Rabu, 18 Juli 2012

Siakad atau Sialan?




Siakad bermasalah, mahasiswa pun terbengkalai

Terik panas matahari mulai menyengat bumi UNJ Rabu pagi (18/7). Terlihat seorang perempuan setengah berlari menuju loket Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) di gedung Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan (BAAK). Nafasnya terengah-engah, keringat pun tak berhenti bercucuran di dahinya. Zahra, itulah namanya seorang mahasiswa baru Teknologi Pendidikan 2012.
Calon mahasiswi yang lolos melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) Undangan ini sangat antusias ketika namanya tercantum di mading sekolahnya. “Aku senang dan bangga begitu lihat mading sekolah ternyata aku bisa diterima di UNJ karena saya ingin menjadi guru,” tuturnya sambil tersenyum. Zahra yang berasal dari SMA 3 Bekasi masih tersenyum ketika diajak bicara soal UNJ, kampus yang merupakan pilihan pertamanya. Namun, hari ini ia nampak kesal dengan kampus impiannya. Hal ini terlihat dari wajahnya yang nampak ditekuk. Bukan karena biaya kuliahnya yang naik. Akan tetapi karena hambatan dari layanan administrasi akademik online UNJ, Siakad.
“Waktu aku bayar di Bank BNI, tellernya bilang siakad UNJnya error. Jadi gak ada NIM (Nomor Induk Mahasiswa),” tutur Zahra. Sebagai mahasiswi baru Zahra belum tahu jika NIM itu sangat penting untuk segala proses perkuliahan. “Aku pikir gak masalah waktu teller bilang NIMnya nggak keluar, ternyata malah jadi repot begini,” ucapnya sedih.
“Aku baru tau kalo itu penting setelah disuruh entry biodata di siakad, aku gak punya NIM” tambahnya. Tidak ingin gagal menjadi mahasiswa UNJ, Zahra tidak tinggal diam, ia kembali mendatangi bank tempat ia membayar biaya kuliah di UNJ. Namun pihak bank angkat tangan, “kami tidak tahu mbak, ini kan yang bermasalah dari pihak UNJnya. Jadi, mbak ke kampus aja,” kata zahra menirukan ucapan teller bank.
Mendengar itu Zahra bergegas mencari informasi dan menyelesaikan masalah itu di kampus. Sialnya, di kampus ia mendapat jawaban yang sama, dan ini adalah kali ketiga ia kembali ke kampus dengan tujuan yang sama yaitu meminta NIM, dan harus menunggu untuk waktu yang cukup lama. “Tadi kata penjaga loket FIP suruh temui pak Ratio, tapi beliaunya lagi ada urusan di rektorat dan baru selesai jam 2,” tuturnya.
Sistem Informasi Akademik atau yang lebih dikenal dengan nama Siakad memang menjadi layanan yang sangat penting bagi mahasiswa. Karena berbagai kegiatan administrasi seperti memasukan informasi biodata, pengisian Kartu Rencana Studi (KRS) maupun Kartu Hasil Studi (KHS) dilakukan dan diintegrasikan dalam satu layanan tersebut.
Kepala Pusat Komunikasi (Puskom), Irsal ketika ditemui di ruangannya mengatakan, “beberapa minggu ini web UNJ memang sedang bermasalah dari pusatnya langsung yaitu telkom. Selain itu web UNJ itu termasuk yang paling murah bayarnya. Jadi wajar, kalau lama.”
Hal ini menunjukkan bahwa UNJ masih sangat lemah dalam memberikan pelayanan kepada mahasiswa, dan lagi-lagi soal anggaran dana yang dijadikan pembenaran atas terjadinya kondisi tidak menyenangkan. Padahal, hal ini sangat tidak sebanding dengan jumlah uang yang telah dibayar oleh mahasiswa. Apalagi setelah terjadi kenaikan biaya kuliah sekitar 60% pada tahun 2011.

