat kebijakan dan pemodal yang dekat kekuasaan terus menggelumbungkan pundi-pundinya, membuat agenda-agenda tersendiri untuk mengeruk keuntungan dengan menggadaikan aset bangsa, dengan dalih privatisasi maupun ketidakmampuan anak bangsa dalam mengelola aset bangsa.  Ekonomi neoliberal, jurus ampuh untuk menyingkirkan kedaulatan rakyat di bidang ekonomi. Pengusungnya adalah mereka yang disebut Mafia Berkeley—orang-orang binaan Universitas California di Berkeley Amerika. Emil Salim, Mohammad Sadli, dan Frans Seda adalah generasi tua golongan ini. Sedangkan duet Dorodjatun dan Budiono merupakan Mafia Berkeley generasi kedua.
Sepak terjang mereka kerap menjadi buah bibir media massa. Mafia Berkeley dianggap telah berhasil menyelamatkan ekonomi Indonesia dari jurang kehancuran. Dengan bantuan tangan besi Soeharto dan pihak asing mereka menyemai benih kapitalisme di Indonesia. Berpuluh tahun kemudian benih yang mereka tanam menyebabkan resesi ekonomi yang belum terselesaikan hingga kini. Setelah sempat tersingkir dan tidak dipercaya pada masa kabinet Gus Dur, Dorodjatun dan Budiono menduduki pos Menko Perekonomian dan Menko Keuangan pada pemerintahan Megawati. Ditambah Rini M. Suwandi dan Laksamana Sukardi, mereka berempat dijuluki the Dream Team—atau the Dreaming Team (tim pemimpi) menurut penulis buku ini. Tak beda dengan seniornya, Dorojatun-Budiono pun lebih suka mengambil kebijakan yang berpihak pada pasar daripada rakyat banyak. Privatisasi BUMN dilakukan. Kebijakan-kebijakan turunannya seperti penghapusan subsidi, liberalisasi sektor keuangan dan perdagangan pun tak bisa dihindarkan.
Alih-alih memperbaiki ekonomi Indonesia, para ‘Mafia’ justru merampok Sumber Daya Alam dari penduduk Indonesia melalui privatisasi. Tindakan tersebut lebih layak disebut sebagai rampokisasi, seperti judul bab 7 buku ini. Penulis pun sampai pada pendapatnya bahwa privatisasi adalah jalan menuju neokolonialisme, penjajahan oleh negara-negara kaya dan perusahaan transnasional (Multi National Corporation). Buku ini  merupakan kumpulan artikel di berbagai surat kabar yang ditulis Revrisond Baswir ini mencoba mengkritisi keterpurukan bangunan ekonomi bangsa akibat kebijakan yang tidak tepat. Di awal-awal tulisannya, penulis menguraikan tentang kegagalan pembangunan yang diawali dengan pengadopsian konsep-konsep pembangunan, dimana konsep tersebut diterapkan secara mentah-mentah. Orientasi dari konsep tersebut adalah pertumbuhan ekonomi tanpa mewaspadai ancaman rezim modal internasional semacam IMF dan Bank Dunia. Akibatnya Indonesia berada pada posisi yang terdikte. Kondisi ini juga didukung dengan keterlenaan para pembuat dan pemikir kebijakan yang berkiblat pada “madzab” Berkeley yang cenderung meliberalkan
perekonomian. 
Kerja sama Indonesia-IMF menjadi salah satu catatan menarik dalam buku ini. Salah satu yang patut diperhatikan adalah kebijakan dalam melakukan privatisasi BUMN. Privatisasi sengaja dipaksakan IMF seolah sebagai jalan lurus menuju neoliberalisme dan neokolonialisme. Pelaksanaan privatisasi di Indonesia tampak dilakukan secara manipulatif dan menyederhanakan pengertiannya sehingga berdampak pada peranan negara yang terbatas sebagai penyelenggara perekonomian. Mengaburkan kaitannya dengan agenda-agenda ekonomi neoliberal yang lain dan transformasi besar perekonomian Indonesia menuju sistem ekonomi neoliberal (hal. 151). Tak dapat disangkal, kebijakan ini hanya akan dimanfaatkan oleh pemodal asing serta para konglomerat yang telah berhasil mengamankan kekayaan pribadinya, meskipun perusahaan yang go pubic telah dinyatakan kolaps.
