Sabtu, 11 Agustus 2012

Sosok Bapak Koperasi Indonesia



Judul : Mohammad Hatta ( Hati Nurani Bangsa)
Penulis : Dr. Deliar Noor
Penerbit : Kompas, April 2012
Tebal :  xviii + 182 halaman
Pemikiran, hati, ucapan dan tindakan harus selaras

Siapa yang tidak mengenal Mohammad Hatta ? Ia sangat dikenal sebagai Salah satu proklamator kemerdekaan Indonesia bersama Soekarno. Terlahir dengan nama Mohammad Athar di Bukit Tinggi , 12 Agustus 1902. Hatta berasal dari keluarga saudagar besar dan taat beragama di Sumatera Barat sehingga ia dapat mengeyam pendidikan hingga ke negeri Belanda. Sewaktu bersekolah, Hatta tidak hanya pintar dan banyak membaca buku. Tetapi, ia juga sangat aktif berorganisasi berawal dari Jong Sumatera Bond bersama H. Agus Salim.

Terlebih saat ia berkuliah di negeri Belanda, ia dapat membandingkan kehidupan rakyat Belanda yang jauh lebih sejahtera dibanding negara jajahannya yang kaya akan sumber daya baik itu manusia maupun alamnya. Di Belanda tak hanya sekedar belajar, Hatta juga mendirikan perkumpulan mahasiswa Indonesia yang bernama Indische Vereeniging, kemudian berganti nama Indonesische Vereeniging atau Perhimpunan Indonesia bersama Ahmad Subardjo dkk. Pergaulannya bersama tokoh-tokoh pergerakan membuat ia sadar akan kehidupan bangsanya yang susah ditanah yang subur.

Hatta sadar tuntutannya untuk Indonesia merdeka tidak mudah jika hanya melalui bentrok fisik. Ia menulis tentang apa yang terjadi dengan bangsa Indonesia untuk itu Hatta membuat surat kabar Hindia poetra dan kemudian berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Bagi Hatta menulis adalah suara yang dapat menyadarkan dibanding hanya berpidato mengumpulkan massa. Inilah yang membuat ia sering berselisih dengan Soekarno. Tak cukup sampai disitu, Hatta pun sering mengikuti kongres internasional di Eropa menentang bentuk Imperialis dan disana ia bertemu dengan Jawaharal Nehru.

Saat kembali ke Indonesia, hatta bergabung dengan Pni bersama Soekarno. Akan tetapi, lagi-lagi Hatta berbeda pendapat dengan Soekarno. Soekarno dianggap tokoh yang mengedepankan emosional dari pada pemikiran yang mmatang seperti Hatta. Kegemarannya dalam menulis berlanjut hingga ia di buang ke Boven Digul, Papua hingga Banda Neira. Masa menjelang kemerdekaan Indonesia, Hatta banyak menyumbang pikiran dalam sistem kenegaraan Indonesia. Yang paling menonjol adalah sistem perekonomian Indonesia. Hatta sangat memikirkan perekonomian rakyat Indonesia. Untuk itulah ia membuat koperasi dan juga mengatur perekonoian nasional seperti cabang-cabang yang menyangkut hajat hidup orang banyak diatur oleh negara dan digunakan sebaik-baiknya untuk kehidupan rakyat.

Masa-masa revolusi, menjadi bulan madu yang sangat mesra bagi Soekarno dan Hatta sehingga dijuluki dwi tunggal. 2 kepribadian yang sangat bertolak belakang bisa menyatu. Hingga akhirnya, ia merasa Soekarno sudah menjadi diktator dan tidak demokratis, sang dwi tunggal pecah kongsi. Hatta memilih mundur, baginya jabatan adalah amanan bukan kekuasaan. Sampai terpilihnya Soeharto sebagai presiden ia harap bisa jauh lebih baik dari Soekarno tetapi kenyataan berkata lain. Kehidupan sang proklamator dikekang karena dianggap ada rencana makar terhadap pemerintah saat itu. Semua kegiatan Hatta dibatasi mulai dari kegiatannya untuk mengajar sebagai doesn tamu di Universitas Andalas dan beberapa univeritas lain. Hingga ajal menjempuntnya, kehidupan Hatta dalam kondisi memprihatinkan yang tidak mampu membayar listrik, air dan telpon.