Sabtu, 14 Juli 2012

KENAPA AJARAN "KIRI" HARUS DITAKUTI DI INDONESIA?

Apa perbedaan dari Indonesia sebelum 1965 dan sesudahnya? pertanyaan ini saya lontarkan dalam kaitannya dengan pelarangan ajaran komunisme di Indonesia. Perlu diingat kembali bahwa kebebasan berpendapat di Indonesia dijamin secara lisan maupun tulisan dalam Undang-Undang Dasar 1945 maka pelarangan sedemikian tentunya melanggar atau dengan kata lain seolah mengesampingkan UUD negara yang wajib dipatuhi oleh semua pihak tanpa kecuali.  Kalau sekarang komunisme dilarang di Indonesia, apakah sebelum tahun 1965 Pancasila dan UUD 1945 yang dianut oleh Indonesia berbeda?

Kalau bangsa Indonesia saat ini ditanya mengapa anda menentang ajaran komunisme, kemungkinan besar tentu tidak dapat menjawab pertanyaan itu, kecuali mengatakan hal-hal klise yang sudah kita sering dengar selama perjalanan rezim Orde Baru terutama dalam penataran P4 (ideologisasi Pancasila versi Soeharto – beruntunglah generasi sekarang yang tidak perlu lagi mengikuti penataran ini), yakni komunisme itu ateistis, anti-ketuhanan. Atau, kemungkinan yang paling nyata adalah kemungkinan dia (rakyat) takut berbeda pendapat, padahal ia harus menyanyikan lagu yang sama, nyanyian “Anti-komunisme”. Jadilah orang Indonesia naif karena menentang komunisme tanpa memahami perihal dan ajaran seutuhnya dari komunisme. Jadi agar rakyat Indonesia secara keseluruhan tidak naif, komunisme di Indonesia perlu dipelajari. Karena ajaran komunisme bukanlah merupakan makhluk menakutkan yang berwujud seperti setan atau jin. Sekolah-sekolah, setidaknya mulai sekolah menengah atas saya kira perlu mengenalinya, dan bukan berarti untuk kemudian menganutnya, melainkan untuk menolaknya secara sadar, maksudnya membuktikan bagaimana ideologi ini berfungsi didalam praktiknya. 

Menurut pendapat saya, dengan mengenal ajaran komunisme bangsa Indonesia justru akan memperkuat kedudukan Pancasila sebagai dasar filsafat negara – saya percaya akan hal ini. Modal utama bagi penentangan komunisme adalah kemakmuran rakyat. Kenapa? Karena dilihat dari sejarahnyapun ajaran dan ideologi Komunis memang sangat menarik bagi rakyat jelata yang miskin. Hal itu bukan saja terlihat dan terasa jelas dari propaganda ajarannya, tetapi juga karena tindakan-tindakan nyata untuk mencukupi kebutuhan material mereka terutama memenuhi kesejahteraan rakyat seperti sekolah gratis, kesehatan dijamin negara, pekerjaan yang layak dll. Kita ambil contoh misalnya Cina. Rakyat Cina berjumlah lebih dari 1 milyar. Kita tak pernah dengar kelaparan dan ketelanjangan di Cina. Karena komunisme di sana mampu memenuhi janji memakmurkan rakyatnya, untuk itulah alasannya kenapa komunisme di Cina laku sampai hari ini. Namun, supaya tetap laku, komunisme Cina meliberalisasikan komunismenya, seperti misalnya merebaknya kebebasan beragama dan beribadah diseluruh dataran Cina. 