Poin  yang dapat dipetik dari buku ini adalah bahwa pemerintah harus segera “putus hubungan” dengan IMF. Kenapa? Karena jeratan IMF telah menurunkan kedaulatan ekonomi, berjalan lamban dengan hasil minimal, menelan biaya sosial-ekonomi yang mahal. Sementara Korea Selatan dan Thailand, tidak sampai dua tahun telah melepaskan diri dari IMF. Bahkan, Malaysia pada awal krisis secara tegas menolak untuk dibantu IMF. Mereka tidak ingin di bawah cengkeraman “tangan” IMF, karena tak ingin kedaulatan ekonominya dikendalikan lembaga internasional tersebut. Mereka tak ingin menggadaikan nasionalisme ekonominya. Namun Indonesia, yang –katanya– punya sistem ekonomi Pancasila, justru terjebak dalam jaring-jaring IMF, dan ternyata gagal memulihkan kondisi perekonomian. Sampai kini peran IMF dengan filosofi yang dipegangnya tak selalu cocok untuk negara berkembang seperti Indonesia. Kebijakan-kebijakan IMF yang meliberalkan perekonomian dengan membuka pasar barang dan modal seluas-luasnya, sistem kurs bebas, mengetatkan APBN, menjual BUMN, dan membatasi intervensi pemerintah, tidak jarang justru bersifat kontra produktif bagi perbaikan ekonomi. Kita lihat saja sekarang bagaimana penghapusan subsidi listrik dan BBM yang merupakan kebutuhan vital, menyebabkan harga-harga barang lain ikut naik, rakyat pun semakin tercekik.
Tak kurang, peraih Nobel Ekonomi 2001, Stiglitz, dan penulis buku Globalization and Its Discontent, yang juga pernah menjadi Wakil Presiden Bank Dunia memberikan kritik bahwa kebijakan IMF dengan model ekonominya yang diterapkan di negara-negara miskin, dibuat tanpa memperhatikan kesiapan sosial, politik, dan kelembagaan sebuah negara. Deretan kejadian yang kita rasakan sehari-hari, mulai dari maraknya gula impor hingga mahalnya BBM, adalah sebagian hasil kebijakan pasar bebas ala IMF. Dalam konteks model ekonomi pun Leontief (1972) yang juga pernah memperoleh hadiah Nobel Ekonomi, mengatakan bahwa banyak model ekonomi yang tidak mampu menyajikan pengertian yang sistematik tentang struktur dan operasi dari realitas sistem ekonomi, melainkan hanya berdasar pada seperangkat asumsi yang akhirnya menghasilkan kesimpulan yang precisely stated namun tak relevan. 
Sepertinya hal ini sejalan dengan pemikiran Bung Hatta yang diangkat kembali oleh penulis buku ini bahwa penjelasan teori ekonomi hanya mengandung kebenaran sejauh diterapkan berdasar pada asumsinya. Namun karena asumsi teori ekonomi tidak ditemukan dalam realitas ekonomi, penjelasan teori ekonomi itu harus dilihat sebagai tools dalam memahami realitas ekonomi (hal. 249). Dari sinilah maka diperlukan juga politik ekonomi dan politik perekonomian. Masih banyak kritikan Revrisond yang terkandung dalam buku ini. Bagaimana dia memotret masalah pendidikan nasional yang di-“privatisasi” dengan BHMN-nya, pemerintah sepertinya tertekan agar menukar sistem pendidikan nasional dengan pertumbuhan ekonomi. Hak-hak anak-anak negeripun terbengkelai, sebab biaya pendidikan terlalu mahal dan tak terjangkau. Padahal satu dari sedikit harapan kita untuk memperbaiki ekonomi adalah dengan memperbaiki sistem pendidikannya. Juga potret korupsi dimana tingkat perkembangannya sangat luar biasa dan dalam melakukan korupsi para penguasa dan pengusaha cenderung bersaudara (hal 223). Di akhir-akhir buku ini, Revrisond memotret pemikiran Bung Hatta yang salah satunya tentang koperasi dimana cita koperasi jauh panggang dari api dengan realitas penyelenggaraannya saat ini.  Penulis menutupnya dengan pernyataan, "Selama pendidikan ekonomi di Indonesia masih menggunakan buku berpaham liberal seperti Adam Smith, J.M Keynes. Selama itu juga Mafia Berkeley di Indonesia akan beregenerasi."

