Rabu, 19 Desember 2012

Kurikulum Mencerdaskan, katanya .....................


Judul Buku: Kurikulum yang Mencerdaskan. Visi 2030 dan Pendidikan Alternatif
Penulis: Tim Forum Mangunwijaya
Penerbit: Kompas, Jakarta
Cetakan: I, September 2007
Tebal: xvi + 215 halaman

Seringnya Indonesia berganti kurikulum bukti bahwa pemerintah tidak dapat membuat kurikulum yang fleksibel dalam meghadapi tantangan zaman – HAR Tilaar


Wajah buram dunia pendidikan di Indonesia tidak segera beranjak membaik, bahkan makin memprihatinkan. Kita semua dapat membuktikannya, lihatlah berapa banyak sekolah yang telah ambruk, gedung rusak, minimnya sarana pendidikan, minimnya gaji guru, lulusan yang tidak berkualitas, kurikulum yang tidak jelas orientasinya, diskriminasi dalam pendidikan dan sebagainya yang ramai memenuhi berita di media massa.

Atas fenomena tersebut, pemerintah pun coba menanggapi dan mencoba mencari solusi atas beberapa keadaan yang terjadi dengan mengeluarkan pelbagai kebijakan, misalnya dengan meluncurkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang berbasis kompetensi, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), otonomi sekolah, dan lainnya. Sayangnya, seringkali kebijakan tersebut justru semakin membuat runyam dan menjauhkan pemerintah sendiri dari maksud baik untuk mencari jalan keluar menuju perbaikan.

“Pelbagai diskusi telah dilakukan untuk mengatasi masalah yang runyam itu. Tema-tema kurikulum, proses belajar-mengajar, sekolah ramah anak, multikulturalisme, pendidikan sebagai pembudayaan, pendidikan demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM), hingga pendidikan berkeadilan sosial marak menjadi perbincangan para aktivis pendidikan,” Ucap Lody F Paat (Dosen Jurusan PLB UNJ), disela-sela diskusi mengenai Program Profesi Guru (PPG) 28/11.

Menarik untuk membandingkan pandangan tokoh-tokoh pendidikan swasta yang tergabung dalam forum Mangunwijaya. Dalam buku ini para pengamat dan praktisi pendidikan yang memfokuskan perhatian mereka dalam konteks Era Reformasi justru kembali bertanya mengenai arah dan identitas pendidikan yang berkembang seperti bola api yang tidak mudah dijinakkan, ditinjau dari keterangan “yang dapat diamati selama pendidikan di Era Orde Baru”. Secara menyeluruh himpunan tulisan ini mengenai jalan keluar terhadap situasi pendidikan Tanah Air yang semakin bermasalah.

Pokok persoalan yang selalu diperdebatkan berkaitan dengan kurikulum ialah Apakah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sekarang ini merupakan kurikulum yang mencerdaskan ataukah justru sebaliknya? Siapa yang benar-benar harus dicerdaskan: siswa, guru, kepala sekolah, pengawas, atau siapa? Pertanyan lain muncul, namun yang harus dicatat saat ini ialah para guru “sibuk” bergelut dengan KTSP ini. Ada yang jatuh bangun menyusun atau mengembangkan sendiri setelah membaca berbagai sumber, tidak kurang pula yang sekedar menunggu perkembangan dalam arti “nanti tinggal mencontoh saja” (copy-paste).

Guru yang mau bekerja keras pasti dapat memberikan yang terbaik buat sekolah dan para peserta didiknya. Misalnya, ada seorang guru yang sukses karena pernah menerapkan Managemen Berbasis Sekolah (MBS) selama empat tahun, berhasil menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Sebelum sampai ke RPP, ia bergulat dulu menyusun Silabus, dan berhari-hari mencermati Standar Isi (SI) yang mencantumkan Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD). Selanjutnya menyusun Indikator, Kegiatan Pembelajaran dan alternatifnya, serta menentukan evaluasinya (halaman. 66). Buku ini mendorong agar guru bisa menjadi cerdas dan mempunyai keberanian untuk memaknai SK dan KD, diperlukan: 1) model pelatihan (bimbingan teknis); 2) hindarkan guru-guru dari hanya menjiplak contoh; 3) optimalkan Kelompok Kerja Guru (KKG) atau Guru Mata Pelajaran (MGMP); serta 4) proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAKEM) adalah keharusan (halaman. 74).