Jadi komunisme asli tidak ada lagi – mungkin hanya di Korea Utara.  Untuk itulah selama negara dapat memakmurkan rakyat, siapapun sebenarnya tidak perlu takut akan bahaya laten komunisme. Justru malah kita harus mampu menjinakkan komunisme menjadi “makhluk” baru yang bersahabat dengan kita yang bukan penganut komunisme. Dunia kita dewasa ini bukan lagi dunianya Stalin atau Mao Zedong, namun telah menjadi zaman pendekatan globalisasi. Yang harus dilakukan sekarang di Indonesia adalah mencabut Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang pelarangan PKI dan Ajaran Marxisme-Leninisme karena Tap ini jelas-jelas tidak menghormati HAM dan sebagai bangsa yang besar dan lahir batin menjunjung tinggi Pancasila sudah seharusnya menghilangkan perbedaan-perbedaan yang lahir dan tumbuh dalam masyarakat.

Rabu, 11 Juli 2012

Resensi Buku : Ibunda. Perjuangan berat wanita

Judul: Ibunda
Pengarang: Maxim Gorky
Penerjemah: Pramoedya Ananta Toer , 1956
Penerbit: Kayalamitra Jakarta, 2000


“Peran Wanita sering dikesampingkan dalam kemerdekaan. Padahal wanita yang sangat berperan dalam menjalankan siasat perang yang sangat beresiko dibanding mengangkat senjata”. (Soekarno : Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat)





Novel yang berjudul Ibunda (Matt dalam bahasa Rusia) ditrjemahkan oleh Pramoedya Ananta Toer dan karya yang besar Maxim Gorki. Novel ini bercerita mengenai pengalaman Pelagia, janda seorang montir pabrik. Tokoh utama dalam novel ini tidak ditampilkan dalam sosok yang memiliki keindahan fisik. Badannya bongkok dan miring, wajahnya kerut marut, alisnya terbelah oleh bekas luka. Penampilannya lebih tua dari usianya yang empat puluh, bukan disebabkan akibat kerja yang sangat berat akan tetapi lebhi dikarnakan sepanjang pernikahannya ia hidup diantara pukulan dan caci maki suaminya. Pelagia mewakili sosok perempuan yang bukan saja tercabik-cabik oleh kemiskinan akan tetapi juga terkurung oleh tatanan yang tidak menghargai perempuan. Praktek kekerasan dalam rumah tangga digambarkan sebagai sesuatu kebiasaan yang sudah diterima sebagai kenyataan hidup.

Melalui sosok yang paling menderita, Maxim gorki memasuki dunia kaum buruh di kota industri di Uni Soviet dengan latar belakang awal abad ke-20, dimana ketika bibit-bibit revolusi mulai muncul. Di dalam novel ini digambarkan situasi kumuh yang mewarnai kehidupan kaum buruh. Seluruh hidup kaum buruh dikendalikan oleh peluit pabrik dan digilas oleh kemiskinan, sehingga banak para buruh yang lari pada minuman-minuman keras dan menyalurkan rasa getir dan marah kepada orang yang berada pada posisi lemah. Lingkaran hidup yang berawal dengan kelelahan, kejenuhan, kemiskinan dan berakhir pada jerat alkohol dan kekerasan terus berputar karna semua itu sudah diterima sebagai suatu hal yang lazim.

Dalam alur novel ini, lingkaran kepasrahan ini pada akhirnya dipatahkan oleh seorang pemuda buruh bernama Pavel Valssov seorang anak dari Pelagia Valssov. Pavel membenci sikap ayahnya yang telah dikuasai oleh alcohol, walaupun ia pada saat remaja ia sempat hanyut pada arus lingkungannya. Ia disadarkan oleh buku-buku yang ia baca, buku-buku sosialis ia berubah menjadi seorang pemuda yang secara serius mencari apa yang dianggapnya sebagai kebenaran, dan memikirkan usaha untuk merubah lingkungannya.