Jumat, 12 Juli 2013

Dosa Mafia Berkeley



Buku : MAFIA BERKELEY DAN PEMBUNUHAN MASSAL DI INDONESIA
Penulis : David Ransom
Penerbit : Koalisi Anti Utang, 2006

Semua dimulai pada saat kemerdekaan Indonesia, dimana terjadi gerakan - gerakan revolusioner di Asia, dari India di Barat sampai Korea di Timur dan Cina di Utara sampai Filipina di Selatan. Bagaimana dengan Indonesia? Meskipun sebelumnya secara gigih bertempur melawan Belanda, tetapi kemerdekaannya (dalam hal ini pengakuan kedaulatan ) tidak diperoleh melalui pertempuran besar seluruh rakyat, melainkan melalui kesepakatan para pemimpinnya. Saat itu pemimpin yang dekat dengan barat “mengatur kemerdekaan Indonesia” di gedung – gedung mewah di Washington dan New York. Pada tahun 1949, orang – orang amerika membujuk Belanda agar mengambil keputusan (mengakui kedaulatan Indonesia) sebelum revolusi di Indonesia berlangsung leih lama dan rakyat indonesia memahami dan mencintai nasionalisme.
Pada tahun itu pula kemerdekaan politik Indonesia diakui, dengan rancangan politiknya disusun dengan bantuan diplomat Amerika, dengan tetap menerima kehadiran Belanda secara ekonomi, tetapi pintu lebih terbuka lebar untuk Amerika Serikat, baik dibidang ekonomi dan kebudayaan. Hal ini dapat dilihat dari kesepakatan dari Indonesia yang melibatkan Soedjatmoko dan Soemitro yang merupakan anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang lebih condong ke pihak Barat jika dibandingkan dengan partai – partai lain. Kesepakatannya ialah bagi pihak Amerika yang mejalankan strategi Marshall Plan di Eropa akan sangat bergantung pada ketersediaannya sumber daya di Asia, dan ia menawarkan kerja sama yang menguntungkan Amerika.
Keterlibatan Utang luar negeri Indonesia pertama kali pasca kemerdekaan ialah dengan menyetujui hasil Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Indonesia, yang baru saja merdeka dipaksa menanggung utang hindia belanda selama perang dunia berlangsung. Akan tetapi, utang luar negeri mulai terhenti melalui istilah terkenal“Go to hell with your Aid” yang dicetuskan oleh Presiden Soekarno. Dapat diterima logika jika akhirnya isu keterlibatan asing dalam proses kejatuhan Soekarno santar dalam skenario Gerakan 30 September 1965. Peranan dua “Begawan ekonomi” Indonesia, Soemitro Djojohadikusumo dan Sudjatmoko, pasca kemerdekaan Indonesia. Indonesia yang diakui Belanda secara politik dalam meletakkan konsep dan kerangka pikir untuk pembangunan Bangsa Indonesia.
Keterlibatan Universitas terkenal di Negara-negara barat (MIT, Cornell, Berkeley, dan Harvard) untuk mencetak ahli-ahli yang namanya juga dipromosikan oleh kalangan barat cukup strategis untuk mencekoki paham “liberalis” kepada kepala calon-calon pemimpin Indonesia. Bahkan menurut penulis, Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Soemitro Djojohadikusumo pun disulap untuk turut mencekoki paham-paham ekonomi barat. Tak hanya sampai pada Soemitro, mereka juga membiayai kuliah murid Soemitro seperti Emil Salim ke Universitas Bekeley, California. Namun, semasa pemerintahan Soekarno, peran aristocrat ini banyak mendapat tentangan. Soekarno berpendapat kedua aristocrat tersebut pro neokolianlisme dan Imperialisme. Yang tentu saja akan membahayakan bagi kaum Marhaen. Hingga akhirnya, angin pun berubah. Kudeta yang dilakukan oleh Soeharto ternyata sukses membuat Begawan ekonomi masuk dalam lingkar kekuasaan. Prestasi pun, dicatatkan oleh mereka dengan menekan angka inflasi Indonesia yang mencapai 600% pada 1966. Meskipun harus “menjual” SDA Indonesia dengan melegalkan penanaman modal asing.
Soeharto sangat yakin akan kemampuan ekonom tersebut, hingga Soeharto berkenan membuat SESKOAD (Sekolah untuk para perwira angkatan darat). SESKOAD sendiri dipandang sebagai salah satu tempat bagi tangan-tangan Berkeley. Mengirimkan sejumlah perwira menengah ke luar negeri untuk berlatih. Ketika kembali, perwira-perwira ini yang akan menjadi pemimpin-pemimpin untuk menghadapi ideologi sosialis / komunis yang tidak menguntungkan barat. Pada bagian III “Harvard, semuanya dibawa pulang”, kita dapat menemukan mengapa kesejahteraan bangsa Indonesia begitu sulit tercapai, mengapa semua terlihat benar dari sisi ilmu ekonomi, mengapa saat ini tempat-tempat “basah” dan menghasilkan uang banyak dikuasai Negara asing?

Buku yang diterbitkan KAU ini bisa saja sebuah buku yang tidak ditulis sebagaimana kaidah ilmiah, tidak memiliki data valid dan banyak merupakan isu-isu rekayasa. Tetapi membaca buku ini dan melihat keadaan bangsa Indonesia, sungguh memiliki korelasi kuat. Bagaimana kebijakan ekonomi liberal diterapkan, seperti privatisasi BUMN, eksploitasi Freeport di papua. Yang tentu saja mengkhianati konstitusi pasal 33 dan membunuh hajat hidup orang banyak. Itulah sebabnya buku ini dinamakan Mafia Berkeley dan Pembunuhan Massal. Pemilu lima tahun sekali begitu murah jika harus disogok dengan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat, JAMKESMAS, PNPM, dan sejumlah program lain yang sejatinya hanya mengeluarkan receh-receh jika dibandingkan dengan bongkahan-bongkahan ‘emas’ yang dibawa ke luar negeri oleh pihak Asing. Buku sebanyak 80 halaman ini menguak misteri dibalik penggusuran Soekarno dari tampuk kepemimpinan di Indonesia yang terjadi pada tahun 1965. Dalam peristiwa ini disebutkan bahwa telah terjadi sebuah permainan intrik intelektuil internasional yang melibatkan banyak pihak seperti CIA, Ford Foundation, Rockefelller Foundation, Universitas – universitas terkemuka AS, dsb.