Pelajaran dari Hatta
                Hatta selalu berpenampilan sederhana meskipun ia menjabat sebagai wakil presiden. Gagasan dan Hatta tentang perekonomian rakyat Indonesia yang berorientasisi untuk memajukan rakyat. Saat ini sangat jauh dari itu. Contohnya, pemerintah menjual tanah untuk freeport demi keuntungan segilintir orang. Sebagai pemimpin sosok Hatta yang sangat lengkap dan jarang di negeri ini. Hatta selalu memikirkan apa yang hendak diputuskan secara cermat dan cepat. Dan pantang mencabut keputusan yang ia telah buat. Melihat sosok kepemimpinan politik saat ini, banyak pemimpin yang berkolaborasi dengan pengusaha untuk kemajuan usahanya sendiri tanpa memikirkan bangsa Indonesia (Kompas, 11 Agustus 2012). Karena itu harus ada revolusi berpikir untuk menata recruitment kepemimpinan politik kita, jika Indonesia tidak mau jadi seperti tikus putih yang bergerak memutar-mutar kandangnya tanpa beranjak kemana-mana.

Minggu, 05 Agustus 2012

Budaya Tanding : Ruang Ekonomi Baru



Berbeda itu unik dan menjual
                                                                                                    
Buku  The Rebel Sell ini sejak awal langsung menghentak dengan narasi kematian raja musik grunge Kurt Cobain. Sebagai pemusik beraliran grunge yang menjadi sisi lain terhadap hippies, kesuksesan tiba-tiba sekaligus aksi bunuh diri Cobain di puncak popularitasnya termasuk fenomena menarik. Banyak orang percaya Cobain depresi karena terus menerus dihantui tudingan dari dirinya sendiri sebagai pribadi yang menggadaikan idealisme musik grunge  yang seharusnya independen melawan jalur kapitalisme.

Tahu sepatu Vans, Doc Marten, Blundstone. Awalnya sepatu ini hadir sebagai perlawanan dari sepatu Nike. Perusahaan Nike bekerja dengan upah buruh murah. Oleh karena itu, untuk melawannya dimunculkan sepatu-sepatu tandingan tersebut. Pernah berbelanja di distro (distribution store). Awalnya distro ini sebagai perlawan atas merek sandang terkenal.

Hal-hal itulah yang disebut sebagai budaya tanding. Budaya tanding merupakan perlawanan terhadap budaya mainstream. Bagai dua kekuatan yang saling berlawanan tetapi tidak bisa dipisahkan, budaya tanding adalah antitesis bagi tesis budaya umum. Budaya mainstream mesti dilawan karena dianggap buruk, statis, menindas, dan perlu diperbaiki. Wujudnya macam-macam. Mengeluarkan produk baru, menciptakan musik berbeda, dan tawaran alternatif lainnya.   Bahkan kenyelenehan.

Namun, sebagai ideologi pembangkangan, budaya tanding justru menghasilkan membuka konsumerisme baru. Seperti kasus sepatu tadi. Sepatu-sepatu alternatif itu justru menjadi komoditas baru yang layak diperjualbelikan seperti Nike. Dengan harga yang tidak jauh pula. Kemunculan distro saat ini tidak ubahnya seperti toko bisa dengan berbagai barang. Bahkan harganya bisa lebih mahal dari toko pasaran biasa. Contoh lainnya ialah kemunculan Burger King sebagai tandingan McDonald yang telah menjamur. Tapi akhirnya Burger King menjadi tren baru dimasyarakat.

Budaya tanding memang banyak muncul untuk melawan kapitalisme. Uniknya pertemuan keduanya justru menghasilkan celah kapital baru. Yang tidak sekadar menjadi entitas ekonomi yang marjinal, tapi mampu meraksasa dan menjadi lokomotif habitus pemasaran baru.

Repotnya hasrat untuk melawan arus, untuk menjadi berbeda, termasuk mengeraskan hati untuk menjalani hidup alternatif yang unik bahkan cenderung sinting ini justru merupakan kekuatan utama pendorong kapitalisme dan konsumerime kontemporer. Penulis buku ini bahkan berhasil memeparkan bahwa ide bahwa pemberontakan gaya hidup individual yang diharpkan bisa mengguncang sistem, ternyata dalam tataran masif justru semakin memapankan masyarakat konsumen yang hendak ditentangnya. Dalam Hal ini, tak dapat dipungkiri budaya tanding turut mendukung sifat-sifat kapitalisme itu sendiri. Keberagaman, kreasi, inovasi itulah beberapa sifat kapitalisme. Jelas budaya tanding ini hanya menghasilkan heterogenitas produk dan jenis.

Kekeliruan lain ide budaya tanding yang ditunjukkan oleh buku ini, para pemberontak itu menuding bahwa konsumerisme melahirkan keseragaman. Padahal, kebalikannya, konsumerisme sebenarnya lebih didorong oleh hasrat untuk menjadi beda. Sehingga budaya tanding justru menegaskan kesadaran individu akan pentingnya berbeda. Dengan kata lain, gerakan antikonsumerisme pada akhirnya justru mendorong apa yang disebut sebagai konsumerisme (orang berlomba-lomba membeli sesuatu) untuk menjadi yang paling keren, paling beda. Karena, berbeda itu seksi, alias laku dijual.