Walaupun Pelagia bergembira bahwa anak semata wayangnya itu tidak terjerumus oleh alkohol, akan tetapi ia juga merasa sangat khawatir dan bertanya-tanya akan perubahan yang telah terjadi pada diri anaknya. Apalagi pada saat anaknya menerima tamu yang membicarakan hal-hal yang berada diluar jangkauan pikirannya. Ketika kata-kata “Sosialis” dan “Komunis” didengarnya dari percakapan itu, tubuh sang ibupun gemetar karna hal ini disebabkan dari kehidupan sang ibu yang dibesarkan dalam tatanan yang mensosialisasikan dua kata itu sebagai momok yang menakutkan. Kaum sosialis adalah penjahat dan penghianat yang melawan dan ingin membunuh Tsar Nicholas II.

Alur cerita kemudian menggambarkan tahap demi tahap proses perubahan bukan pada diri Pavel, melainkan pada diri Ibunda. Cerita ini pada intinya disampaikan dengan teknik narrator orang ketiga melalui sudut pandang (terbatas pada) tokoh sang ibu. Narator masuk kedalam visi sang ibu yang tekun dan saleh pada agamanya. Melalui mata dan telinga sang ibulah proses menuju revolusi sosial disampaikan.perubahan pada diri ibu dari rasa kahwatir dan takut berubah menjadi pendukung setia gerakan anaknya, bahkan sampai menjadi aktifitas yang tak kalah bersemangat. Hal ini digambarkan secara realitas tahap demi tahap.

Perubahan itu bukan datang dari kesadaran pikiran, melainkan diawali kepekaan seorang ibu terhadap perasaan-perasaan positif yang dirasakan muncul pada pertemuan-pertemuan aneh yang dilakukan oleh kawan-kawan anaknya. Ia melihat bagaimana perdebatan-perdebatan yang sengit dalam rapat-rapat ang tidak pernah diakhiri oleh kekerasan, hal itu merupakan suatu hal yang asing dalam kehidupanna. Kemudian ia mulai menangkap dan merasakan semangat yang begitu berkobar pada diri anaknya. Kesetiakawanan para aktivis itu kemudian dirasakan sangat kontras dengan kehidupan para buruh yang tidak jauh dari kekerasan, keseweng-wenangan polisi, kelicikan para intel, kecurigaan pada tetangga dan ucapan makian dari orang-orang yang tak menginginkan perubahan.

Maka Ibunda yang buta huruf mulai tertarik untuk kembali belajar membaca, suatu hal yang tela lama ia tinggalkan semenjak menikah. Dorongan itu muncul karna sang ibu ingin mulai tergelitik untuk ingin tahu berbagai macam hal yang dibicarakan dengan penuh antusiasme oleh anaknya dan kawan-kawannya. Ia mulai membuka buku-buku tentang hewan, tumbuhan, negara-negara asing dan berbagai macam bacaan anaknya. Turning point penting yang terjadi dalam kehidupan ibunda terjadi ketika anaknya dijebloskan ke dalam penjara karna tuduhan menyebarkan pamflet gelap dipabrik. Inisiatif ibunda untuk membantu menyebarkan pamflet dipabrik dengan cara menyembuyikan di dalam keranjang makanan jualannya muncul pertama kali demi menyelamatkan anaknya. Jika penyebaran pamflet terus berjalan berarti tuduhan terhadap anaknya batal.

Ketika usaha tersebut berhasil, dan menyebabkan keonaran di pihak penguasa dan terjadi kegairahan dikalangan buruh, ibunda merasa bangga dan merasa dirinya begitu berarti. Ketika semangat perjuangan anaknya melalui pamflet, bacaan, pertemuan dengan berbagai kalangan aktifis membuatna semakin paham akan nilai-nilai yang diperjuangkan kaum revolusioner. Sang ibundapun sepenuhnya menjadi aktifis sejati. Dalam titik ini cintanya terhadap anak sematawayangnya telah mengalami trensedensi menjadi cinta bagi anak manusia.

