Senin, 22 Oktober 2012

Mahasiswa atawa Masihsiswa, Sebuah Kontemplasi Sumpah Pemuda


Menjadi mahasiswa biasanya tidak lepas dari predikat-predikat turunan yang terlanjur melekat. Idealis,kritis,penerus bangsa calon pemimpin, changemaker dst, yang membuat sosok “mahasiswa” memiliki karakteristiknya sendiri.

Mungkin, menjadi mahasiswa adalah tahapan paling seksi yang dilewati seseorang dalam hidupnya. Seperti petualang yang mencari pulau-pulau tak berpenghuni, mahasiswa senantiasa mencari sebuah petualangan. Tak pernah lelah menghisap tembakau, menghirup polusi, meminum kafein dan membuang uang. Mungkin karena ini juga mereka lebih tinggal  di kostan atawa pulang larut malam. Tapi mencoba serius sedikit, menjadi mahasiswa adalah pengalaman sekali seumur hidup yang sangat berharga. Tidak hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk masyarakat.
Katanya, pada diri mahasiswa dititipkan sebuah kesadaran. Kegelisahan yang menunggu untuk diasah menjadi kearifan. Di dalam tubuh anak muda yang berapi-api itu terdapat jiwa yang menggeliat. Itu juga mengapa pemuda selalu diperebutkan penguasa dan pasar. Mahasiswa, juga anak muda dalam arti umum adalah kendaraan menuju masa depan, entah dalam arti politis maupun ekonomis.
Dalam konteks Indonesia pasca reformasi, mahasiswa menjadi individu yang terbelah. Mereka bingung dalam mendefinisikan dirinya. Mahasiswa kini selalu ditakut-takuti oleh pelbagai “pahlawan”. Mulai dari pahlawan STOVIA, pahlawan angkatan 1966, pahlawan Malari 1974, pahlawan NKK/BKK dan yang paling segar tentu saja pahlawan 1998. Maka mahasiswa selalu digugat untuk berjuang, turun ke jalan dan mendampingi masyarakat. Tetapi ketika mereka beraksi, mereka digugat lagi: sebagai tukang onar dan biang kemacetan. Lantas, ketika mahasiswa gemar mengunjungi K-POP sampai BUBBLEGUM POP, mereka lagi-lagi dihujat sebagai orang yang hanya “DOYAN REKREASI TANPA PERNAH BERKREASI”.
Di antara peristiwa-peristiwa tersebut mahasiswa selalu terombang-ambing statusnya antara tetap menjadi si proletar atawa mengakui dirinya sebagai  kaum borjuasi. Hal ini terkait dengan posisi mahasiswa yang sebetulnya berada pada transisi untuk menemukan habitat yang nyaman. Coba lihat nama-nama seperti Herman Hendrawan dan Petrus Bima Anugrah yang saat ini seperti hilang ditelan bumi bersamaan dengan hilangnya raga mereka.

Coba Melupakan Romantisme Gerakan
Selama 14  tahun terakhir, perubahan penting apa bisa diharapkan dari mahasiswa melalui aksi unjuk rasa dan demonstrasi jalanan, ketika semua lapisan masyarakat kini melakukan hal yang sama ?