Lebih parah lagi, ide-ide budaya tanding juga telah mempengaruhi politik progresif dan memelencengkannya dari cita-cita awal memperjuangkan keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat. Menariknya, pengusaha yang membaca buku ini akan semakin yakin bahwa untuk sukses pada jaman yang semakin mendatar ini harus berani menjalankan roda ekonomi dengan cara yang berbeda, radikal bahkan disebut radikal itu menjual.

Rabu, 01 Agustus 2012

Mengais Rumput di Villa yang Megah




“Saya tinggal di gubuk yang dibangun atas rasa kasihan warga kepada saya,” kata Imah.
Matahari tepat di atas kepala. Dua orang perempuan tengah mencabuti rumput di sebuah villa. Dengan menggunakan arit kecil mereka memotongi gulma yang berada di pekarangan villa. Topi jerami segitiga menutupi kepala mereka. Keringat tak kunjung berhenti bercucuran dari dahi keduanya, meskipun telah berkali-kali dibasuh dengan kain.
Nama mereka adalah Imah dan Umi. Imah mengenakan baju berwarna cokelat muda panjang dengan kain berwarna hijau yang ia lilitkan ke bahunya. Perempuan berumur 70 tahun itu telah bekerja sebagai tukang kebun dari tahun 1984. Di tengah usianya yang telah senja dia hanya hidup sebatang kara.  “Dulu, saya sempat punya kios beras di pasar tetapi Cuma sebentar,” kata perempuan berbaju coklat muda panjang.  Di usianya yang telah senja ini Imah hidup sebatang kara. “Tetapi, ketika kebakaran melanda, kios dan suaminya ikut terbakar api,” katanya lirih.
Disampingnya umi Imah tidak sendiri, ia dibantu oleh perempuan lain yang terlihat lebih muda dari dirinya yang mengenakan baju putih yang sudah sangat kusam warnanya.
Setali tiga uang dengan Imah, Umi juga telah bekerja menjadi tukang kebun cukup lama. Dia jadi tukang kebun dari tahun 1990. Waktu itu villa belum banyak seperti sekarang,” tuturnya. Mirip dengan Imah, Umi pun seorang janda yang terpaksa menjalani pekerjaan sebagai tukang kebun. “Suami saya kerja sebagai TKI (Tenaga Kerja Indonesia)  di Arab tapi sudah 20 tahun lalu. Suami saya sampai sekarang tidak pernah pulang lagi. Sementara itu, anak saya satu-satunya bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta,” tutur Umi.
Mereka masing-masing dibayar Rp.10.000/hari. Jangankan untuk memiliki rumah yang layak. Uang Rp.10.000/hari sudah pasti tidak cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. “Cukup tidak cukup, duitnya untuk dipakai sehari-hari belanja walaupun masih kurang. Apalagi mau lebaran kayak gini, pasti barang-barang naik (harga sembako-red),den ,” keluh Umi.
Masalah papan pun masih sangat menjadi kendala bagi mereka. “Saya tinggal di gubuk yang dibangun atas rasa kasian warga kepada saya,” kata Imah. Hal senada pun dialami oleh Umi. Saya tinggal di atas tanah yang saya sendiri tidak tahu tanah siapa,” tuturnya kepada Didaktika, 29 Juli lalu. Oleh karena itu, keduanya  bekerja tidak hanya di satu villa. “Biasanya satu villa itu dibersihkan 2 kali dalam seminggu,” tutur Imah.
Imah dan Umi merupakan sebagian kecil penduduk yang berprofesi sebagai tukang kebun. Lokalitas Cilember dari yang dipenuhi villa mendorong maraknya profesi sebagai tukang kebun, sekalipun hasilnya tidak memadai.
Akhirnya, keadaan inilah yang banyak mengubah pola kerja masyarakat sekitar. Dengan banyaknya villa, banyak yang beralih profesi. “Dulu, sebelum jadi tukang kebun saya bekerja sebagai buruh tani di ladang,” kata imah. Penyebabnya simpel, dahulu masyarakat di sini kerja jadi petani. Setelah banyak villa tanah untuk bertani berkurang. Hasil pertanian jadi tidak maksimal. Akhirnya, penduduk menjual tanahnya untuk dibikin villa. Melihat 2 kejadian tersebut memang sangat ironis. Dimana mereka tinggal di daerah yang subur tetapi tidak bisa menikmati kekayaan daerahnya. Karena ekspansi orang kota yang membuat villa, lapangan pekerjaan juga berubah. Terlepas dari itu semua, mereka adalah cerminan rakyat Indonesia yang tetap bisa survive dalam menjalani kehidupan walaupun telah dimakan usia.