Jumat, 30 Desember 2011

Mochtar Lubis : Suara Kebenaran


Mochtar Lubis seorang tokoh pejuang demokratis dari Indonesia yang menyuarakan kebenaran melalui Koran yang di terbitkannnya yaitu Indonesia Raja yang mempunyai slogan “dari rakjat,oleh rakjat dan untuk rakjat”. Perjalanan menyuarakan kebenaran tidaklah mudah. Pembredelan seolah sangat akrab dengan Mochtar Lubis. Di 2 rezim berbeda surat kabarnya di bredel. Pertama,dengan sangat lantang ia mengkritik bung Karno karena tidak memiliki moral yang cakap sebagai seorang pemimpin, kemudian di lanjutkan dengan 2 kelompok sastra yang berbeda LEKRA yang didukung oleh Bung Karno dan PKI bersitegang dengan kelompok MANIKEBU yang didalamnya terdapat Mochtar Lubis.

Akibat Ulah frontalnya mengkritik Bung Karno,surat kabar Indonesia Raya dibredel pada tahun 1953 dan Mochtar Lubis ditetapkan sebagai tahanan rumah sampai tahun 1959. Pada tahun 1959 ia ditetapkan sebagai tahanan yang sesungguhnya dan ditempatkan di penjara Madiun. Tahun 1965 menjadi moment yang sangat dinanti oleh Mochtar Lubis yaitu desakan untuk Soekarno mundur semakin kuat. Mochtar beranggapan bahwa REVOLUSIyang digembar-gemborkan oleh Soekarno adalah bagian dari Justifikasi untuk melanjutkan kedidaktorannya.

Awal setelah lengsernya Bung Karno,membawa angin segar dan ekspektasi berlebih dari Mochtar Lubis dkk dengan diizinkannya kembali koran Indonesia Raja terbit dan di bebaskannya Mochtar Lubis sebagai tahanan politik. Tahun-tahun awal rezim orde baru seolah sangat akrab dengan kebebasan pers yang diharapkan oleh Mochtar Lubis. Akan tetapi, Pemilu pertama tahun 1971 menjadi turning point bagi pemerintah. Tulisan-tulisan pedas dari Mochtar Lubis seputar kecurangan Pemilu,intimidasi,teror serta pemaksaan fusi partai oleh pemerintah membuat berang Pangkopkamtib,Jend.Soemitro yang memberikan teguran keras kepada koran Indonesia Raja. Sampai akhirnya pembredelan surat kabar kembali dialami oleh Mochtar Lubis setelah peristiwa malapetaka 15 Januari 1974 dan laporan-laporan seputar korupsi yang sangat marak terutama korupsi di tubuh pertamina yang dipimpin oleh Ibnu Sutowo.

Selain itu Mochtar pula menganalisis ciri-ciri manusia Indonesia,yaitu:

Ciri pertama manusia Indonesia adalah hipokrit atau munafik. Di depan umum kita mengecam kehidupan seks terbuka atau setengah terbuka, tapi kita membuka tempat mandi uap, tempat pijat, dan melindungi prostitusi. Kalau ditawari sesuatu akan bilang tidak namun dalam hatinya berharap agar tawaran tadi bisa diterima. Banyak yang pura-pura alim, tapi begitu sampai di luar negeri lantas mencari nightclub dan pesan perempuan kepada bellboy hotel. Dia mengutuk dan memaki-maki korupsi, tapi dia sendiri seorang koruptor. Kemunafikan manusia Indonesia juga terlihat dari sikap asal bapak senang (ABS) dengan tujuan untuk survive.
Ciri kedua manusia Indonesia, segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya. Atasan menggeser tanggung jawab atas kesalahan kepada bawahan dan bawahan menggeser kepada yang lebih bawah lagi. Menghadapi sikap ini, bawahan dapat cepat membela diri dengan mengatakan, ”Saya hanya melaksanakan perintah atasan.”

Ciri ketiga manusia Indonesia berjiwa feodal. Sikap feodal dapat dilihat dalam tata cara upacara resmi kenegaraan, dalam hubungan organisasi kepegawaian. Istri komandan atau istri menteri otomatis menjadi ketua, tak peduli kurang cakap atau tak punya bakat memimpin. Akibat jiwa feodal ini, yang berkuasa tidak suka mendengar kritik dan bawahan amat segan melontarkan kritik terhadap atasan.

Ciri keempat manusia Indonesia, masih percaya takhayul. Manusia Indonesia percaya gunung, pantai, pohon, patung, dan keris mempunyai kekuatan gaib. Percaya manusia harus mengatur hubungan khusus dengan ini semua untuk menyenangkan ”mereka” agar jangan memusuhi manusia, termasuk memberi sesajen.”Kemudian kita membuat mantra dan semboyan baru, Tritura, Ampera, Orde Baru, the rule of law, pemberantasan korupsi, kemakmuran yang adil dan merata, insan pembangunan,” ujar Mochtar Lubis. Dia melanjutkan kritiknya, ”Sekarang kita membikin takhayul dari berbagai wujud dunia modern. Modernisasi satu takhayul baru, juga pembangunan ekonomi. Model dari negeri industri maju menjadi takhayul dan lambang baru, dengan segala mantranya yang dirumuskan dengan kenaikan GNP atau GDP.”