Pertanyaan ini hadir dalam sekeliling saya ketika menyaksikan aksi demonstrasi jalanan terjadi hampir ada setiap hari diseluruh Indonesia dan dilakukan oleh semua lapisan masyarakat, semenjak rezim Soeharto berakhir 1998 dan era keterbukaan melanda sampai sekarang. Di layar tv, media cetak maupun on-line, sangat sering diberitakan mengenai aksi demonstrasi jalanan dengan pelbagai macam tuntutan, mulai dari kisruh pilkada samapi pemutaran film yang menghina agama tertentu.
Di zaman Soeharto, aksi demonstrasi terbuka melalui demonstrasi jalanan yang sebagian besar diprakarsai oleh mahasiswa, begitu sangat berwibawa , mengundang simpati dan juga rasa haru bagi mereka yang merasa nasibya diperjuangkan melalui aksi-aksi tersebut. Permasalahan yang diangkat begitu dekat dan dirasakan oleh masyarakat, mulai dari BBM, sembako hingga menuntut turunnya rezim otoriter. Upaya perubahan ke kondisi yang lebih baik benar-benar dititipkan oleh masyarakat kepada aksi-aksi tersebut, karena pada saat itu kepercayaan terhadap tangan penguasa untuk mengubah keadan menjadi lebih laik telah pudar atawa memang mungkin tidak pernah ada sama sekali. Tak lupa mereka menggunakan almamater sebagai identitasnya dalam aksi, sangat berbeda makna penggunaan almamater mahasiswa saat ini yang hanya digunakan pada saat menonton acara di stasiun televisi.
Lalu bagaimana dengan pertanyaan awal yang diajukan di atas ? Menjawabnya memang tidak mudah, tidak semudah menanggapi sebuah pernyataan atawa pertanyaan berkobar 140 karakter penuh semangat di twitter mengenai kondisi ekonomi,politik, social budaya. Setelah 1998, diperlukan perubahan cara pandang yang berarti untuk memahami dan mengartikan ulang kembali aktivitas “melawan” dan “perlawanan”. Masalahnya, kita masih terjebak dalam paradigma lama meski musuh tak lagi satu dan semesta. Setiap generasi memerlukan logika perlawanan yang berbeda dalam sebelumnya, sesuai kebutuhan dan kesadarannya sendiri. Namun, sebagian besar dari kita tidak memahami perubahan ini. Apalagi mengakuinya.[1]
Tolok ukur kepahlawanan mahasiswa pun berubah. Kita harus mengatakan selamat tinggal pada “heroisme” mahasiswa yang bangga karena masuk hotel prodeo, menjahit mulut atawa dalam contoh yang paling ekstrim yaitu membakar diri. Hal-hal yang seperti itu tidak lagi menggugah masyarakat. Alih-alih, aksi seperti itu menjatuhkan martabat mahasiswa bahwa mereka cenderung mengedepankan otot ketimbang otak, kekerasan ketimbang dialog dan jalan pendek ketimbang visi panjang. Ada hal yang bertentangan, antara hasrat menjadi heroic untuk memperjuangkan sesuatu dan kondisi masyarakat yang telah sangat pecah dan apatis. Maka kematian saat demonstrasi kini sangat mungkin dibilang konyol. Spanduk, coretan dan pekikan perjunagan sangat mungkin tampak basi.
Secara relative, gerakan mahasiswa memang tampak melembek. Harus diakui bahwa mereka jadi begitu manja dan “wangi”. Hal ini terlihat ketika ada gerakan okupasi di pelbagai pelosok dunia, mahasiswa tampat tenang dan terisolir dari wacana gerakannya. Dan yang terjadi, kini mahasiswa Indonesia  digiring pada banalnya budaya konsumsi yang reaksioner dalam mewarnai rupa dan logika gerakan social pasca-reformasi. Kita memang tidak seharusnya menghindari perdebatan ini. Pelajaran justru harus diambil darinya, apa metode perlawanan yang paling efektif saat ini ? menurut ukuran siapa?[2]
Kita tentu tak mudah melupakan Sondang Hutagalung yang mengakhiri hidupnya karena menginginkan hidup yang lebih laik bagi jutaan orang yang tak dikenalnya. Mungkin, ia terpengaruh oleh bouazizi dari Tunisia yang rela membakar diri karena frustasi dengan negara yang tidak lagi mempedulikan rakyatnya, yang setelah kematiannya menggerakan rakyat Tunisia untuk turun ke jalan memperjuangkan hidupnya. Sondang rela menjadi martir yang tidak diakui oleh banyak orang. Karena perlawanan selalu merupakan sebuah usaha kolektif, Sondang seharusnya jadi momentum untuk mengartikan kembali motif perlawanan tersebut. Sayangnya, teman-teman seusianya justru lebih asik dengan dirinya sendiri, mengejar target kelulusan, mencari pekerjaan yang mapan, bersosial media ria ,takjub akan budaya luar termasuk menonton K-POP dan marah apabila budaya sendiri diklaim negara tetangga. Namun apa yang salah dari itu semua? Mungkin tidak ada. Sebab, mahasiswa kini adalah entitas yang tidak tunggal. Atawa jangan-jangan memang tidak pernah tunggal. Dengan demikian akhirnya, keberadaan Sodang menjadi penting sebagai manusia, tapi tidak melulu karena statusnya sebagai mahasiswa.
Mahasiswa adalah individu yang akan selesai, cepat atawa lambat. Mereka harus meninggalkan statusnya ketika toga dan wisuda telah dikenakan pada tubuhnya. Setelah itu mereka berhadapan dengan kemungkinan baru, tegangan, perubahan dan negosiasi. Disitulah identitas mereka terbentuk. Dalam ragam ruang dan rupa. Namun satu hal yang perlu diingat bahwa sebelum berkarya untuk orang lain, mahasiswa bukanlah siapa-siapa.