Selain itu ditegaskan pula bahwa kurikulum bukanlah satu-satunya penentu mutu pendidikan. Ia juga bukan perangkat tunggal penjabaran visi pendidikan. Meskipun demikian, kurikulum menjadi perangkat yang strategis untuk menyemaikan kepentingan dan membentuk konsepsi dan perilaku individu warga. Di Indonesia kurikulum berubah-ubah sejak tahun 1945 sampai sekarang. Pada faktanya dapat dikatakan bahwa kurikulum yang berlaku dalam suatu negara, termasuk Indonesia , seringkali digunakan sebagai sarana indoktrinasi atau kepanjangan tangan dari suatu sistem kekuasaan. Sehingga bisa dibayangkan kalau selama ini kita masih menggunakan satu kurikulum yang sama yaitu Kurikulum Nasional di seluruh Indonesia .Hal ini sebenarnya lebih bermuatan politik daripada budaya lokal. Kurikulum Nasional secara tidak langsung bersifat “memaksa” yaitu dengan upaya membentuk keseragaman berpikir. Dalam arti bahwa para guru di pelosok negeri ini hanya boleh berpikiran tunggal sesuai indoktrinasi politik penguasa masing-masing era, yang jadi korban ya rakyat Indonesia . Menurut saya, peran guru hanya “dicekoki” atau “disuapi nasi” Kurikulum Nasional oleh penguasa. Ini yang membuat guru tak ubahnya robot bernyawa (buruh).

Visi Pendidikan Indonesia akan sulit terwujud. Jika pendidikan itu masih berpatron pada  guru yang masih bertindak sebagai yang maha tahu, sedangkan murid yang maha tidak tahu (Paulo Freire). Menurut saya, kurikulum seharusnya berorientasi pada realitas kehidupan yang ada. Ini pernah dilakukan sendiri oleh Tan Malaka melalui SI Onderwijs Semarang tahun 1920. Namun, kurikulum yang diterapkan oleh pemerintah ada Indonesia selama ini sangat tidak koheren dengan dunia nyata. Lembaga pendidikan harusnya memberikan jawaban dari permaslahan yang ada. Mengutip pernyataan WS Rendra, apalah arti berpikir bila terpisah dari masalah kehidupan.

Kamis, 06 Desember 2012

Awal untuk Pelajari Karl Marx




Judul Buku     : PETA PEMIKIRAN KARL MARX
(Materialisme Dialektis dan Materialisme historis)
Penulis       : Andi Muawiyah Ramly
Penerbit     : LkiS, Yogyakarta
Cetakan     :  2000
Tebal         : xiv + 195 halaman