Ciri kelima, manusia Indonesia artistik. Karena dekat dengan alam, manusia Indonesia hidup lebih banyak dengan naluri, dengan perasaan sensualnya, dan semua ini mengembangkan daya artistik yang dituangkan dalam ciptaan serta kerajinan artistik yang indah.

Ciri keenam, manusia Indonesia, tidak hemat, boros, serta senang berpakaian bagus dan berpesta. Dia lebih suka tidak bekerja keras, kecuali terpaksa. Ia ingin menjadi miliuner seketika, bila perlu dengan memalsukan atau membeli gelar sarjana supaya dapat pangkat. Manusia Indonesia cenderung kurang sabar, tukang menggerutu, dan cepat dengki. Gampang senang dan bangga pada hal-hal yang hampa.
Kita, menurut Mochtar Lubis, juga bisa kejam, mengamuk, membunuh, berkhianat, membakar, dan dengki. Sifat buruk lain adalah kita cenderung bermalas-malas akibat alam kita yang murah hati.
Selain menelanjangi yang buruk, pendiri harian Indonesia Raya itu tak lupa mengemukakan sifat yang baik. Misalnya, masih kuatnya ikatan saling tolong. Manusia Indonesia pada dasarnya berhati lembut, suka damai, punya rasa humor, serta dapat tertawa dalam penderitaan. Manusia Indonesia juga cepat belajar dan punya otak encer serta mudah dilatih keterampilan. Selain itu, punya ikatan kekeluargaan yang mesra serta penyabar.

Dan terakhir ada juga yang mengatakan bangsa kita senang melihat orang susah dan susah melihat orang senang.

Semoga kita melanjutkan suara kebenaran yang telah dilakukan oleh Mochtar Lubis sebelumnya dan berani mengatakan benar sebagai suatu kebenaran. Kebenaran bukan dilandasi oleh kepentingan golongan,agama,suku ataupun ras.

Jumat, 09 Desember 2011

Sajak Pertemuan Mahasiswa - W.S Rendra

Matahari terbit pagi ini
mencium bau kencing orok di kaki langit,
melihat kali coklat menjalar ke lautan,
dan mendengar dengung lebah di dalam hutan.
Lalu kini ia dua penggalah tingginya.


Dan ia menjadi saksi kita berkumpul di sini
memeriksa keadaan.
Kita bertanya :
Kenapa maksud baik tidak selalu berguna.
Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga.
Orang berkata “ Kami ada maksud baik “
Dan kita bertanya : “ Maksud baik untuk siapa ?”
Ya ! Ada yang jaya, ada yang terhina
Ada yang bersenjata, ada yang terluka.
Ada yang duduk, ada yang diduduki.
Ada yang berlimpah, ada yang terkuras.

Dan kita di sini bertanya :
“Maksud baik saudara untuk siapa ?
Saudara berdiri di pihak yang mana ?”
Kenapa maksud baik dilakukan
tetapi makin banyak petani yang kehilangan tanahnya.
Tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota.
Perkebunan yang luas
hanya menguntungkan segolongan kecil saja.

Alat-alat kemajuan yang diimpor
tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya.
Tentu kita bertanya :
“Lantas maksud baik saudara untuk siapa ?”
Sekarang matahari, semakin tinggi.
Lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala.
Dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :
Kita ini dididik untuk memihak yang mana ?

Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini
akan menjadi alat pembebasan,
ataukah alat penindasan ?
Sebentar lagi matahari akan tenggelam.
Malam akan tiba.
Cicak-cicak berbunyi di tembok.
Dan rembulan akan berlayar.
Tetapi pertanyaan kita tidak akan mereda.
Akan hidup di dalam bermimpi.
Akan tumbuh di kebon belakang.

Dan esok hari
matahari akan terbit kembali.
Sementara hari baru menjelma.
Pertanyaan-pertanyaan kita menjadi hutan.
Atau masuk ke sungai
menjadi ombak di samodra.
Di bawah matahari ini kita bertanya :
Ada yang menangis, ada yang mendera.
Ada yang habis, ada yang mengikis.
Dan maksud baik kita
berdiri di pihak yang mana !


Jakarta 1 Desember 1977
Potret Pembangunan dalam Puisi..
(Sajak ini dipersembahkan kepada para mahasiswa Universitas Indonesia di Jakarta, dan dibacakan di dalam salah satu adegan film “Yang Muda Yang Bercinta”, yang disutradarai oleh Sumandjaja)