[1] Ideologi Gerakan Pasca-Reformasi, As’ad Said Ali, LP3ES, 2012 hlm.117
[2] Ibid hlm .146

Senin, 01 Oktober 2012

Mahasiswa Membludak, Kampus pun Sesak


Penerimaaan mahasiswa yang membludak hanya diimbangi dengan pembangunan yang mangkrak
 
Masa Pengenalan Akademik (MPA) bagi mahasiswa baru telah usai. Jadwal perkuliahan pun kembali aktif tertanggal tiga September. Matahari menyengat tepat di atas kepala. Universitas Negeri Jakarta (UNJ) pun penuh sesak dengan kendaraan yang sangat banyak hingga memakan lahan di luar lahan parkir. Bukan tanpa sebab kampus menjadi sangat padat, hal tersebut disebabkan penerimaan mahasiswa baru (maba) tahun 2012 ini sangat membludak, yakni sebesar 6200 maba.

Penerimaan maba tahun ini memang tidak sebanding dengan kelulusan mahasiswa yang tiap tahun kurang dari tiga ribu wisudawan. “Sebenarnya penerimaan maba tahun ini diluar dugaan, di fakultas teknik (FT) hanya membuka 1255 maba. Akan tetapi pihak Universitas malah meloloskan 1575 maba,” ucap Tuti Iriani, Pembantu Dekan (PD) III FT.

Tuti menambahkan, hal ini cukup membuat kerepotan pihak fakultas untuk membagi mahasiswa ke dalam beberapa kelas. Sebab, kelas yang tersedia tidak berbanding lurus dengan mahasiswa yang diterima. Selain keterbatasan ruang kelas, membludaknya mahasiswa baru pun turut makin pula menambah parah kesemrawutan parkiran. Karena jumlah kendaraan bermotor makin banyak. Hal tersebut tentunya sangat mengganggu mahasiswa yang berhalu-lalang menjalankan aktivitas di kampus. Seperti yang dirasakan oleh Dicky,“ Parkirannya sumpek banget sampe ke jalan. Padahal jalanannya juga sempit, gak nyaman deh jalan di UNJ,” keluh mahasiswa PGSD 2012.

Tidak hanya mengganggu kenyamanan civitas akademika, padatnya volume kendaraan pun juga dikeluhkan oleh petugas parkir UNJ Eko Wahyudi. “Motornya banyak banget susah ngaturnya. Bukan cuma itu, kita jadi terbatas ngawasin motor karena jumlahnya kebanyakan, baru tiga hari kuliah aja sudah ada lima orang yang ngadu kehilangan helm.”

Bukannya bersimpati dengan duka dan keresahan mahasiswa, kejadian ini justru dimaklumi oleh Suryadi Pembantu Rektor (PR) II. “Wajar saja kalau parkirannya masih berantakan, kan UNJ sempit,” ujarnya santai. UNJ sendiri sebenarnya dalam menjawab persoalan parkiran membangun tempat parkir di samping gedung Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP). Akan tetapi, sampai saat ini pun parkiran yang dianggap sebagai jawaban justru mangkrak pembangunannya.
Selain makin banyaknya volume kendaraan tersebut yang membuat tata ruang UNJ makin buruk. Dampak yang tak kalah besarnya adalah terenyahkannya ruang  publik bagi mahasiswa di lingkungan kampus. Padahal, hal ini merupakan salah-satu instrumen fundamen dalam mendukung pembelajaran mahasiswa dalam kampus.

Kondisi tersebut pun turut disesalkan oleh Dadang Suryadi Kepala Jurusan Teknik Sipil. Menurutnya, hal ini disebabkan tidak terkontolnya motor yang diparkirkan di UNJ. “Satu saja terlihat motor parkir di ruang kosong, dalam hitungan menit tersulap menjadi deretan motor,” tutur Dadang yang ditemui diruangannya. Lebih lanjut ia menjelaskan, dengan luas kampus A UNJ yang mencapai 1.014.745,25 m2 sangat memungkinkan untuk membuat ruang publik yang nyaman bagi mahasiswa.  Terlebih mahasiswa telah cukup mahal untuk membayar kuliah di UNJ.
Parkiran UNJ sangat padat akibat membludaknya maba

Akan tetapi, ini tidak dilakukan oleh otoritas kampus sendiri. Penerimaan mahasiswa baru yang sangat banyak tidak diimbangi oleh  fasilitas yang ada. Hal ini jelas menandakan bahwa kampus hanya ingin meraup uang yang banyak dari para mahasiswa. Tapi enggan memikirkan kebutuhan mahasiswanya yang telah membayar mahal untuk dapat berkuliah di UNJ