Marxisme yang selama ini dianggap "hantu" di Indonesia, menyebabkan masyarakat sangat takut untuk mengenal, apalagi masuk kepada luas dan tajamnya pemikiran Karl Marx. Jika dogma ini terus tumbuh, suatu kerugian yang sangat besar untuk mengabaikan pemikiran karl marx sebagai ilmu pengetahuan dan juga sebagai seorang ideolog yang banyak melakukan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan. Sebenarnya masyarakat tidak perlu larut dengan doktrin yang dibentuk oleh pemerintah orde baru tersebut. Memang, jika kita mempelajari pemikiran "mbah jenggot" ini secara tertutup, asal telan saja, maka jelas akan sangat berbahaya. Tetapi jika kita memahaminya secara terbuka dan kritis, pada dasarnya "tidak ada yang salah" dengan pemikiran-pemikiran Marx.
Di awal buku Peta Pemikiran Karl Marx (Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis) karya Andi muawiyah Ramly ini, penulis menolak anggapan bahwa seorang yang mempelajari Marxisme otomatis menjadi seorang marxis. Dengan merujuk pada tokoh Mohammad Hatta yang mempelajari Marxisme namun sangat teguh memegang ajaran Islam. Penulis juga mencoba menjembatani kesalahpahaman yang mengidentikkan Marxisme dengan Komunisme, karena keduanya berbeda. Sementara itu, Friedrich Engels dan Karl Kautsky membakukan ajaran Marx dengan istilah "Marxisme" dan melakukan penyederhanaan-penyederhanaan terhadap pemikiran Marx yang dianggap banyak pengamat menyimpang. Mungkin sebab itulah Karl Marx berujar "Yang saya tahu, saya bukan seorang Marxis". Karena itu penulis menganggap bahwa Marxisme tidak sama dengan ajaran Marx.
Di awal buku ini pun disampaikan tiga alasan yang melatarbelakangi penulis dalam mengetengahkan peta pemikiran Marx. Pertama, ajaran Karl Marx menawarkan janji penyelamatan sosial, sehingga para penganutnya mempunyai rasa optimis untuk mencapai kedamaian dan keamanan serta pemecahan berbagai persoalan. Kedua, hampir setiap aktivitas manusia modern berada dalam lingkup dan bahasan dari pola gagasan marx. Jadi tidak dapat dilewatkan dalam babakan akademisi dan kehidupan praksis. Ketiga, ajaran Marx tidak pernah usang untuk dibicarakan karena sesuai dengan realita dan perubahan zaman.
Bab pertama buku ini mengupas habis riwayat hidup Marx. Pada tanggal 5 mei 1818 Karl Heinrich Marx terlahir di Traves, Prusia (sekarang Jerman). Pada usia 23 tahun ia memperoleh gelar doktor dalam ilmu filsafat, dengan disertasi :The Difference Between the Natural Philosophy of Democritos and Natural Philosophy of Epicurus ( Perbedaan antara Fisafat Alam Democritos dan Filsafat Alam Epicurus). Marx menjadi wartawan karena gagal merintis karier dosen. Kemudian ia pindah ke Koln dan menjadi seorang Pemimpin Redaksi majalah oposisi Rheinissche Zeitung. Setelah majalahnya diberangus karena kritikannya terhadap pemerintah terlalu tajam, Marx pindah ke Paris. Ini adalah awal pengembaraan yang panjang, di sini ia merasakan penderitaan , pengucilan , pengusiran, dan penjara yang sangat berpengaruh terhadap kesadarannya tentang arti kemiskinan.
Marx banyak mengutip ajaran pemikir-pemikir sebelumnya untuk menyempurnakan teorinya. Marx menggali ajaran revolusi dan Sosialisme dari Perancis , Ekonomi Politik dari Inggris serta filsafatnya yang ditimba langsung dari tradisi kefilsafatan Jerman, yaitu Hegel dan Ludwig Fuerbach sehingga lahirlah apa yang dinamakan filsafat Materialisme Historis.
Filsafat materialisme adalah anggapan dasar bahwa kenyataan berada di luar persepsi manusia, demikian juga diakui adanya kenyataan objektif sebagai penentu terakhir dari ide (hal 90). Materialisme mengarah pada anggapan bahwa kenyataan yang sesunguhnya adalah benda atau materi, karena itu persoalan roh atau jiwa dianggap bukan sebagai substansi yang berdiri sendiri, tetapi dirumuskan sebagai proses materi.
Marx mengartikan Dilektika Materialisme sebagai keseluruhan proses perubahan yang terjadi terus menerus tanpa ada perantara (halaman 110). Materialisme Historis adalah penafsiran sejarah dari sudut ekonomi. Marx bertumpu pada dalil bahwa produksi dan distribusi barang dan jasa merupakan dasar untuk membantu manusia mengembangkan eksistensinya. Jadi di sini digambarkan bahwa kehidupan sosial ekonomi yang mendasari setiap kiprah manusia. Marx juga menyatakan bahwa riwayat pada setiap masyarakat adalah sejarah pertentangan kelas. Konsep pertentangan kelas merupakan pokok soal yang diturunkan dari cara produksi dan hubungan produksi yang timpang dalam masyarakat.
Buku ini merupakan bacaan yang cuku[ menarik jika kita mengkajinya secara kritis, terbuka dan tidak asal "telan" saja. Sudah saatnya bangsa Indonesia mulai membuka diri dan bersikap lebih objektif terhadap realitas yang terjadi, bukan hanya menakut-nakuti masyarakat dengan isu bahaya laten yang malah membelenggu ruang demokrasi di bumi Indonesia. Karena setelah sekian lama kita berjalan dalam ketakutan yang sengaja dibuat, namun realitanya semua itu hanya membatasi pemikiran manusia yang haus akan ilmu. Saatnya telah tiba untuk sama-sama membuka cakrawala pengetahuan untuk melangkah menuju sebuah kemajuan.