Yang menarik dari novel ini adalah, perubahan “Ideologis” dalam diri ibunda yang tidak mengorbankan religiusitasnya yang sangat mendalam. Pelagia dapat mengaitkan faham persaudaraan kaum buruh dengan sosok yang diimaninya, yakni Kristus yang mengorbankan dirinya bagi orang kecil. Akan tetapi pada saat yang sama mata Pelagia mulai terbuka untuk membedakan ajaran untuk mencintai dengan praktek-praktek kaum pendeta dan gereja yang memanfaatkan kekuasaan diatas penderitaan orang miskin. Maka Pelagia tidak lagi menjadi sekedar seorang yang patuh pada ritual-ritual dan dogma agama, melainkan seorang yang menggali dasar-dasar kepercayaan dengan kritis tanpa tergoyahkan oleh kaum revolusioner sekitarnya yang umumnya tidak percaya lagi dengan Tuhan.

Novel ini tidak saja bisa menjadi inspirasi bagi para perempuan Indonesia untuk menolak bersikap pasrah diri terhadap kemandekan, kemiskinan dan ketidakberdayaan. Novel ini menunjukan bahwa keberanian dan keteguhan bisa mengubah posisinya dari sekedar mahkluk yang dianggap bagian dari isi rumah belaka, menjadi seorang tokoh yang diperhitungkan dalam perubahan masyarakat. Pada saat yang sama novel ini menunjukan bahwa perjuangan untuk merubah masyarakat tidak harus dilakukan dengan kebencian, kemarahan dan kekersan.

Gerakan yang diwakili oleh Pavel dan kawan-kawan adalah sebuah gerakan yang menitik beratkan pada perubahan kesadaran melalui bacaan, diskusi , penyebaran informasi dan perlawanan tanpa kekerasan melalui pemogokan dan cara-cara lainnya. Bahkan ketika pemogokan kaum buruh dihadang dengan senjata para polisi dan tentara, Pavel meminta para demonstran untuk terus maju tanpa senjata dan perlawanan atau yang lebih dikenal Ahimsa oleh Mahatma Gandhi. Itulah sebabnya, Pelagia sang ibu menjadi pahlawan utama novel ini, menghayati dan mendukung perjuangan si anak sepenuhnya, sebab sesuai dengan doktrin yang dianutnya yakni doktrin kashi saying. Novel Ibunda juga menyadarkan kita pada perbedaan antara perubahan untuk kepentingan sesaat dan perubahan tatanan yang mendasar.

Sebagai karya sastra, Ibunda mewakili suatu genre novel realism sosialis, dengan kekuatan dan kelemahannya. Novel ini secara gambling dan kuat mengandung unsure-unsur propaganda, dan gayanya yang mendeskripsikan keseharian dengan penuh detail untuk menekankan kedekatan dengan kenyataan yang seringkali dipisahkan oleh benang tipis dengan idialisme cita-cita revolusi dengan romantisme perjuangan. Tetapi pesan-pesan propaganda itu dibungkus oleh kekuatan si penulis dalam menghidupkan setiap sosok tokohnya secara individual, dan oleh jiwa yang menyalah dibalik tulisannya. Intensitas Gorki kita rasakan melalui intensitas dan penjiwaan Pramoeda ananta Toer sebagi penerjemahnya.

Buku ini terbit bersama dengan menjamurnya buku-buku “Kiri” lainnya yang booming, setelah selama 32 tahun dilarang untuk dibaca di negri ini. Akan tetapi ironisnya, disaat tatanan sosialisme komunis tidak lagi menjadi blok yang diperhitungkan. Membaca novel Ibunda mungkin membuat kita memahami mengapa tulisan-tulisan semacam ini ditakuti oleh penguasa. Tetapi lebhi dari itu, kita membaca novel yang menampilkan perempuan sebagai kekuatan perubahan itu sendiri, disaat perjuangan perempuan di Indonesia mencapai titik-titik yang menentukan.

tribute to MARSINAH 
:)

*kasus hukum marsinah tahun depan akan kadaluarsa